Username/Email
Kata Sandi
Alamat Email
Kata Sandi
Jenis Kelamin
29.INT.RUMAH HADI PRIYANTO-MALAM HARI
Di sebuah ruang belajar, Hadi dengan seksama melihat ke arah TV layar datar yang ada di depannya. Sesekali Hadi akan menyipitkan matanya entah karena kesal atau merasa tidak nyaman atas apa yang ditayangkan di TV. Seorang reporter wanita dengan rambut pendek sedang berada di depan kantor polisi.
Reporter wanita: “Pemirsa saat ini saya sedang berada di depan kantor Polda Metro Jaya di Jalan Sudirman Jakarta Pusat. Hari ini terdapat tiga orang publik figur yang tiba-tiba menyerahkan diri dan mengaku sebagai tersangka kasus korupsi dana pembangunan desa yang baru-baru ini menjadi perbincangan di masyarakat. Tiga orang tersebut antara lain sekertaris jenderal partai bunga teratai, Wahyu Irawan, anggota DPR komisi X, Iriana Laksmi dan juga menteri pendidikan Slamet Widodo. Hingga saat ini ketiga publik figur tersebut masih ditahan di kantor Polda Metro Jaya untuk dimintai keterangan.”
Hadi mengambil remot dan mematikan TV itu. Hadi tiba-tiba mengepalkan tangannya dan memukul meja dan membuat suara yang sangat keras. Mata piciknya terlihat lebih merah dari biasanya. Hadi perlahan mengambil nafas panjang dan kemudian melepaskannya lagi. Hadi terus melakukannya berulang kali hingga kemarahannya mulai mereda.
Hadi: “Mungkin mereka benar, sudah terlalu banyak nyawa yang kuhilangkan secara paksa.”
Hadi melihat ke arah tangannya yang penuh keriput dan kapal. Hadi membayangkan tangannya yang penuh dengan darah. Darah dari orang-orang yang dia singkirkan karena menghalangi jalannya.
Tiba-tiba dari depan pintu ruangannya terdengar suara banyak langkah kaki. Suaranya semakin lama semakin keras yang menjadi pertanda sekumpulan orang itu mencarinya. Pintu yang tidak dikunci tiba-tiba di dobrak dari luar. Sekelompok orang dengan senjata api dan rompi anti peluru perlahan masuk ke dalam ruangan itu. Mereka mengarahkan senjata api mereka ke arah Hadi. Perlahan seorang pria dengan jas hitam masuk ke dalam ruangan itu dengan membawa sebuah pistol kecil di tangannya. Pria itu berjalan dengan gagah berani dan berhenti tepat beberapa meter di depan Hadi. Pria itu mengarahkan pistol di tangannya ke arah Hadi.
Wijaya: “Hadi Priyanto, Anda kami tahan karena terlibat dalam kasus penyuapan, korupsi dan pembunuhan.”
Hadi yang melihat Wijaya melotot ke arahnya tertawa kecil.
Hadi: “Bukankah waktu yang kalian ambil terlalu lama? Ataukah prosedur penangkapan orang sepertiku terlalu berbelit-belit?”
Wijaya: “Anda sudah dikepung jadi menyerahlah dan berhenti membuat masalah menjadi semakin rumit.” (nada kesal)
Hadi: “Ya ampun. Anak muda jaman sekarang itu terlalu suka terburu-buru. Baiklah, aku bahkan tak membawa senjata tak perlu menodongkan pistol ke arahku. Aku ini Cuma orang tua tak berdaya, kalian bisa membuat penyakit jantungku kambuh.” (tertawa mengejek)
Polisi N: “Diam kau pembunuh. Sudah banyak orang tak bersalah yang kau bunuh, kau lebih buruk dari anjing. Cepat berdiri dan angkat tanganmu ke atas. Jangan buat kami kesal atau kami akan melubangi kepalamu.” (nada kasar)
Wijaya sedikit melotot ke arah Polisi N namun dia tidak mengatakan apapun dan kembali mengarahkan matanya pada Hadi yang masih duduk santai di meja kerjanya. Perlahan senyuman di wajah Hadi menghilang. Hadi melihat ke sekelompok orang yang menerobos rumahnya itu dengan tatapan serius.
Hadi: “Aku mengerti soal pembunuhan, tapi orang tidak bersalah? Kau yakin mau menaruh dosa yang tidak kulakukan di kepalaku.” (nada datar)
Para polisi mulai berkeringat dingin. Mereka menaruh jari telunjuk mereka di atas pelatuk, bersiap untuk menembak kapan saja. Hadi yang menyadari kondisinya yang semakin terpojok hanya tersenyum. Hadi mencoba membuka lacinya dan mengambil sebuah buku tebal. Kemudian Hadi melemparkan buku itu tepat di depan kaki Wijaya.
Hadi: “Lihatlah seberapa baiknya orang yang aku habisi.” (nada mengejek dan sedikit kesal)
Perlahan Wijaya membaca buku misterius itu. Setiap halaman dia menemukan gambar manusia dari berbagai rentang umur dan gender. Jika saja ini dokumen biasa Wijaya tidak akan terkejut, sayangnya ini bukanlah dokumen biasa. Setiap gambar yang ditampilkan adalah manusia dalam kondisi tak bernyawa. Mayat dalam kondisi terjabik, terpotong-potong menjadi ratusan bagian. Bahkan ada salah satunya yang memperlihatkan mayat pria sedang menelan ususnya sendiri. Semakin lama Wijaya membaca buku itu semakin besar api amarah yang ada di hatinya. Di samping setiap foto terdapat tulisan mendetail siapa ‘artis’ gila yang menciptakan ‘karya seni’ itu dan bagaimana cara mereka membuat dan menutupi kasusnya.
Hadi: “Di negara ini, hanyalah uang yang berkuasa. Aku tak bisa mengingat siapa yang mengatakan itu padaku. Apakah kau tahu siapa orangnya Wijaya?” (nada datar)
Tangan Wijaya meremas buku itu hingga kertasnya menjadi tidak karuan. Wijaya mengarahkan matanya pada Hadi.
Wijaya: “Kakakku.” (nada datar)
Hadi: “Ah, kau benar. Sekarang aku ingat. Kau lihat lembar pertama buku itu, gadis muda di sana adalah klien pertamaku. Aku menjadi pengacara yang membela gadis kecil itu. Gadis kecil itu menjadi korban pemerkosaan yang dilakukan oleh kakakmu. Entah bagaimana meskipun saksi dan bukti jelas memberatkan, dia lolos dari jeratan hukum. Kau tahu apa yang selanjutnya terjadi.” (nada mengejek dan perlahan berganti menjadi nada datar penuh kebencian)
Wijaya terdiam tak mau menjawab apapun.
Hadi: “Tubuh gadis kecil itu dipotong menjadi 17 bagian, dan 6 di antaranya kakakmu menggunakannya untuk memberi makan buaya.” (nada penuh kebencian)
Wijaya terdiam, tangannya mencoba meremukkan buku catatan kriminal itu. Wijaya kemudian membanting buku itu ke lantai dengan penuh rasa jijik dan kebencian.
Hadi: “Apakah sekarang kau mengerti? Betapa baiknya aku pada mereka. Aku sama sekali tak menyentuh bangkai binatang itu, meskipun aku mengambil nyawa mereka. Tidak mungkin kata binatang tidak tepat untuk makhluk seperti mereka. Mencoba menyebut mereka sebagai binatang terlalu merendahkan martabat binatang. Aku rasa menyebut mereka iblis berkulit manusia jauh lebih tepat bukan?” (tertawa kecil)
Wijaya: “Tetap saja kau telah membunuh mereka, kau tetap bersalah. Meskipun kau membunuh makhluk menjijikan itu, kau tetap menghilangkan nyawa manusia. Jadi kau harus mempertanggung jawabkan perbuatanmu.” (nada datar)
Hadi yang melihat Wijaya mulai menunjukkan emosi kebencian terhadap dirinya tertawa terbahak-bahak sambil memegangi perutnya. Para polisi yang merangkap sebagai anggota KPK yang melihat Hadi tertawa di hadapan senjata api terheran-heran. Beberapa diantara mereka mengira Hadi sudah mulai gila. Wijaya merasa kesal pada Hadi yang tiba-tiba mulai tertawa seolah mengolok-olok dirinya.
Wijaya: “Apanya yang lucu?” (nada kesal dengan suara sedikitlebih keras)
Hadi mencoba menghentikan tawanya dengan sekuat tenaga, namun badannya masih bergetar karena menahan tawa. Hadi mengarahkan matanya pada Wijaya.
Hadi: “Apakah kau tahu rasanya makan potongan burger dari tong sampah setelah delapan hari tidak makan?”
Wijaya terdiam karena bingung. Wijaya tidak mengerti mengapa Hadi mengajukan pertanyaan ini.
Hadi: “Rasanya menjijikan setiap kali aku mengunyahnya di mulutku. Setiap kali benda itu menyentuh lidahku aku selalu merasa mual dan ingin muntah. Tetapi aku terus menahannya dan terus mengunyah. Kau tahu kenapa? Karena aku tak tahu kapan aku akan menemukan makanan lagi.”
Wijaya dan para anggota KPK lain terkejut. Mereka memang mendengar kehidupan Hadi yang cukup sulit di masa kecilnya, tapi mereka tak bisa membayangkannya seburuk itu.
Hadi: “Apakah kau tahu rasanya tidur beratapkan kardus di emperan toko?”
Wijaya dan para anggota KPK lain terdiam, dan melihat ke arah Hadi dengan seksama.
Hadi: “Dingingnya menusuk tulang. Bahkan ketika musim hujan tak jarang beberapa dari anak jalanan mati karena kedinginan.”
Hadi melihat ke arah Wijaya kemudian matanya beralih ke anggota KPK lain di belakangnya satu persatu. Hadi melihat mereka seakan ingin mengingat setiap wajah mereka untuk balas dendam. Setiap kali pandangan mata Hadi jatuh pada mereka, anggota KPK itu hanya memalingkan wajah karena rasa bersalah.
Hadi: “Aku hanya membunuh beberapa tumor di masyarakat. Aku juga mencuri dana yang akan dikorupsi oleh para tikus berdasi dan memberikannya pada orang miskin. Aku juga menggunakan dana itu untuk memberikan rumah yang hangat dan makanan yang mengenyangkan untuk anak terlantar sepertiku. Katakan padaku apakah itu sebuah kesalahan?” (nada datar dengan sedikit mengejek)
Hadi melihat ke arah Wijaya selama beberapa detik. Wijaya berusaha memalingkan wajahnya karena rasa bersalah yang mulai tumbuh di lubuk hatinya.
Wijaya: “Ya, itu adalah kesalahan.” (dengan suara sangat kecil dan lemah)
Hadi: “Apakah kalian tahu apa yang akan terjadi jika aku dikirim ke penjara?” (tersenyum)
Wijaya: “Hartamu akan disita oleh negara?” (ragu-ragu)
Hadi: “Hampir benar. Ketika aku dipenjara mereka akan mencoba menghabisiku untuk menutupi jejak kejahatan mereka. Kemudian seluruh harta yang aku kumpulkan akan diperebutkan oleha politisi dan abdi negara yang sama korupnya. Organisasi nirlaba yang kubuat untuk melindungi para fakir miskin akan dibubarkan dengan alasan tidak masuk akal. Anak-anak terlantar yang kurawat akan dilempar ke jalanan. Kemudian panti asuhan yang kubangun akan diambil alih dan dijadikan mall untuk memperkaya konglomerat dan pejabat yang mereka suap.”
Hadi menghela nafas kemudian melihat ke arah Wijaya.
Hadi: “Jadi katakan padaku, apakah apa yang kulakukan ini sebuah kesalahan? Apakah aku salah menghabis para polisi dan pejabat rakus yang menghisapdarah bangsa ini? Apakah aku salah menggunakan dana sosial sebagai mana mestinya untuk merawat anak terlantar yang diabaikan oleh negara ini?” (nada tinggi)
Wijaya: “A-aku...” (perlahan menurunkan senjatanya)
Para anggota KPK saling menatap satu sama lain tak tahu apa yang harus mereka lakukan. Hadi yang baru saja menyelesaikan ceramahnya pada pilar negara hanya tersenyum kecil.
Hadi: “Sepertinya kalian masih belum mengerti. Tapi ini mungkin akan membuat kalian lebih berpikir jernih.” (mengambil sesuatu dari saku jasnya kemudian mengarahkannnya pada Wijaya.)
Tiba-tiba terdengar suara tembakan. Wijaya secara reflek mengira Hadi berusaha menembaknya. Tetapi ternyata apa yang diacungkan Hadi padanya hanyalah sebuah pipa cerutu. Perlahan darah merembes keluar dari dada Hadi. Hadi mencoba memegangi lukanya dengan tangannya dan melihat ke arah Wijaya dengan tatapan mengejek.
Hadi: “Lihatlah, kau bahkan membunuh pria tua yang tak bersenjata. Apa bedanya kau denganku? Kau hanyalah seorang kriminal yang menggunakan nama keadilan untuk kepentinganmu saja.” (bicara dengan mulut penuh dengan darah)
Perlahan tubuh Hadi ambruk ke atas meja. Wijaya yang tidak sengaja menembak Hadi mulai panik. Tangan Wijaya gemetaran entah karena rasa bersalah atau ketakutan karena membunuh seseorang. Perlahan Wijaya ambruk dalam posisi berlutut di lantai. Pistol yang dipegangnya jatuh ke lantai dan memantul entah kemana.
Tamat