Halaman Author
Kontrol semua karyamu pada halaman author, kamu bisa memublikasikan karya baru atau mengatur karyamu dengan mudah dalam satu tempat.
SATIRE
Suka
Favorit
Bagikan
28. Bagian 28

28.INT. KANTOR MENTERI PENDIDIKAN-SEKITAR PUKUL 10.45

Di sebuah ruangan empat kali lima meter, seorang pria lima puluh tahunan menatap ke layar televisi. Suara keramaian dan kekacauan terdengar dari televisi layar datar yang sengaja dipasang di dinding ruangan. Pria dengan kepala penuh uban itu mengambil remot televisi yang ada di atas meja dan mematikan televisi. Dalam sekejap mata ruangan itu menjadi sepi. Seluruh hiruk pikuk yang baru saja terdengar berganti menjadi kesunyian. Pria itu melemparkan remot televisi ke meja. Pria itu kemudian menjatuhkan badannya ke atas kursi. Dia menempelkan kepalanya ke sandaran kursi perlahan menarik nafas dalam dan mengeluarkannya lagi. Smartphone yang berada di atas meja tiba-tiba menyala dengan sendirinya. Pria itu mengambil smartphone-nya dan mencoba membaca pesan yang baru saja dia dapat. Pesan itu berasal dari nomor yang tidak dikenal.

“Kami akan menyerahkan diri.”

Pria itu tersenyum dan meletakkan kembali smartphone-nya ke meja. Matanya tertuju pada sebuah foto yang berbingkai hitam yang terletak di sisi kirinya. Di sana ada foto sebuah keluarga kecil yang terlihat bahagia. Seorang pria muda yang menggendong putranya sambil meniup gelembung sabun, dan seorang ibu yang tersenyum di samping ayah dan anak itu. Pria itu menyentuh foto anak kecil yang ada di dalam bingkai itu dengan jarinya.

Slamet: “Mungkin ini karma, atau mungkin ini hanyalah lelucon dari yang kuasa. Aku bisa menghidupi kalian dengan semua uang yang kumiliki sekarang. Tapi mengapa kau harus mengambil mereka Tuhan?”

Slamet Widodo tersenyum sedih kemudian membalikkan bingkai foto itu. Slamet menghela nafas dan mengambil smartphone-nya. Slamet memasukkan sebuah nomor telepon dan mulai melakukan panggilan. Setelah beberapa bunyi tut, akhirnya telepon itu tersambung.

Slamet: “Aku juga akan menyerahkan diri.”

Seseorang yang dia telepon mendengarkan dengan seksama. Suara nafas terdengar dari pria yang ditelepon Slamet. Pria yang ditelepon olehnya enggan untuk berbicara.

Slamet yang menyadari pria itu tak mau mengatakan apapun tersenyum tipis. Slamet berjalan menuju ke jendela dan membuka tirai yang menutupi cahaya masuk ke dalam ruangan. Slamet mengarahkan matanya pada orang-orang yang berada di bawah. Ratusan orang terlihat berlalu lalang melewati jalanan ibukota. Perlahan mata Slamet tertuju pada sebuah keluar kecil yang berjalan bersama dipinggir jalan. Seorang pria, seorang anak dan ibunya yang saling bergandengan tangan.

Pria misterius: “Mengapa.” (suara dalam dengan nada datar)

Slamet: “Sudah terlalu banyak keluargs yang kita pisahkan. Aku tak sanggup lagi melakukan ini.”

Pria misterius: “Kau menyesal karena mengorbankan orang tak bersalah? Apakah kau lupa siapa yang mengajukan ide untuk mengorbankan Bambang Winarno?”

Slamet: “Aku yang melakukannya dan aku menyesalinya.”

Pria misterius: “Baiklah.”

Slamet: “Kau tidak ingin membunuhku?” (bertanya dengan nada gurauan)

Pria misterius: “Kau bukanlah anak buahku, lagipula harta yang kau miliki juga bukan milikku. Jadi untuk apa aku harus membunuhmu? Itu hanya membuang-buang waktu saja. Lagipula cepat atau lambat ini semua akan berakhir. Penghianatanmu tidak membuatku terkejut.” (nada datar)

Slamet: “Kau terdengar sangat dingin untuk seorang pria baik yang menyumbangkan seluruh hartanya pada anak yatim piatu.” (tertawa kecil)

Pria misterius: “Aku bukanlah orang baik. Aku hanyalah seorang kriminal, tidak lebih dan tidak kurang.” (segera menutup telepon)

Slamet tersenyum dan memasukkan smartphone-nya ke sakunya. Slamet tersenyum sambil melihat ke arah matahari yang sepertinya akan segera berada di puncak singgasananya.

Cut to

Bagikan
Anda harus login atau daftar untuk mengirimkan komentar
Tidak ada komentar