Halaman Author
Kontrol semua karyamu pada halaman author, kamu bisa memublikasikan karya baru atau mengatur karyamu dengan mudah dalam satu tempat.
SATIRE
Suka
Favorit
Bagikan
19. Bagian 19

19.INT. DI RUANG INTEROGASI-SEHARI SEBELUM EKSEKUSI-MALAM SEKITAR PUKUL 9

Flashback

Di dalam ruangan berukuran lima kali empat meter itu seorang pria paruh baya dengan peci merah di kepalanya duduk termenung di sebuah kursi. Matanya terlihat kosong seolah dia telah kehilangan segalanya. Pria itu sedikit menundukkan kepalanya ke bawah seakan dia sedang bertanya-tanya kapan bordol di tangannya itu akan dilepas. Sesekali pria paruh baya itu akan melirik ke cermin satu arah di samping kirinya. Di cermin itu terpantul gambar dirinya beserta sebuah meja dan sepasang kursi duduk terdiam di tengah ruangan interogasi itu. Pria paruh baya itu mungkin tidak terlalu cerdas, namun dia merasakan ada sesuatu atau mungkin seseorang yang sedang mengawasinya dari balik cermin itu. Pria paruh baya itu tahu orang-orang suruhan bos besar sedang mengawasinya, jadi dia tidak ingin membuat kesalahan. Pria itu berusaha tetap diam di kursinya, berpura-pura tidak pernah terjadi apa-apa. Pria paruh baya itu terus berupaya untuk menundukkan kepalanya, menyembunyikan ekspresi kekhawatiran yang menghantuinya.

Perlahan seorang pria muda yang membawa sebuah map hitam membuka pintu ruangan itu dari luar. Pria itu membukanya dengan kasar, sehingga suara derit pintu yang tidak terawat terdengar menusuk telinga. Pria paruh baya yang sedang menundukkan kepala itu mengarahkan pandangannya ke arah pintu. Di depan matanya, seorang pria dengan setelan kemeja putih dan celana hitam sedang menutup pintu dengan rapat-rapat. Tak lupa pria muda itu mengunci pintu itu dari dalam. Pria muda itu perlahan berjalan menuju ke kursi kosong di tengah ruangan tanpa memperhatikan pria berpeci merah itu. Setelah pria muda itu duduk, dia menatap pria paruh baya di depannya. Pria paruh baya itu memiliki kulit kusam, kulitnya penuh dengan keriput. Beberapa luka lebam seukuran kepalan tangan terlihat di wajahnya. Pria muda itu melirik ke arah lengan pria berpeci merah itu. Terlihat dari tangannya beberapa luka lebam yang sama. Bahkan ada beberapa luka sayat akibat benda tajam yang terlihat mulai pulih dan meninggalkan bekas samar yang melintang di tangannya. Pria muda itu mengernyitkan dahinya, sejenak dia menoleh ke arah cermin di sampingnya. Kemudian dia mengarahkan kembali pandangannya pada pria berpeci merah itu. Pria itu meletakkan map hitam ditangannya ke atas meja kemudian membukanya perlahan. Terdapat beberapa lembar kertas di sana, serta beberapa pas foto orang yang di tempel di atas kertas itu.

Pria muda itu menghela nafas menutup kembali map hitam itu dan melihat ke arah pria berpeci merah dengan tatapan dingin.

Wijaya: “Apakah bapak ingin mengatakan sesuatu sebagai pembelaan?” (nada datar)

Bambang: “Tidak.” (suara tegas namun penuh dengan keputusasaan)

Wijaya: “Bambang Winarno, pegawai honorer kecamatan X, gaji pas-pasan, memiliki rumah berupa gubuk yang hampir rubuh dan sebuah sepeda becak tua. Apakah semua itu benar.”

Bambang: “Iya.” (mengangkat kepala dan melihat ke arah Wijaya)

Wijaya: “Pada tahun keempat bapak bekerja di kelurahan, bapak memiliki akses ke dana pembangunan desa. Bapak mengambil dana sekitar lima triliyun lebih ke rekening bapak dan membuat laporan palsu. Kemudian seminggu setelahnya bapak menyerahkan diri ke polisi. Benar?” (tatapan dingin)

Bambang: “Iya, semuanya benar.” (menundukkan kepala sambil mengepalkan tangan)

Wijaya: “Tapi mengapa yang di rekening bapak hanya ada uang enam ratus ribu? Lalu di mana uang itu?”

Bambang: “...”

Wijaya: “Apakah uang trilyunan itu berjalan sendiri keluar dari rekening bapak? Apakah Bapak pikir ini lelucon?” (berdiri dan menggebrak meja)

Bambang terdiam. Bambang ingin mengatakan sesuatu namun dia menelan kembali kalimat yang ingin keluar dari mulutnya. Bambang mengepalkan tangannya dengan kuat, setelah beberapa detik dia melepaskannya lagi. Bambang menghela nafas, kemudian dia membuka mulutnya namun sebelum suara sempat keluar dia menutup kembali mulutnya rapat-rapat. Bukannya Bambang tidak mau berbicara tapi dia tidak bisa.

Wijaya: “Apakah bapak benar-benar ingin mati konyol?” (melihat ke arah bambang dengan ekspresi kesal)

Bambang: “Ya” (dengan nada datar)

Wijaya: “Apakah bapak berpikir kami itu idiot?” (nada kelelahan, duduk kembali ke kursi)

Wijaya melirik ke arah Bambang dan kemudian menggelengkan kepalanya. Wijaya menggunakan salah satu tangannya untuk memijit pelipisnya, Wijaya merasa pusing mengurus kasus abnormal ini.

Wijaya: “Kami tahu bapak mentransfer uang itu ke rekening bank swiss yang penerimanya entah siapa. Tidak mungkin bapak yang cuma seorang pegawai honorer punya rekening bank di luar negeri, apalagi swiss. Jadi kami menyimpulkan bahwa bapak mungkin dipaksa untuk terlibat atau mungkin hanya diperalat. Saya tidak mengerti mengapa bapak sangat keras kepala seperti ini. Mengapa bapak tidak mencoba mengungkapkan siapa saja yang terlibat, setidaknya untuk tetap bertahan hidup demi anak bapak? Dia sudah kehilangan seorang ibu, bagaimana mungkin dia sanggup kehilangan ayahnya juga?”

Bambang: “Saya tak bisa melakukannya?” (dengan suara sangat kecil)

Wijaya: “Mengapa?” (nada datar)

Bambang terdiam, enggan untuk menjawab pertanyaan itu.

Wijaya: “Apakah mereka mengancam bapak?” (melihat lengan bambang yang tidak tertutupi meja)

Bambang mengepalkan tangannya dengan sangat kuat hingga urat-urat di tangannya nampak terlihat jelas menonjol kulitnya. Tangan Bambang sedikit bergetar namun Bambang berhasil menutupi ekspresi wajahnya yang hampir saja memberikan petunjuk.

Wijaya: “Apakah mereka juga memaksa bapak untuk mengaku sebagai pelaku utama di dalam wawancara pagi ini? Agar semua tuduhan ditanggung oleh bapak?” (dengan nada mengejek)

Tangan Bambang sedikit bergetar. Bambang mencoba menahan tangannya yang gemetar sambil menundukkan kepalanya semakin ke bawah.

Wijaya menghela nafas. Wijaya menyenderkan bahunya ke kursi sambil kepalanya melihat ke langit-langit.

Wijaya: “Saya tak mengerti alasan bapak menutupi kasus ini. Namun jika bapak memilih jalan ini, kami tidak akan menghalangi bapak.” (mengambil map hitam lalu berdiri kemudian membuka pintu dan mencoba berjalan keluar)

Bambang: “Tolong jangan libatkan mereka, anggaplah ini sebagai permintaan terakhir saya.”

Wijaya yang mendengar Bambang sedikit menoleh ke belakang.

Wijaya: “Kami tahu, tapi apakah orang-orang kikir itu akan melepaskan mereka?” (tersenyum penuh ejekan)

Bambang: “Mereka tidak akan melakukannya.” (menutup mata dan menjawabnya dengan jelas dan tegas)

Wijaya yang mendengar jawaban Bambang mengernyitkan dahi. Wijaya mencoba berpikir keras dari petunjuk yang mungkin tersembunyi di balik kata-kata Bambang. Namun dia tak bisa .menemukan apapun. Akhirnya Wijaya menggelengkan kepalanya agar tidak berpikir macam-macam. Perlahan Wijaya berjalan keluar, meninggalkan Bambang yang masih duduk terdiam di ruang interogasi itu sendirian.

Cut to

Bagikan
Anda harus login atau daftar untuk mengirimkan komentar
Tidak ada komentar