Username/Email
Kata Sandi
Alamat Email
Kata Sandi
Jenis Kelamin
17.INT. DI SEBUAH PENJARA-PAGI SEKITAR PUKUL 8
Sekelompok nara pidana berkumpul di salah satu sisi sel penjara. Mereka mengerubungi seseorang. Seorang pria paruh baya yang tubuhnya penuh dengan luka lebam. Salah satu napi dengan kepala gundul memegangi pria paruh baya itu dari belakang. Kemudian satu orang napi dengan wajah garang dengan luka bakar di pipinya tersenyum sambil melemparkan pukulan ke wajah pria malang itu. Napi-napi lain yang satu sel dengannya hanya melihat saja sambil tertawa. Sipir penjara yang sehausnya melerai malah tertawa sambil mennton penyiksaan itu dari jauh.
Perlahan seorang pria paruh baya dan sekertarisnya datang mendekai sel tempat penyiksaan itu terjadi. Suara langkahnya yang menggema di lorong penjara semakin lama terdengar semakin keras. Tak lama kemudian pria paruh baya itu telah sampai di depan sel tempat penyiksaan itu terjadi.
Hadi dan sekertarisnya Herman berhenti tepat di pintu masuk sel penjara itu. Sipir penjara yang sebelumnya bersikap antipati, berubah menjadi seorang pembantu yang handal dan penuh loyalti. Sipir penjara itu tersenyum pada Hadi seakan Hadi adalah bosnya.
Hadi yang melihat tingkah sipir itu hanya mengangguk dan kemudian mengabaikannya. Mata Hadi mengarah pada pria paruh baya yang sedang disiksa habis-habisan. Hadi mengulurkan tangannya, memberikan isyarat agar pria itu diseret ke depannya. Pria berkepala botak yang memegangi orang tua malang itu segera mendekat dengan menyeret pria malang itu. Pria botak itu mengangkat tubuh pria paruh baya itu. Sambil tertawa pria botak itu menark rambut pria malang itu ke belakang sehingga membuat pria itu bisa dengan jelas melihat wajah Hadi.
Hadi: “Bagaimana rasanya? Sakit” (melihat dengan tatapan mengejek)
Kardi: “H-hentikan. Aku mohon.”
Hadi: “Sepertinya kau tak ingat? Rusmini, kenal?”
Kardi terus memohon agar dia dilepaskan sayangnya Hadi malah tersenyum.
Hadi: “Sepertinya kau benar-benar melupakannya. Dia ibuku, orang yang setiap hari kau pukuli hanya karena tidak bisa membayar hutang.”
Kardi yang menyadari dirinya berada dalam masalah yang semakin buruk hanya bisa meronta sambil berusaha mengelak. Namun dosanya teralu besar untuk dilupakan oleh Hadi.
Hadi: “Karena kau dia dipukuli sampai mati, dan sekarang kau juga akan merasakan hal yang sama.”
Hadi merendahkan kepalanya dan melihat ke arah Kardi sambil melotot.
Hadi: “Aku akan menyuruh mereka memukulimu setiap hari sampai kau meminta untuk mati.” (mata menatap tajam ke arah Kardi)
Kardi yang ketakutan akhirnya pingsan di tempat. Hadi yang melihat itu sama sekali tidak merasa iba. Api kebencian yang tersimpan di dalam hatinya malah semakin membara. Hadi melihat ke arah sipir penjara dan berbicara dengan nada yang cukup keras hingga semua napi di dalam sel itu mendengarnya.
Hadi: “Siksa dia dengan cara yang lebih menyakitkan. Tapi jangan biarkan dia mati. Mengerti!”
Sipir A: “Baik, pak.” (mengangguk sambil berkeringat dingin)
Setelah Hadi merasa puas dengan jawaban sipir itu dia berjalan meninggalkan sel itu. Tiba-tiba dia berhenti dan mengarahkan pandangannya pada sekerarisnya.
Hadi: “Kau sudah menemukan dia?”
Herman: “Kami sudah menemukannya, pak. Dia menemui orang itu.”
Hadi: “Bereskan dia. Dia pasti senang jika dia kukirim ke tempat adiknya“
Herman: “Ta-tapi pak.”
Hadi: “Tapi apa? Aku tidak perlu anjing yang menggigit tangan orang yang memberinya makan.”
(melihat dengan tatapan tajam).
Herman: “B-baik, saya mengerti. (berjalan pergi sambi menelpon seseorang)
Hadi: “Semua orang yang mencoba menghalangiku harus membayarnya.”(tersenyum)
Hadi berjalan pergi, meninggalkan para napi yang menggigil ketakutan.
Cut to