Username/Email
Kata Sandi
Alamat Email
Kata Sandi
Jenis Kelamin
5.INT. DI DALAM RUMAH-SORE
Flashback
Di dalam dapur yang sebenarnya hanyalah salah satu bagian rumah yang hanya ditutupi oleh sepotong triplek lusuh yang berlubang di mana-mana. Seorang anak kecil sedang meniupkan angin dengan corong bambu yang berlubang. Sesekali dia akan terbatuk-batuk saat asap api yang sulit menyala itu tertiup angin ke arahnya. Meskipun dia sampai tersengal-sengal karena sesak nafas dan kondisi tubuhnya yang kurang bagus, bocah kecil itu terus berusaha menjaga api di tungku itu tetap menyala. Akhirnya kerja keras anak kecil itu terbayarkan, api yang sebelumnya hampir padam karena angin besar yang datang dari lubang di dinding. Setelah puas melihat hasil kerja kerasnya, anak kecil itu mengusap keringat di dahinya dengan lengan tangannya. Akibatnya noda hitam tungku yang melekat di lengannya berpindah ke wajahnya membuatnya terlihat seperti panda.
“Sudah matang nak?”
Terdengar suara seorang pria paruh baya dari balik dinding triplek. Suaranya memang terdengar lantang namun di dalamnya tersembunyi kesedihan yang amat sangat dalam. Rendi yang menyadari bahwa mungkin ayahnya sudah kembali dari kesehariannya untuk mencari nafkah. Rendi segera memeriksa panci yang ada di atas tungku api. Uap air terlihat mengepul keluar, perlahan kabut-kabut uap itu tertiup angin yang berhembus dari dinding triplek yang berlubang.
Sepotong tahu dengan ukuran segenggam tangan sedang direbus di dalam air mendidih. Setelah anak itu yakin bahwa tahunya sudah matang, dia mengambil erok-erok sederhana yang ada di samping tungku. Perlahan dia mencoba mengangkat potongan tahu itu dari air mendidih. Dia tak ingin tahu itu terjatuh ke tanah karena tahu ini merupakan satu-satunya lauk yang mereka miliki untuk hari ini.
Perlahan-lahan dia meletakkan sepotong tahu rebus tanpa bumbu itu di atas piring. Kemudian setelah dia yakin semuanya sudah beres dia mematikan tunggu api itu dengan mengambil semua kayu kering yang masih tersisa. Dia mengambil sebuah gayung yang terbuat dari batok kelapa yang tergantung di dinding. Dia mengambil segayung air dari gentong di luar rumah kemudian menyiramkannya ke bara api yang masih menyala. Setelah dia yakin bara apinya padam, anak kecil itu membawa sepotong tahu di atas piring itu ke meja makan.
Ayahnya yang terlihat masih berkeringat dari ujung kaki sampai ujung kepala tersenyum melihat putranya yang sangat rajin. Dia kemudian mengelap keringat yang bercucuran di wajahnya. Lalu meletakkan handuk di bahunya beserta peci merah lusuh kesayangannya ke atas meja. Dia membuka tudung saji secara perlahan. Terlihat di sana ada sebuah piring plastik kosong dan sebuah piring lain terbuat dari logam, berisi sekepal nasi. Pria tua itu mengambil piring plastik kosong didepannya kemudian mengisinya dengan sedikit nasi dari piring logam yang catnya sudah mengelupas itu. Dia meninggalkan sepertiga bagian nasi itu tetap ditempatnya dan memindahkan dua pertiga bagian di piringnya. Dia menoleh ke arah anaknya yang sudah duduk di atas kursi, memberikan sedikit senyum meskipun terdapat kesedihan yang tersembunyi di dalam senyumannya. Lalu pira tua itu meletakkan kembali piring plastik itu ke meja.
Dia mengambil handuk yang tergeletak di meja kemudian mengusap noda angus yang ada di wajah putra semata wayangnya secara perlahan. Anaknya yang melihat sang ayah yang sepertinya sedang gembira memberikan senyuman terbaiknya. Ayahnya membalas senyumannya dengan mengusap-usap wajah anaknya secara perlahan. Setelah yakin tidak ada lagi noda angus di sana, pria itu mengembalikan handuk itu kembali ke tempatnya. Kemudian dia mengambil piring plastik di atas meja. Dia menoleh ke arah piring baru yang dibawa oleh anaknya. Sepotong tahu yang masih mengeluarkan uap panas berada di sana. Sejenak dia melihat ke arah tahu itu, kemudian melihat ke arah putranya. Dia menggunakan sendoknya yang cukup besar itu memindahkan sepotong tahu itu ke piring putranya. Kemudian dia memberikan piring itu pada putranya sambil tersenyum padanya.
Putranya yang menyadari ada yang salah melihat ke arah piring itu, sepotong tahu yang masih utuh ada di sana. Dia melihat ke arah ayahnya, seolah bertanya mengapa dia tidak mau makan lauknya.
Sambil tersenyum sang ayah mengelus kepala putra semata wayangnya itu.
“Bapak sudah kenyang.”
Sang ayah menepu-nepuk perutnya seakan memberikan isyarat bahwa perutnya yang membuncit itu penuh dengan makanan.
“Bapak sudah makan di warung Mbak Marni tadi, jadi tahunya buat kamu saja.”
Putranya yang mendengar kebohongan ayahnya itu terdiam sejenak. Dia melihat ke arah tahu itu, kemudian perlahan melahapnya. Perlahan setetes air mata mengalir dari ujung mata melewati pipinya. Ayahnya menyadari apa yang terjadi dan dia terdiam. Sang ayah merenungi ketidakmampuannya untuk memberikan makanan dan rumah yang layak untuk putranya itu. Dia melamun sambil melihat putranya bergelut dengan sepotong tahu rebus yang dibumbui sejumput garam, sesekali perkelahiannya itu diiringi oleh sedikit air mata yang menetes dari pipinya. Kesedihan yang selalu berusaha ditutupi olehnya dengan menggunakan lengannya. Dia terus mengusapkan lengannya diwajahnya setiap kali air mata terasa ingin menetes dari matanya. Sang ayah terdiam melihat tingkah laku putranya yang cengeng itu sambil sesekali memasukan sesuap nasi tanpa lauk ke mulutnya.
Voice over (Pak Bambang):
“Meskipun dia menangis dia tak pernah memperlihatkan kesedihannya itu pada ayahnya. Dia akan terus berusaha menahan air matanya itu meskipun dia selalu kesulitan untuk mendapatkan makan tiga kali sehari. Dia selalu tersenyum pada ayahnya yang tak berguna ini.”
Cut to