Halaman Author
Kontrol semua karyamu pada halaman author, kamu bisa memublikasikan karya baru atau mengatur karyamu dengan mudah dalam satu tempat.
SATIRE
Suka
Favorit
Bagikan
6. Bagian 6

6.EXT. DI HALAMAN SEKOLAH-PAGI

Flashback

Pagi dengan cuaca yang cerah, di halaman sebuah SD yang di depannya dipenuhi oleh tanaman hias yang berbaris lurus. Anak-anak berlarian dengan semangat membawa tas dan sepatu baru mereka. Beberapa anak terdengar berlari sambil tertawa. Ada juga yang baru saja datang diantar oleh orang tua mereka dengan mobil atau sepeda motor. Mereka semua berlari masuk ke halaman sekolah dengan senyuman tertempel di wajah mereka, tidak terkecuali Rendi. Hari ini dia diantar oleh ayahnya dengan sebuah becak berwarna merah tua dengan gambar bagong di samping kanan dan kiri becaknya. Perlahan ayahnya mengayuh becak dengan Rendi di dalamnya sampai di depan gerbang sekolah. Ketika sampai di sana Rendi turun dari becaknya kemudian berbalik. Dia meraih tangan ayahnya dan mencium tangan ayahnya yang penuh keringat. Ayahnya tersenyum dan kemudian mengayuh becaknya ke jalanan sambil mengayunkan tangannya pada Rendi. Tak lupa dia melemparkan senyum pada Rendi dan melanjutkan perjalanannya mencari rupiah. Rendi yang melihat ayahnya semakin menjauh, tersenyum lebar. Dia berjalan perlahan menuju ke kelasnya yang jaraknya cukup dekat dengan halaman sekolah. Tiba-tiba dari belakang dia di dorong oleh teman sekelasnya badannya jauh lebih besar dan tinggi darinya. Rendi terguling di tanah hingga membuat bajunya yang sudah lusuh terlihat sedikit lebih kotor. Dia mencoba berdiri sambil melihat orang yang baru saja menabraknya berlari masuk ke kelas. Sejenak anak itu berhenti berlari lalu melihat ke arah Rendi sambil menertawainya. Dia membuka dan menutup mulutnya seperti ikan mas, seolah sedang mengatakan sesuatu tapi Rendi tak bisa mendengar dengan jelas apa yang dia katakan. Setelah puas berbicara anak itu berlari menuju ke kelasnya mengabaikan Rendi yang masih terduduk di tanah. Rendi terdiam. Dia tak bisa mendengar dengan jelas apa yang dikatakan anak itu namun dia tahu dengan jelas apa yang mungkin dia katakan. Kalimat itu terus berulang-ulang ditelinganya seperti kaset rusak.

“Dasar Pemulung.”

Rendi terdiam melihat anak itu lari menjauh darinya seperti orang yang sedang menghindari penyakit menular. Mata Rendi tidak tertuju pada anak itu, tapi pada pakaian anak itu. Bajunya anak itu terlihat sangat bagus dan cerah seperti baru saja dibeli dari pasar. Sepatunya hitam mengkilap dengan merek dan tampilan yang sama persis di iklan TV. Tasnya besar dan terlihat baru.

Kemudian Rendi membandingkannya dengan apa yang dia miliki. Dia melihat ke arah bajunya, lusuh dan penuh dengan noda. Dia melihat ke arah tas bekas yang diberikan oleh tetangganya Mbak Marni. Tasnya hitam namun warnanya mulai memudar. Beberapa bagian sudah diberi tambalan dengan ukuran bervariasi. Kemudian Rendi melihat ke bawah tepat ke arah dua sepatu bututnya dengan warna hitam memudar alias kelabu. Terdapat sebuah lubang yang cukup besar di atas sepatu  kanannya. Dari atas terlihat jelas jempol kecilnya nampak bergoyang setiap kali Rendi menggerakkan jempol kakinya. Rendi teringat kembali ejekan yang seringkali dia dengar. Pemulung. Ya, itu tidaklah salah. Dia memang memulung sampah di sekitar sekolah untuk menambal kekurangan biaya hidup yang dimiliki keluarganya. Dia juga memulung sepasang sepatu ini di tempat sampah. Tapi apakah memulung itu adalah sebuah kejahatan? Rendi menggigit bibir bawahnya. Dia mengepalkan kedua tangannya sekuat tenaga. Bibit rasa iri perlahan tumbuh di dalam hatinya. Tapi rasa iri di dalam hatinya itu perlahan lenyap tergantikan dengan rasa sedih dan keputusasaan. Rendi tahu dengan semua uang yang dimilikinya dia tidak mungkin bisa membeli barang yang baru. Makan saja mereka masih kesusahan, bagaimana mungkin ayahnya mau membelikannya barang yang baru. Kalaupun ayahnya bersedia, Rendi tak sanggup melihat ayahnya terus menerus kelelahan menarik becak hingga malam hari. Rendi hanya bisa tersenyum dengan lebar, berharap tidak ada satu orang pun yang menyadarinya.

Voice over (Pak Bambang):

“Tak peduli kesulitan macam apapun yang dia terima. Dia tetap menahannya. Rendi tidak pernah sedikitpun mengeluh meskipun dia harus pergi ke sekolah dengan sepatu berlubang dan ditertawai anak-anak lain. Dia hanya terus tersenyum seolah tidak pernah ada hal buruk yang terjadi padanya. Perlahan anak itu harus tumbuh lebih dewasa daripada anak seumurannya.”

Cut to

Bagikan
Anda harus login atau daftar untuk mengirimkan komentar
Tidak ada komentar