Halaman Author
Kontrol semua karyamu pada halaman author, kamu bisa memublikasikan karya baru atau mengatur karyamu dengan mudah dalam satu tempat.
SATIRE
Suka
Favorit
Bagikan
20. Bagian 20

20.INT. DI RUANG KETUA KPK-PAGI SEKITAR PUKUL 9

Wijaya yang masih melihat ke jendela sambil melamun tiba-tiba mendengar suara ketukan pintu.

Wijaya: “Masuklah.” (tanpa menoleh sedikitpun)

Seorang pria paruh baya dengan pakaian kantoran yang sama dengan Wijaya, perlahan membuka pintu dan membawa masuk sebuah kotak kardus berisi beberapa lembar kertas. Wijaya membalikkan badannya, matanya tertuju pada pria bernama Rahman itu.

Wijaya: “Apakah itu kasus korupsi baru lagi?” (menghela nafas)

Rahman: “Ya, sepertinya kita akan sibuk sampai akhir tahun nanti.” (tersenyum lelah)

Wijaya: “Bagaimana dengan kasus korupsi dana pembangunan desa? Apakah kita sudah mendapat petunjuk?” (melihat ke Rahman dengan tatapan serius)

Rahman: “Berdasarkan petunjuk dari Bambang Winarno, kami berhasil mengumpulkan setidaknya tiga target dengan sumber dana mencurigakan serta terlibat dengan kegiatan dengan anak-anak.” (meletakkan kardus itu di meja)

Wijaya: “Siapa saja orang itu? Apakah salah satu di antaranya memiliki hubungan dengan Yudha dan Bambang Winarno?” (mengambil beberapa lembar kertas dari dalam kardus dan membacanya dengan seksama)

Rahman: “Kami masih belum bisa mengkonfirmasinya tapi...” (nada ragu-ragu)

Wijaya melihat ke araha Rahman memberinya isyarat untuk melanjutkan kalimatnya.

Rahman: “Seseorang yang telah berada di bawah pengawasan kita menjadi calon tersangka dalam kasus ini. Hadi Priyanto.”

Wijaya: “Petinggi dari partai Y dan juga pendiri Yayasan Nusa bakti? Aku sama sekali tidak terkejut. Kita harus menyeretnya ke meja hijau secepatnya. Apakah kita bisa melakukannya sebelum masa pergantian presiden?” (meletakkan kembali kertas di tangannya dan melihat ke arah Rahman)

Rahman: “Saya takut kita tak bisa melakukannya.” (menghela nafas, melepaskan kacamatanya sambil membersihkannya dengan kain)

Wijaya: “Otak mereka cukup encer untuk membuat peraturan itu.”

Rahman: “Benar, peraturan itu membuat seluruh anggota parlemen kebal hukum. Mereka tak akan bisa dituntut atau ditangkap tanpa bukti yang nyata serta saksi mata.”(memakai kembali kacamatanya dan melihat ke arah Wijaya)

Wijaya: “Deadman tell no tales. Jadi itu penyebab dibalik eksekusi mati Bambang Winarno yang dipercepat. Mereka sama kotornya dengan kakakku. Mereka semua membuatku muak.”

Rahman: “Mungkin Anda benar. Keputusan presiden baru yang disahkan baru-baru ini pasti membuat mereka resah. Hukuman mati tanpa pandang bulu untuk koruptor membuat mereka sulit untuk bergerak. Jadi mereka menggunakan Bambang Winarno sebagai kambing hitam dan juga mengalihkan pandangan publik dari kasus lainnya. Yah, ini cuma perkiraan saja, garis besarnya mungkin sedikit berbeda jauh.” (tersenyum kecut)

Wijaya menghela nafas, melihat kembali ke jendela. Wijaya berdiri dari kursinya kemudian mendekati jendela. Wijaya menutup tirai jendela, kemudian duduk kembali di kursinya.

Wijaya: “Apakah kau sudah menemukan keluarga Bambang Winarno yang hilang?” (dengan suara kecil dan sangat berhati-hati)

Rahman: “Kami mendapatkan laporan dari BIN, mereka sempat terlihat di sebuah cctv di sekitar rumah sakit swasta C. Sayangnya kami masih belum sempat mengkonfirmasi keberadaan mereka.”

Wijaya menghela nafas, kemudian tersenyum kecut.

Wijaya: “Sepertinya keterlibatan Hadi sudah tidak perlu diragukan lagi. Kita harus mengumpulkan lebih banyak bukti lagi, haruskah kita mengajukan izin penyadapan.” (tersenyum mengejek)

Rahman: “Sepertinya itu tindakan yang tidak berguna. Walaupun tersangka mengizinkan ponselnya disadap dia bisa saja menyuruh bawahannya untuk berkomunikasi dengan tersangka lainnya yang terlibat.” (nada mengejek lalu tertawa kecil)

Wijaya: “Sepertinya mau tidak mau, kita harus mencari saksi lainnya. Kita harus mencoba menghubungi keluarga Bambang Winarno untuk mencari petunjuk. Bagaimana dengan Yudha, apakah dia tak mau bersaksi untuk kita. Ini aneh, dia menyerahkan semua bukti itu tapi tak mau bersaksi. Apakah kau bisa menghubungi Yudha?” (merasa bingung)

Rahman: “Kami berhasil menemukan Yudha, sayangnya dia sudah tewas dibunuh.”

Wijaya: “Apa!” (berdiri dan berteriak dengan keras karena terkejut)

Rahman: “Kami sudah mengkonfirmasinya, susunan gigi serta sidik jarinya sama persis. Kemungkinannya sangat kecil jika kita sampai salah orang.” (nada datar)

Wijaya: “Orang tua itu, sudah terlalu banyak orang yang dia habisi. Aku tak mengerti apakah dia itu berwajah iblis atau malaikat. Bagaimana mungkin orang yang suka mendonasikan uangnya untuk panti asuhan secara besar-besaran membunuh orang secara membabi buta. Dia pasti sudah tidak waras.” (nada kesal)

Rahman: “Saya pikir, mungkin ini karena dia besar di jalanan keras ibukota. Seorang anak jalanan yang merayap dari aspal sampai ke bangku parlemen. Saya tidak yakin berapa banyak kegilaan dan pengorbanan yang dia buat hingga sampai sejauh ini.” (ekspresi kasihan sekaligus bercampur takut)

Wijaya: “Mungkin kau benar. Tapi bukankah dia bergerak terlalu cepat? Apakah dia juga meletakkan mata-matanya di KPK? Aku harap aku terlalu paranoid. Sebaiknya fokuskan orang-orang kita untuk mencari keberadaan keluarga Bambang dan petunjuk lain untuk kasus ini. Ingat gunakan orang yang terpercaya saja.” (memijat batang hidungnya karena merasa pusing)

Rahman: “Baik pak. Saya mengerti.” (berusaha berjalan pergi namun berhenti sejenak dan melihat ke arah Wijaya)

Wijaya: “Ada apa lagi? Apakah ada lagi laporan yang ingin kau sampaikan.” (melirik sambil membaca beberapa lembar kertas dari kardus di meja)

Rahman: “Bambang Winarno, haruskah kita menghentikan eksekusi matinya?” (dengan nada hati-hati)

Wijaya yang sebelumnya melirik ke arah Rahman menolehkan kepalanya. Kedua mata Wijaya terfokus ke araha Rahman membuat Rahman berkeringat dingin karena gugup. Rahman takut jika Wijaya yang dikenal berdarah dingin akan murka dan menurunkan pangkatnya.

Rahman: “K-kita bisa menggunakan dia sebagai saksi tambahan.”

Wijaya: “Kita tak bisa melakukannya, ini adalah keputusan orang yang di atas. Lupakan saja ide bodoh itu.” (nada dingin)

Rahman: “Baik, saya mengerti.” (berlari dengan cepat keluar karena ketakutan)

Wijaya melihat Rahman lari ketakutan seperti kucing yang diinjak ekornya. Wijaya menghela nafas dan melihat kembali ke jendela.

Wijaya: “Lagipula, ini adalah keputusan yang dia ambil. Aku harap dia memaafkanku karena berusaha membuat anaknya terlibat.” (tersenyum kecil sambil melamun)

Cut to

Bagikan
Anda harus login atau daftar untuk mengirimkan komentar
Tidak ada komentar