Username/Email
Kata Sandi
Alamat Email
Kata Sandi
Jenis Kelamin
8.INT. DI RUANG ADMINISTRASI RUMAH SAKIT-SORE
Flashback
Di sebuah lorong rumah sakit yang panjang yang dihiasi berbagai potret pasien dokter yang tersenyum. Kesunyian yang biasanya menghiasi lorong itu kini terganggu karena suara langkah kaki yang semakin lama terdengar semakin keras. Seorang pria paruh baya yang badannya basah entah karena keringat atau mungkin hujan gerimis yang lebat terlihat berlari tergesa-gesa menuju ke ruang administrasi. Dia berlari secepat mungkin karena dia sedang bertaruh nyawa. Seseorang, seseorang yang berharga baginya sedang menantinya. Jadi dia tak bisa berhenti dan terus berlari. Pemandangan lorong yang sepi akan pengunjung tidak mengganggunya sama sekali. Nafasnya terengah-engah, peluhnya yang bercampur dengan air hujan terlempar ke mana-mana. Ketika dia sampai di tujuannya, matanya bersinar terang. Dia berhenti tepat di depan meja resepsionis. Matanya yang penuh harapan tertuju pada seorang wanita paruh baya yang berpakaian suster.
Bambang: “Suster, saya sudah membawa uangnya, saya sudah membawa semuanya bisakah istri saya memulai operasinya sekarang.”(berbicara dengan cepat sambil terengah-engah sambil membawa sebuah bungkusan plastik).
Suster: “Bolehkah saya tahu, nama pasiennya Pak.(tersenyum)
Bambang: “Pasien bernama Sumiyati suster, bangsal anggrek.” (masih terengah-engah dengan ekspresi penuh harap.)
Suster itu dengan sigap mencari arsip yang ada di belakangnya. Setelah membolak-balik beberapa lembar kertas dia membuka komputer kemudian menekan beberapa tombol keyboard lalu melihat ke layar komputer. Sejenak dia terdiam. Suster ini masih tersenyum namun kali ini terlihat seperti ada sesuatu yang salah.
Suster: “Maaf Pak, sebelumnya saya ingin bertanya apakah Bapak wali atau saudara dari pasien Sumiyati?”
Bambang: “Saya suaminya Suster, apakah ada masalah?” (merasa khawatir)
Suster:”Mohon maaf Pak, operasi untuk pasien atas nama Sumiyati telah dibatalkan oleh rumah sakit karena donor sudah diambil oleh pasien lain berdasarkan keputusan dewan rumah sakit.”
Bambang: “Ta-tapi Suster, bukankah keluarga pasien pendonor sudah menyetujui untuk mendonorkan jantungnya pada istri saya? Ke-kenapa malah diambil orang lain?”
Bambang mengepalkan tangannya kuat-kuat hingga meremas bungkusan plastik hitam yang dibawanya. Dia menunjukkan ekspresi ketidak percayaan sambil melihat ke arah suster itu.Suster itu terdiam menyadari keluarga pasien yang di depannya melihat ke arahnya. Suster itu menahan nafas menanti cacian dan makian yang mungkin akan segera dilempar keras ke arahnya. Tetapi setelah lama menunggu keluarga pasien di depannya hanya bisa menangis dalam diam. Suster yang melihat pria paruh baya menangis di depannya merasa bersalah namun dia tak tahu harus mengatakan apa.
Bambang: “Suster, apakah ini masalah uang? Saya punya uangnya Suster, saya punya cukup uang untuk operasi.”
Bambang memasukkan tangannya yang gemetar ke dalam kantung plastik hitam di tangnnya. Dia mengeluarkan segepok uang puluhan ribu, limar ribuan dan seribuan lecek yang diikat dengan karet gelang. Bambang memperlihatkan tumpukan uang itu di depan wajah suster itu.
Bambang: “Lihat, ini cukup kan Suster. Cukup kan? Saya mohon Suster, mohon lanjutkan prosedur operasinya saya mohon...” (suara terisak tangis)
Suster: “Mohon maaf Pak.” (memaksakan senyum)
Bambang menjatuhkan uang bersama bungkusan plastik hitam di tangannya. Kemudian dia segera bersujud di depan suster itu sambil menangis sejadi-jadinya.
Bambang: “Saya mohon Suster. Saya mohon operasi istri saya, dia tak ingin mati dan meninggalkan anak kami Suster. Saya mohon, saya mohon Suster. Saya akan melakukan apapun, saya mohon selamatkan istri saya Suster. Istri saya sudah tak memiliki waktu yang banyak, saya mohon Suster. Saya mohon bantulah istri saya.”
Semua mata pengunjung dan pasien yang berada di antrian di meja administrasi mengarah pada tukang becak itu. Sejenak pandangan mata mereka tertuju kepada pakaiannya yang compang-camping atau peci merahnya yang lusuh. Kemudian mata mereka beralih ke arah uang-uang berlumuran keringat yang tergeletak di lantai bagaikan sampah berserakan. Beberapa dari mereka menunjukkan ekspresi kasihan namun tak ada satupun dari mereka yang berusaha maju untuk membantu pria itu berdiri. Kebanyakan dari mereka hanya melihatnya dengan sebelah mata dan melanjutkan kegiatan mereka masing-masing. Seorang satpam yang melihat kerumunan berusaha maju untuk menyelesaikan permasalahan yang terjadi. Namun setelah melihat pak Bambang menangis sambil bersujud di depan suster, dia terhenti di tengah jalan. Satpam itu melihat dengan penuh perasaan sedih bercampur simpati. Ketika satpam itu melihat suster yang kebingungan itu berusaha membuat pak Bambang berdiri, dia melangkah perlahan untuk ikut turun tangan membantu pria malang itu berdiri. Sementara suster lain yang ikut berjaga di loket administrasi merapikan uang yang berserakan dan kemudian mengikuti mereka bertiga.
Suster: “Mohon maaf Pak, ini diluar kemampuan saya. Donornya sudah diambil oleh pasien lain dan operasinya juga sudah dilakukan.”
Bambang menangis sejadi-jadinya. Dia tak sanggup lagi. Dia tak bisa melakukan apa-apa. Satpam dan suster membantunya berdiri. Mereka membawa tubuh pria malang ini ke sebuah bangku di lorong rumah sakit dan membantunya duduk. Suster itu menunjukkan ekspresi bersalah.
Suster: “Bapak, tolong tenang dulu. Tarik nafas dalam-dalam lalu keluarkan.”
Bambang hanya terduduk dan masih belum berhenti mengurai air matanya. Suster yang melihat kondisi pria ini memburuk hanya bisa menghela nafas.
Suster: “Mohon maaf Bapak, kami sudah melakukan semua yang kami mampu namun ini adalah keputusan dewan rumah sakit jadi kami tidak bisa berbuat banyak.”
Suster itu saling bertatap mata dengan Bambang mencoba membuat rangkaian kata yang tepat untuk berkata jujur.
Suster: “Semuanya juga sudah terlambat Pak. Nyonya Sumiyati telah meninggal dua jam yang lalu dan sekarang sedang menunggu persetujuan bapak untuk dimandikan. Mohon Bapak tabah menghadapi musibah ini.”
Bagaikan petir berita buruk itu membuat air matanya terhenti seketika. Tanpa sadar Bambang telah melamun cukup lama hingga suster dan satpam itu telah lama kembali ke pos mereka masing-masing. Air mata di pipinya telah mengering. Bambang mencoba meraba ke sampingnya dan menemukan segepok uang di dalam plastik hitam masih utuh seperti sedia kala. Bambang mencengkram gumpalan itu dengan seluruh emosinya kemudian berdiri tertatih menuju ke ruang di mana istrinya di rawat. Ketika dia sampai di depan pintu, dia menemukan suster sekaligus adik iparnya terduduk di lantai sambil menutupi mulutnya. Air mata masih menetes di pipinya namun suara sama sekali tidak keluar dari mulutnya. Bambang mendekati adik iparnya itu.
Bambang: “Re...”
Bambang ingin mengucapkan nama Rendi namun entah mengapa dia tak bisa mengatakannya. Sulis menyadari kedatangan Bambang dan melihat ke arahnya dengan mata yang masih merah. Sulis mengerti apa yang ingin dikatakan oleh Bambang walaupun dia tidak berbicara dengan jelas. Sulis ingin menjawabnya namun dia tidak sanggup untuk membuka mulutnya. Sulis takut jika dia membuka mulutnya dia akan menangis dengan sangat keras hingga membuat keponakannya itu semakin terluka. Sulis hanya bisa menggelengkan kepalanya tanpa memberikan jawaban apapun.
Bambang melangkah perlahan ke depan pintu ruangan itu. Setiap langkah yang dia ambil terasa semakin berat. Rasa bersalah yang dulu sempat pergi kini mulai menghantui dirinya kembali. Setelah sampai di depan pintu dia mulai kehilangan akal. Bambang tidak tahu ekspresi macam apa yang harus dia buat. Apakah rasa bersalah? Apakah rasa simpati? Atau mungkin keputusasaan. Bambang tidak tahu apa yang harus dia lakukan. Namun suka atau tidak, dia harus masuk ke dalam ruangan itu. Bambang meraih gagang pintu dengan tangannya yang gemetar karena membayangkan ekspresi kesedihan dan kekecewaan dari putranya. Bambang menggenggam erat gagang pintu itu dengan semua emosi yang dia miliki. Perlahan dia memutarnya sehingga pintu itu perlahan terbuka dengan sendirinya. Dari luar Bambang melihat pemandangan memilukan itu. Seorang bocah SD duduk terdiam menatap ke arah ibunya yang terbaring di ranjang. Seolah dia sedang sabar menunggu ibunya yang tertidur karena kecapaian. Sayangnya ibunya tidak akan pernah terbangun lagi untuk selama-lamanya. Bambang melihat ke arah anak kecil itu. Dia tidak berbicara ataupun menangis. Anak kecil itu hanya terdiam seolah dia bukan berasal dari dunia ini. Sejenak Bambang berpikir mungkin saja anaknya baik-baik saja.
Anaknya Rendi bersikap sangat dewasa, malah dia terlalu dewasa untuk anak seumurannya. Bambang berpikir mungkin dengan karakter anaknya itu dia pasti bisa melalui semua ini. Sayangnya Bambang salah besar. Guncangan yang dirasakan oleh Rendi terlalu besar. Rendi tak sanggup lagi menahan semua emosi yang dimiliki olehnya. Segera setelah dia mendengar pintu itu terbuka, Rendi berlari sekuat tenaga berharap sebuah pelukan hangat bisa menyembuhkan hatinya yang telah terluka. Rendi tidak perduli lagi apakah ayahnya basah kuyup ataupun memiliku bau keringat yang menusuk tajam. Apa yang dia tahu saat itu hanyalah dia berharap seseorang mau memberikannya kehangatan. Sesuatu untuk mengisi hatinya yang telah kosong karena kehilangan sesuatu yang berharga.
Bambang menangkap putranya secara refleks. Sejenak ekspresinya yang penuh dengan kebingungan berubah menjadi ekspresi kesedihan. Perlahan Bambang menggendong putranya yang memeluk tubuhnya seperti koala. Bambang menepuk-nepuk punggung putranya sambil mengucapkan mantra favoritnya.
Bambang: “Semuanya pasti akan baik-baik saja. Semuanya pasti akan baik-baik saja.”
Bambang terus menerus mengulangi kalimat itu seperti kaset rusak. Bambang tahu dia hanya membohongi dirinya sendiri tapi dia tak bisa berbuat banyak. Bambang hanya bisa terus menepuk-nepuk punggung putranya yang menangis terisak-isak untuk pertama kalinya. Bambang terus mengucapkan mantra sambil terus menahan air matanya.
Voice over (Pak Bambang):
“Saat itulah aku sadar, bahwa aku bukanlah seorang ayah yang baik. Aku tak sanggup memberikan rumah yang layak. Aku tak sanggup memberikan pakaian baru untuknya. Aku bahkan tak sanggup menjaga putraku ini tetap kenyang. Aku telah banyak membuat anakku menderita tetapi dia tak pernah mengeluh sedikitpun. Namun kali ini dia menangis seperti anak normal lainnya. Ibunya, aku tak sanggup menyelamatkan dia.”
Cut to