Username/Email
Kata Sandi
Alamat Email
Kata Sandi
Jenis Kelamin
3. INT. DI DALAM MOBIL TAHANAN- PAGI
Semua orang di dalam mobil tahanan itu terdiam. Sang narapidana yang akan dieksekusi hari ini juga ikut terdiam sambil melihat ke jendela di sampingnya. Di depannya seorang pria muda duduk dengan tenang. Ketika dia menyadari bahwa Bambang Winarno tidak ingin berbicara, pria muda itu merogoh saku kantongnya. Dia mengeluarkan sebungkus rokok dan menawarkannya pada Bambang Winarno. Namun Bambang hanya diam tak bergeming. Pria muda itu hanya bisa menghela nafas dan memasukkan kembali pematik api dan sebungkus rokoknya ke kantong jasnya.
Bambang: “Bagaimana dia?”
Yudha: “Dia baik-baik saja. Hanya tinggal satu terapi lagi maka dia akan seperti anak normal lainnya.”
Bambang: “Baguslah.”
Bambang Winarno sedikit melengkungkan ujung bibirnya berusaha tersenyum meskipun sedikit air mata mulai meleleh di pipinya. Yudha mengabaikan akting melankolis seniornya itu.
Yudha : “Bapak tidak mau tahu, kenapa saya di sini?”
Bambang:”Buat apa? Salam tempel? Salam perpisahan? Yang manapun itu percuma.”
Bambang tertawa kecut sambil melihat ke jendela dengan tatapan kosong. Entah sedang melamunkan apa.
Yudha: “Loh, jangan gitu pak. Begini-begini kita ini pernah satu kantor, lho.” (dengan nada menyindir)
Bambang: ... (terdiam sambil melihat ke arah luar jendela mobil)
Yudha menyadari dirinya diabaikan jadi dia hanya bisa menghela nafas. Yudha mencoba mengambil rokok dan kemudian dengan santainya mencoba menyalakannya dengan menggunakan korek api. Pak Bambang dan juga para penjaga yang berada di sekelilingnya hanya terdiam saat mereka melihat dia mencoba merokok di dalam mobil polisi. Beberapa kali dia mencoba menyalakan api dengan pemantik rokoknya namun, pemantik rokok itu sulit sekali dinyalakan karena tertiup angin. Akhirnya ia mencoba menggunakan tangan kirinya untuk menutupi api yang dia nyalakan. Tingkahnya itu membuat luka besar yang melintang dari punggung tangannya terlihat jelas oleh Pak Bambang. Pak Bambang melihat sekilas luka yang sepertinya sudah sembuh itu. Lukanya memang sudah tertutup namun bekas kulit terkelupas berwarna putih terlihat menganga jelas seperti mulut harimau itu membuat siapapun yang melihatnya merasa tidak nyaman, termasuk pak Bambang. Beliau hanya melihatnya sekilas saja kemudian melanjutkan lamunannya sambil melihat ke arah jendela kaca yang dihiasi dengan teralis besi.
Setelah bergulat dengan pemantik yang yang sulit diajak bekerja sama akhirnya Yudha berhasil menyalakan rokoknya. Dia memasukkan pematik dan bungusan rokoknya yang baru dibuka itu kembali ke sakunya. Kemudian dia menarik nafas panjang dengan rokok dimulutnya. Setelah itu dia mengambil rokok yang ada di mulutnya itu dengan tangan kanan, kemudian menghembuskan asap rokok yang dia simpan di paru-parunya ke arah pak Bambang yang masih diam tak bergeming.
Yudha: "Bos besar menitipkan pesan untuk Bapak."
Pak Bambang: "..."
Yudha: "Dia berterimakasih karena Bapak mau tutup mulut."(Dengan nada jengkel dan remeh, sambil tersenyum kecut seperti sedang menyindir seseorang).
Pak Bambang masih terdiam tanpa mempedulikan ocehan mantan koleganya. Yudha yang menyadari ocehannya masuk ke telinga kiri dan keluar telinga kanan hanya bisa tersenyum tipis. Rasa frustasi yang tak tertahankan membuatnya terus menerus menghisap dan menghembuskan asap rokok hingga membuat mobil tahanan itu penuh dengan udara yang menyesakkan. Salah seorang abdi negara yang ada di dalam mobil itu yang sejak tadi bermuka masam mencoba untuk mengumpat. Dia berusaha berdiri dan mencoba menghentikan tingkah konyol pria berjas di depannya itu namun sebelum sempat dia berdiri teman kerja di sampingnya menghentikannya. Dia memberikan sinyal pada temannya yang sudah naik pitam itu untuk tidak ikut campur urusan ikan kakap di pemerintahan dengan menggelengkan kepalanya. Akhirnya pria keras kepala itu berhenti bertingkah bodoh dan kembali duduk di kursinya.
Yudha yang menyadari tingkah anak baru itu hanya tersenyum tipis sambil terus mempermainkan asam rokok di dalam paru-parunya. Pak Bambang yang terus menerus diserang dengan asap rokok itu terus terdiam merkipun alisnya yang berkerut menunjukkan rasa tidak senang.
Yudha yang menyadari tingkah kekanak-kanakannya mengganggu pak Bambang tertawa kecil. Dia melemparkan sebatang rokok yang tinggal separuh itu ke lantai mobil. Mengabaikan para polisi yang terlihat kesal karena tindakannya itu, Yudha menginjak puntung rokok itu dengan keras dan mengusap-usap sol sepatunya kelantai hingga puntung rokok itu padam. Seolah dia memiliki dendam kesumat kepada puntung rokok itu. Setelah puas melampiaskan kekesalannya, mata Yudha tertuju pada Bambang Winarno.
Yudha: “Tetapi apa Bapak yakin mau melakukan ini demi tikus-tikus senayan itu.(dengan nada yang rendah dan sangat dingin)
Bambang: ... (masih terdiam, melamun sambil melihat ke luar jendela)
Yudha: “Memang mereka mungkin akan melepaskan kita saat ini, tapi mereka pasti tidak akan segan-segan melenyapkan kita dari muka bumi. Cepat atau lambat, semua orang seperti aku dan Bapak akan dikorbankan satu demi satu. Apakah Bapak tidak kasihan dengan mereka?”
Bambang: ...(Bambang terdiam sambil menoleh ke arah Yudha dengan ekspresi rumit, rasa sedih, bersalah, pasrah bercampur semuanya menjadi satu.)
Yudha yang menyadari seniornya sudah mulai terpancing. Yudha tersenyum tipis seolah sedang melihat sebuah lelucon yang sangat menyayat hati.
Yudha: “Apa Bapak yakin, ingin membuat Rendi jadi anak koruptor?” (dengan nada sedih dan pasrah)
Bambang yang sebelumnya hanya diam bagaikan patung mulai menunjukkan ekspresinya. Kedua matanya menatap tajam ke arah Yudha. Selama beberapa detik mereka saling beradu pandang, hingga akhirnya pak Bambang menyerah dan melemparkan pandangan matanya ke arah jendela seperti sedang mencari sesuatu di luar sana.
Bambang: “Rendi, anak itu. Dia tidak pernah menangis.”
Cut to