INT. RUMAH SAKIT - RUANG KEMOTERAPI - SIANG HARI
Suster memeriksa cairan kemoterapi Reina. Reina fokus mendengarkan rekaman wawancara dengan earphone dan melihat foto-foto dari flashdisk pemberian Wildan di laptop.
Di ruangan, pasien-pasien ditemani oleh satu orang pendamping. Reina satu-satunya yang sendirian di ruangan itu.
INT. RUMAH SAKIT - RUANGAN DOKTER EVA - SIANG HARI
Reina duduk sambil memandang lantai saat Dokter Eva menjelaskan sesuatu.
DOKTER EVA
Kemo selanjutnya akan saya tambahkan dosisnya. Efeknya akan tambah berat buat kamu. Lebih baik kamu ditemani oleh seseorang, untuk jaga-jaga.
Reina tidak menjawab. Ia hanya memandangi jemari tangannya.
DOKTER EVA
Kamu masih belum kasih tahu orang tua soal ini ?
REINA
Belum. Biar mereka dengar tentang kematian saya aja Dok. Saya gak mau jadi beban buat mereka.
DOKTER EVA
Kamu masih punya harapan. Jangan cepat menyerah. Harus yakin. --- Kondisi kamu ini tidak hanya melemahkan fisik kamu tapi juga mental kamu. Kamu gak boleh sendirian. Saya tahu kamu orang yang kuat tapi, sekuat-kuatnya manusia mereka juga selalu butuh bantuan. --- Maaf ya, saya agak cerewet menasihati kamu. Tidak ada maksud untuk menggurui atau apapun. Saya tahu kamu dari dulu. Berjuang sendiri sampai akhirnya bisa sembuh, lalu sekarang keadaan berkata lain. Saya gak mau kamu berjuang sendiri lagi. Kamu ada temen kan? Jangan ragu untuk minta bantuan dia. Atau siapa pun. Jangan memaksakan apa yang tidak bisa kamu kerjakan. Semua orang punya batasnya. Kamu harus ingat, kamu itu kuat. Kamu tidak lemah. Kamu sudah semaksimal mungkin berjuang, hanya butuh sedikit dorongan untuk bisa mencapai apa yang kamu mau.
Reina menghapus air matanya.
INT. KAMAR KOST REINA - KAMAR MANDI - MALAM HARI
Reina muntah-muntah di toilet. Ia duduk bersandar di dinding memegangi lehernya dan menghapus air matanya.
Tangan Reina menggenggam kumpulan rambutnya yang rontok.
Ia terdiam memandangi cermin. Tampak dari belakang, kepalanya sudah mengalami sedikit kebotakan. Badannya juga tampak lebih kurus dari biasanya. Tulang rusuk dan selangkanya semakin jelas terlihat. Begitu juga tulang punggungnya. Pipinya semakin tirus. Ia memandanginya sambil terus menangis.
INT. GEDUNG TEATER RUPAKATA - RUANG PEMENTASAN - SIANG HARI
Clara berlutut dan tertunduk di tengah panggung. Lampu sorot menyinarinya.
CLARA
Usiaku masih delapan tahun ketika mendengar teriakan itu. Suara pecahan kaca menggema sampai ke kamarku. Dan jeritan itu terus berlanjut. Aku hanya bisa terduduk. Menutup telinga. Menutup mata. Dan suara itu berlanjut, setiap hari, setiap malam sampai aku tidak takut lagi. Tiba-tiba, jeritan itu berhenti. Aku membuka pintu dan keluar dari kamar. Lalu aku melihat, ibuku terbaring di lantai dengan darah di mulutnya---bukan---di seluruh wajahnya. Dan pria itu, yang aku panggil ayah, masih berteriak padanya untuk bangun, dengan tinjunya yang berlumuran darah ibuku. Aku sangat marah. Dihitamkan karena nafsu. Aku mengambil barang terberat di kamar yang bisa aku angkat, dan itu adalah helm sepedaku yang diberikan pria itu sebagai hadiah. Aku melempar benda itu padanya, tepat di wajahnya. Dia terjatuh ke lantai. Aku lari ke ibuku, memastikan dia masih hidup, tapi lelaki itu meraih bajuku, dan melemparku begitu keras ke dinding. Aku mencoba untuk berdiri, pandanganku kabur. Aku menangis dan pria itu sangat marah sehingga dia mencekik leherku sampai aku tidak bisa bernapas. Aku meraih pecahan kaca di sebelah ku, dan kemudian, aku menusuk matanya dengan itu. Dan itu adalah hal terakhir yang aku dengar darinya. Teriakannya. Kesakitan...
Clara mengangkat kepalanya, menghadap ke arah penonton.
CLARA
Kita berhasil melalui terowongan yang gelap, menuju cahaya di ujung jalan. Kita kembali bangun dan melanjutkan perjalanan yang sulit ini. Perlahan-lahan, kami membangun kembali kehidupan yang sudah lama hancur oleh manusia biadab itu. Berusaha kembali menemukan senyuman yang sudah lama hilang. Dan...Kita kembali tersenyum. Kembali tertawa. Semua tampak baik-baik saja untuk kita. Sudah 12 tahun berlalu, dan kita masih tersenyum. Berusaha untuk selalu bahagia, menghadapi rintangan bersama-sama. Ibu...Ini untukmu. Untuk setiap air mata dan senyumanmu. Terima kasih Bu. Terima kasih.
Lampu sorot dimatikan. Semua penonton bertepuk tangan. Wildan yang berdiri di samping panggung juga ikut tersenyum dan bertepuk tangan.
EXT. GEDUNG TEATER RUPAKATA - HALAMAN BELAKANG - SORE HARI
Wildan mewawancarai Clara di bangku taman.
CLARA
Kak Rei udah aku anggep kayak kakak sendiri. Sebelum aku buat monologue ini, Kak Rei udah tahu. Waktu itu aku pernah berantem hebat sama pacar. Terus trauma waktu kecil dateng lagi. Aku gak bisa tidur, gak bisa makan. Pokoknya ketakutan banget. Aku gak mau cerita ke mamah, takut khawatir soalnya. Jadi aku cerita ke Kak Rei semuanya.
WILDAN
Dia keras gak ke kamu kalau soal akting ?
CLARA
Banget. Dia serius kalau soal akting. Pas awal aku gabung, Aku masih gugup, malu-malu di atas panggung. Terus Kak Rei nyamperin aku dan bilang sambil ngebentak “Kalau di atas panggung, lupain siapa diri kamu ! Mau kamu segugup apapun, hilangin semuanya ! Jadi karakter !” Dan sampai sekarang aku selalu inget kata-kata itu.
Wildan memotret Clara sambil tersenyum mendengarnya.
CLARA
Aku agak khawatir sama Kak Rei belakangan ini. Kepikiran terus. Pernah waktu itu, Aku denger Kak Rei batuk-batuk, terus aku lihat ada darah di lengan bajunya, tapi aku gak mau bilang. Gak enak soalnya. Pas ke kost an juga, aku ngelihat banyak banget obat-obatan, Kak Rei bilang itu suplemen dari ibunya, terus aku gak sengaja lihat, ada satu botol, mereknya itu obat penahan rasa sakit, ibuku pernah minum soalnya. Kak Rei pernah cerita gak ke Kakak ?
WILDAN
Gak, gak ada cerita apapun. --- Dia baik-baik aja kok. Mungkin lagi stress aja kali.
CLARA
Ya, semoga baik-baik aja deh.
INT. BLUE OCEAN CAFE - RUANGAN MICHAEL - SIANG HARI
Michael (30) dan Reina duduk saling berhadapan. Reina memakai beanie untuk menutupi rambutnya. Michael bersandar di kursinya, diam memikirkan sesuatu.
MICHAEL
Bukannya kata dokter, udah sembuh sepenuhnya ? Kok bisa sih ?
Reina tidak mempunyai jawaban untuk itu, ia mengangkat bahunya.
MICHAEL
Terus gimana sekarang ?
REINA
Aku gak akan bertahan sekarang. Udah habis keberuntungannya.
MICHAEL
Don’t say that, okay?
REINA
Tubuh aku udah gak kuat lagi Mike, aku bisa ngerasain. Udah tinggal nunggu waktu aja. --- Maaf ya, aku ngerepotin kamu. Aku gak mau sebenernya tapi ---
MICHAEL
Rei, Rei. It’s Okay. Gak ngerepotin sama sekali. Uang kafe ini milik kamu juga. Gak ada salahnya kamu minta bantuan ke orang lain. Aku udah transfer tadi. Kalau kurang atau ada apapun, kamu langsung bilang ke aku, ya ?
Reina tidak dapat menahan tangisannya. Michael langsung mememeluknya.
INT. BLUE OCEAN CAFE - BEBERAPA SAAT KEMUDIAN
Wildan asik bercengkerama dengan Kelly (30), istri Michael, yang juga bekerja di sana. Reina dan Michael menghampiri mereka.
MICHAEL
Ayo, loe ngegodain istri gue ya ?
WILDAN
Enggak. Enggak. Ngerayu aja.
KELLY
(ke Michael)
Tenang, bukan tipe aku kok.
MICHAEL
(ke Wildan)
Gimana kopinya ? Enak ?
WILDAN
Enak, enak banget. Tadi mau nambah lagi, cuman yang kedua gak gratis, jadi gak jadi deh.
REINA
(menoyor kepala)
Ya bayar dong, bikin bangkrut orang aja.
WILDAN
Ya siapa tahu masih gratis.
MICHAEL
(tertawa)
Tenang,tenang. Kalo loe sering-sering ke sini, gue kasih diskon deh. Harga kawan.
WILDAN
Deal?
MICHAEL
Deal.
Mereka bersalaman.
WILDAN
Pelanggan tetap nih.
REINA
Serah loe. Udah selesai belum ?
WILDAN
Udah. Udah. Eh bentar dikit lagi ---
(menghabiskan kopi)
Udah.
REINA
Gak sekalian gelasnya loe jilat ?
WILDAN
Gak. Udah kenyang.
REINA
Ya udah, Mike, Kelly, Kita pergi dulu ya, Makasih banyak sekali lagi.
WILDAN
Thank you, yah. Thank you so much.
KELLY
Jangan bosen-bosen ke sini.
WILDAN
Gak akan tenang aja.
MICHAEL
Hati-hati ya. Wil, jaga Reina.
WILDAN
Siap komandan.
Reina dan Wildan berjalan keluar. Reina memandang Michael sebelum keluar. Mereka bertatapan dan saling tersenyum. Setelah mereka keluar, wajah Michael berubah menjadi serius, ia mengkhawatirkan Reina.