Halaman Author
Kontrol semua karyamu pada halaman author, kamu bisa memublikasikan karya baru atau mengatur karyamu dengan mudah dalam satu tempat.
Cinta di Kamar Sebelah
Suka
Favorit
Bagikan
6. Chapter 6: Keresahan Dimas


19. INT. MINI MARKET - SELANJUTNYA

Rudi mencolek Lusi yang sedang berdiri di pintu ruang pegawai. Mereka melihat Dimas yang sedang melayani pembeli di meja kasir: wajah Dimas terlihat begitu murung.


RUDI
Dia kenapa sih? dari tadi murung begitu... Tumben banget. (bisik)

LUSI
Gue juga nggak tahu. Tadi di kampus dia nggak cerita apa-apa. Waktu gue mau kejar dia udah ngilang.

RUDI
(mengangguk-angguk)

Dimas terus melayani pembeli dengan tampang tak semangat.


DIMAS
Silakan, selanjutnya...


19A. EXT. DEPAN MINI MARKET - SELANJUTNYA

Ketika istirahat, Dimas memutuskan keluar mini market, dan menemukan Lusi sedang merokok di teras depan. Perempuan itu tampak menikmati sebatang rokoknya sambil bersenderan di pilar.

Dimas tersenyum kecut kepada Lusi. Lelaki itu kini tampak mengenakan jaketnya dan memeluk tubuhnya, karena angin berembus cukup kencang malam itu.


LUSI
Sebenarnya lu kenapa sih?

DIMAS
Hah?... Nggak. Nggak apa-apa.

LUSI
Jangan bohong.

DIMAS
(tersenyum kecut)

LUSI
Rudi tadi sempat heran, kok lu agak beda hari ini.

DIMAS
Mungkin karena gue sedikit capek aja.

LUSI
Lu ngambil kerjaan lain?

Dimas menggeleng-geleng. Sementara Lusi diam-diam masih terus memandangnya dengan tatapan selidik. Perempuan itu kembali mengambil sebatang rokok. Ia menawari Dimas, tapi lelaki itu tidak mau.


LUSI (CONT'D)
Terus apa?

DIMAS
Gue juga nggak tahu bagaimana menjelaskannya... Ini benar-benar aneh.

LUSI
Iya, memang. Sejak pagi lu aneh.

Lusi menyalakan rokoknya.

Dimas sebentar merenung. Mereka masih berdiri di teras mini market, sambil menatap gerimis yang kemudian datang perlahan-lahan.


DIMAS
Sebenarnya, ini berkaitan dengan kosan baru gue.

LUSI
Kenapa? Lu diusir lagi?

DIMAS
Nggak, bukan itu (menyengir)...

Lusi terkekeh kecil.

DIMAS
Ini juga berkaitan dengan mimpi buruk gue.

LUSI
Jujur, Mas. Seharusnya lu kembali menghubungi psikiater lu terkait masalah ini.

DIMAS
Gue nggak punya duit lagi. Dan gue nggak mau merepotkan ibu atau kakak gue.

LUSI
Ya, gue cuma usul. (beat) Kenapa dengan mimpi buruk, lu?

DIMAS
Setelah menyewa kamar baru di rumah itu. Entah kenapa, mimpi buruk gue semakin nyata. (beat) Gue masih ingat tempatnya persis di salah satu kamar di rumah itu.

LUSI
Indekos lu angker? (tersenyum sinis)

DIMAS
Nggak tahu. Gue nggak mau percaya soal itu. (beat) Gini, kamar gue, kan kebetulan di lantai tiga. Dan cuma gue doang yang kelihatannya masih nempatin kamar di lantai itu. Ada satu penghuni di sebelah kamar gue, tapi kamarnya udah nggak ditempatin. Dan yang menempati juga laki-laki. Sementara itu, ada satu kamar yang membuat gue kebingungan, karena kamar itu nggak disewain sama Bu Erlina. Nggak laku katanya. Tapi, setiap gue melihat kamar itu, gue merasa merinding. Dan gue curiga dia menyembunyikan sesuatu.

LUSI
Biasanya, kalau tempat udah lama nggak ditempatin kan memang begitu. Mungkin, mimpi buruk lu yang semakin nyata itu dipengaruhi oleh kondisi psikologis lu sekarang. Mungkin tanpa lu sadari, lu lagi stres. Akhirnya perasaan itu bercampur dengan mimpi buruk yang selama ini lu rasain, seolah-olah lu melihat sosok yang ada di mimpi itu.

Lusi tampak membuang asap rokoknya.


DIMAS
Mungkin.


Tak lama, sebuah mobil berwarna merah datang, dan berparkir di depan mini market. Dimas sedikit mengernyitkan keningnya. Ketika mobil itu berhenti berparkir, entah mengapa klaksonnya berbunyi nyaring hingga memekakkan telinga Dimas.

Dimas tampak tak kuat. Ia menutup kedua telinganya. Sang pemilik mobil terlihat agak tersinggung dengan Dimas.

Lusi berusaha menjelaskan kepada pemilik mobil kalau Dimas sedang sakit.

Lusi mendekati Dimas yang kepalanya tampak kesakitan.


LUSI
Lu nggak apa-apa, Mas?... Dimas!


Dimas merasakan kepalanya yang kesakitan.

Klakson pun mati.

CUT TO:


20. EXT/INT. HALAMAN RUMAH INDEKOS, LANTAI TIGA, DAN KAMAR DIMAS - SELANJUTNYA

Dimas terlihat turun dari ojek online dan langsung menuju gerbang rumah indekosnya.

Ketika ia hendak memanggil Erlina, pintu rumah utama terbuka dan keluarlah pembantu setia Erlina yang bernama Euis (27 th). Perempuan itu tergopoh-gopoh ke arah gerbang, lalu membukakan pintu tersebut untuk Dimas.


EUIS
Pulang kerja, Kang (logat Sunda)

DIMAS
(tersenyum ramah/letih)Iya. Ibu sudah tahu saya pulang jam segini, ya.

EUIS
Iya. Tadi, ibu sudah kasi tahu.

DIMAS
Kalau begitu, saya duluan Teh.

EUIS
Iya, Kang. Silakan istirahat (senyum)

Dimas lantas menuju kamar kosnya. Namun, perasaan aneh segera menguasainya ketika ia menoleh kembali ke arah gerbang, tampak Euis masih berdiri menatapnya dengan senyuman misterius, yang menurutnya cukup aneh.

Dimas tak mau menduga-duga, ia lantas naik ke lantai dua, lalu ke lantai tiga yang masih gelap. Dimas menyalakan senter ponselnya agar bisa menerangi jalannya. Perasaannya mulai tak nyaman ketika menaiki lantai tiga yang terasa pengap dan pekat.

Sesampainya di lantai tiga, Dimas lantas menyalakan lampu luar. Segeralah ia menatap kamar paling ujung tatkala Dimas membuka pintu kamarnya. Tangannya tampak gemetar karena gigil dingin dan rasa merinding yang telah menguasai tubuhnya.

Angin terdengar membesar dari lantai tiga. Pohon besar yang berada persis di depan rumah indekos itu mendesau cukup nyaring, semakin membuat bulu kuduknya berdiri.

Ketika pintu kamarnya berhasil dibuka, Dimas buru-buru masuk dan mengunci kamarnya. Ia menyalakan lampu kamar. Melepas sepatu dan kaos kakinya, kemudian Dimas duduk di atas ranjang. Ia masih merasakan sedikit nyeri di kepalanya.

Tak lama, mendadak dari jendela yang gordennya belum ditarik itu, ia melihat seorang perempuan berambut panjang, dan bergaun tidur terusan putih, melewati kamarnya begitu saja.

Dimas lantas terkesiap. Ia masih bisa mendengar langkah kaki perempuan itu: berjalan cukup pelan.

Dimas yang tampak ragu, memberanikan dirinya untuk mengintip dari jendela. Perempuan itu masih berjalan melalui beranda lantai tiga. Ia masih mendengar langkah kakinya.

Ia yang begitu penasaran, lalu membuka pintu dan melihat ke beranda lantai tiga yang serupa lorong tersebut. Tampak perempuan berambut panjang dan bergaun putih itu berjalan menuju kamar paling ujung. Bahkan perempuan itu membuka pintu kamar yang menurut Erlina tak lagi disewakannya sejak beberapa tahun lamanya.

Dimas bahkan bisa mendengar perempuan itu menutup dan mengunci pintu kamarnya. Lelaki itu mematung di depan kamarnya. Tubuhnya begitu merinding dan dingin.

DISSOLVE TO:


21. EXT. BERANDA LANTAI TIGA - PAGI

BEGIN MONTAGE

-Dimas masih dalam keadaan yang sama: berdiri menatap kamar paling ujung. Di ujung kamar itu, perempuan berambut panjang dan mengenakan gaun tidur bercorak darah, tampak menatap Dimas dari kejauhan.

-Angin berembus kencang di depan rumah indekos. Beberapa daun berguguran.

-Dimas tak bisa bergerak, sementara perempuan itu masih menatapnya. Perempuan itu menangis darah. Kemudian, Dimas melihat dirinya sendiri keluar dari kamar paling ujung itu lalu naik ke pagar pembatas. Mata Dimas terbelalak tatkala melihat dirinya melompat dari lantai tiga. Ketika ia melihat ke bawah, tak ada sosok dirinya lagi. 

-Dimas kembali melihat ke ujung beranda lantai tiga. Perempuan itu menghilang. Tapi, ketika ia melihat pantulan bayangannya di jendela kamarnya, Dimas terkejut karena bukan wajahnya yang ia lihat melainkan wajah perempuan berambut panjang kusut itu. Kedua matanya tampak mengeluarkan darah.

-Seorang lelaki berpakaian hitam dengan wajah yang buram, tiba-tiba ada di sampingnya. Dimas ditarik ke dalam kamar paling ujung itu. 

-Di dalam kamar, Dimas berdiri di sudut ranjang dan lelaki berpakaian hitam itu menembaki perutnya dua kali, lalu dadanya sekali. Dimas terjatuh di bawah ranjang. Ia melihat perutnya berlumuran darah.

-Gelap perlahan menyertainya.

END MONTAGE

FADE TO BLACK

Bagikan
Anda harus login atau daftar untuk mengirimkan komentar
Tidak ada komentar