Halaman Author
Kontrol semua karyamu pada halaman author, kamu bisa memublikasikan karya baru atau mengatur karyamu dengan mudah dalam satu tempat.
Cinta di Kamar Sebelah
Suka
Favorit
Bagikan
4. Chapter 4: Perempuan Dalam Mimpi

12. EXT. PADANG RUMPUT - SIANG

BEGIN MONTAGE

-Dimas tampak berdiam di tengah-tengah ilalang. Angin berembus kencang sehingga membuat ilalang-ilalalng tersebut berombak. Ia berteduh di salah satu pohon.

-Ia tampak gelisah. Sebentar berdiri, berjalan kesusahan dalam ombak ilalang, sebentar ia duduk melamun, menatap langit yang serba suram.

-Dimas mendengar suara bayi. Suaranya sayup-sayup, tapi kian lama suaranya membesar.

-Dimas melihat seorang perempuan berambut panjang berdiri jauh di depannya. Tubuhnya tertutup ilalang. Ia berlari menuju sosok tersebut.

-Angin berembus semakin kencang, membuat Dimas kesulitan.

-Saat Dimas tiba, ia melihat perempuan itu telah berjalan jauh. Ia melihat bagian bawah gaun tidurnya: penuh dengan bercak darah. Ketika perempuan itu menoleh kepadanya, Dimas melihatnya sedang menggendong seorang bayi.

-Perempuan itu lalu menangis tetapi, menangis darah. Sosok itu kemudian menghilang, setelah ia mendengar suara tembakan tiga kali.

END MONTAGE

FADE OUT

FADE IN:


13. INT/EXT. MOBIL DAN DEPAN RUMAH INDEKOS - MALAM

Mobil truk pengantar telah sampai di depan rumah indekos. Pak Sabar tampak membangunkan Dimas yang tampak tertidur di jok. Keadaan di depan rumah indeokos baru Dimas, sepi sekali.


PAK SABAR
Mas... Mas Dimas.

Dimas mengerjapkan matanya sekilas, lalu terbangun.


DIMAS
Pak. Sudah sampai?

PAK SABAR
Ya. Apa ini rumah indekos barunya? (sambil menunjuk ke depan pintu gerbang)

Dimas menajamkan pandangannya pada tempat yang ditunjukkan oleh Pak Sabar.


DIMAS
Ah, iya Pak. Ini tempatnya. (tersenyum ramah)

Dimas segera bersiap-siap.


PAK SABAR
Kalau begitu, selamat beristirahat, Mas. (tersenyum ramah). (beat) Mau saya bantu ambilkan kopernya?

DIMAS
Biar saya saja, Pak. Jadi, Bapak nggak perlu turun-turun lagi. Biar Bapak langsung ke mini market itu...

Dimas turun dari mobil dan membuka pintu kontainer mobil untuk mengambil kopernya.


DIMAS (CONT'D)
Di mini market seberang sana 24 jam ya bukanya, Pak?

PAK SABAR
Iya. Mulai bulan lalu, mereka memilih membuka mini marketnya 24 jam. Saya sering lembur jadinya.

Terdengar suara Dimas menutup pintu. Dimas yang telah menarik kopernya lantas berpamitan kepada Pak Sabar.

Mobil Pak Sabar pun sebentar kembali menyala dan melaju meninggalkan Dimas di depan gerbang rumah indekos barunya. Setelah itu keadaan begitu sepi. 

Angin malam terdengar berhembus, mendesaukan pohon besar yang ada di depan rumah indekos tersebut. 

Dimas merasa merinding. Ia mulai mencari-cari bel rumah itu, namun tak juga ia temukan.

Dimas memutuskan untuk menghubungi ibu kos yang sudah ia hubungi sebelumnya. Tapi, ketika ia meneleponnya, seorang perempuan dari seberang malah menjawab: 

"NOMOR YANG ANDA HUBUNGI SEDANG BERADA DI LUAR JANGKAUAN. SILAKAN HUBUNGI BEBERAPA SAAT LAGI..."

Dimas sedikit kesal. Ia mencoba menghubunginya lagi sambil melihat pintu gerbangnya yang digembok.

"NOMOR YANG ANDA HUBUNGI SEDANG BERADA DI LUAR JANGKAUAN. SILAKAN HUBUNGI BEBERAPA SAAT LAGI..." 

Kata customer service lagi.

Dimas jadi berdiam di depan gerbang. Celingukan. Semuanya gelap, dan sepi. Ia terus merasa merinding setiap angin berembus kencang.

Ia tampak ragu.

Akhirnya, Dimas memilih memanggil ibu kosnya yang bernama Erlina (45 th) secara langsung.


DIMAS
Permisi... Permisi.


Tak ada yang menyahutnya. Angin tambah membesar di pepohonan depan rumah indekos tersebut.


DIMAS (CONT'D)
Permisi...

Tak ada yang menyahutnya lagi.


Tapi, tak lama Dimas mendengar suara pintu hendak dibuka dari dalam. Ia mulai bersiap. Ketika pintu mulai terbuka perlahan, Dimas tak juga melihat batanghidung pemilik rumah.

Di dalam rumah itu hanya ada ruangan gelap. Ia menunggu Erlina keluar dari ruangan tersebut, namun tak ada juga. Dimas pun mulai resah dan merinding lagi. Ia memutuskan untuk menghubunginya lagi.

Belum sempat ia menekan tombol, wajah Erlina telah muncul di lawang rumahnya. Ekspresinya tampak kebingungan dengan kedatangannya. Erlina tampak mengenakan daster merah bunga-bunga.


ERLINA
Siapa, ya?

DIMAS
Saya Dimas, Bu. Yang kemarin menghubungi Ibu untuk menyewa kamar kos.

ERLINA
Dimas?... Ah, Nak Dimas... Ya, ampun, dari sore ibu tunggu. Tunggu sebentar, ibu ambilkan kuncinya dulu, ya.

DIMAS
Ya, Bu.

Erlina kembali ke dalam mengambil kunci. Sebentar, Dimas telah mendengar kerincingan anak kunci yang dibawa oleh pemilik kos itu.

Perempuan itu segera berjalan ke gerbang dan membukanya sedikit agar Dimas bisa masuk.


ERLINA
Hari ini pembantu ibu sedang tidak ada di rumah, kalau ada pasti sudah dibukakan dari tadi. Mau ibu bawakan?

DIMAS
Oh, nggak usah Bu. Biar saya saja.

ERLINA
Ya, ya. Nak Dimas, sejak kemarin sudah saya siapkan kamarnya. Di lantai paling atas. Lantai tiga. Kamarnya persis berada di dekat tangga, jadi kalau ada apa-apa tinggal turun. (tersenyum ramah).
(beat)
Mari, ikut Ibu. 

DIMAS
Baik, Bu.

14. INT. RUMAH INDEKOS - SELANJUTNYA

Dimas segera mengikuti Erlina menuju kamar yang disewanya. Erlina kini telah sampai di teras rumah utama yang berhadapan dengan bangunan indekosnya. Erlina menunjukkan lantai pertama.


ERLINA
Nah, ini adalah lantai pertama. Dari lima kamar yang ada di sini, semuanya penuh. Biasanya disewa oleh mahasiswa dan karyawan. (beat) Masnya, kerja? (senyum ramah)

DIMAS
Saya sebenarnya mahasiswa, tapi sedang kerja sambilan di mini market di dekat lampu merah itu. Tadi saya kerja dulu, makanya baru bisa ke sini jam segini, Bu. Maaf mengganggu.

ERLINA
Nggak apa-apa... Bagus itu. Kerja sambilan. Mandiri, jadi nggak terlalu bergantung pada uang orangtua.

Erlina mengajaknya kembali naik ke lantai dua. Namun, saat akan menaiki anak tangga, Dimas merasakan aura yang berbeda ketimbang saat ia masih di luar. Suasananya temaram dan udaranya sedikit pengap serta pekat.

Bohlam yang menerangi anak tangga tampak remang, karena sudah dikotori sarang laba-laba.

Dimas terus mengikuti Erlina, menaiki anak tangga ke lantai dua.


ERLINA
Ini lantai dua. Di lantai ini cuma ada empat kamar. Semuanya juga sudah penuh... Ah, Nak Dimas, ibu hampir lupa. Nanti kalau Nak Dimas mau menghubungi saya, pastikan pagi-pagi sekali atau malam seperti sekarang, karena siangan dikit sampai sore, saya ada di pasar.

DIMAS
Ibu kerja di pasar?

ERLINA
Ya (tersenyum), mengecek kios-kios ibu. Ya, lumayanlah, selain bisnis indekos peninggalan almarhum suami saya, saya juga punya bisnis pertokoan di pasar.

DIMAS
Setiap hari, Bu?

ERLINA
Kecuali Sabtu dan Minggu. Nah, Nak Dimas kalau dua hari itu bisa deh.

DIMAS
(terkekeh) terima kasih, Bu. Sudah memberitahu.

Erlina mengangguk. Kini, perempuan setengah baya itu mengarahkan Dimas ke lantai tiga. Erlina berhenti sejenak ketika melihat tangga menuju lantai tiga yang gelap.


ERLINA
(terkekeh halus) Maaf, Nak Dimas. Ini lampunya belum diganti. Kamar di lantai ini memang jarang disewa, jadi jarang dibersihkan.

Dimas melihat lantai anak tangga sedikit kotor.


ERLINA (CONT'D)
Hati-hati.

DIMAS
Iya, Bu.

Udara di sana semakin pekat. Ketika mereka sampai di lantai tiga, Erlina segera menyalakan lampu. Di lantai itu, Erlina sedikit agak kikuk. Dimas pikir itu karena angin yang terasa lebih besar dari lantai paling atas ini.


ERLINA
I-Ini lantai tiga. Cuma ada dua kamar. Kamar Nak Dimas adalah salah satunya, sedangkan yang di sebelah sudah disewa, tapi jarang ditempati. Yang nempatin Laki-laki, mahasiswa juga. Kalau, sampai dua sampai tiga bulan tetap nggak ditempati, ibu akan pindahkan ke penyewa yang lain.

DIMAS
Dua kamar? Terus kalau kamar yang paling ujung itu?

Ekspresi Erlina berubah sedikit pucat. Ia terlihat tak ingin menjelaskan lebih jauh tentang kamar tersebut.


ERLINA
Ah, kamar itu sepertinya akan ibu jadikan gudang saja. Nggak laku. Sudah hampir empat atau tiga tahun gitu, kosong. Ya, mungkin karena nggak strategis, terlalu jauh dan pojok di atas sini. (beat) Kalau begitu, akan ibu buka kamarnya. Dalamnya sudah rapi, kok. Nak Dimas bisa langsung istirahat.

DIMAS
(mengangguk-angguk)Terima kasih, Bu.


Dimas masih penasaran dengan keberadaan kamar paling ujung itu. Sebentar-bentar pandangannya terarah pada kamar paling pojok itu.

Angin pun membesar kembali.

Sementara Erlina telah membuka pintu kamarnya, dan memberikan dua kunci kamar.


ERLINA
Saya berikan dua, supaya ada duplikat. Saya juga pegang satu... Kalau begitu, silakan istirahat. Saya tinggal dulu, ya.

DIMAS
Iya, Bu. 

Dimas menatap kepergian Erlina sebentar. Kemudian pandangnya kembali terarah pada kamar paling pojok. Bulu romanya merinding lagi. Semakin lama menatapnya, semakin membuat tubuhnya tak nyaman.

Dimas cepat-cepat masuk ke kamarnya. Ia langsung menutup dan mengunci pintu kamar lalu menyalakan lampu kamar. Gorden

jendela kamar pun segera ia tarik. 

Dimas meletakkan sembarang koper dan tas ranselnya, ia melihat sebentar kondisi kamar mandi di dalamnya. Tak terlalu besar, tapi bersih.

Ia kemudian membuka sepatu dan kaos kakinya. Duduk di atas ranjang, melamun sebentar. Selanjutnya Dimas merebahkan tubuhnya yang telah lelah di ranjang, dengan dua kaki yang masih menyentuh lantai.


15.INT. KAMAR INDEKOS - MALAM

Dimas terbangun di tengah malam. Ia merasa kebingungan karena kini ia bukan di kamarnya, melainkan kamar berbeda, meski bentuknya mirip dengan kamar indekos yang baru disewanya.

Ia merasa kedinginan di dalam kamar. 

Saat Dimas bangun, ia terkejut melihat mayat perempuan yang selalu mengganggu mimpinya, kini tergeletak di atas lantai, dekat kamar mandi: perempuan itu mengenakan gaun tidur putih yang berlumuran darah.

Perutnya yang masih tampak buncit terus mengeluarkan darah. Dimas segera ketakutan. Terutama ketika melihat kedua mata perempuan itu membelalakinya. Mulutnya dan hidungnya tampak mengeluarkan darah, bahkan wajahnya pun merah semua.

Dimas mendengar perempuan itu seperti hendak mengatakan sesuatu, tetapi ia terlalu dikuasai takut. 

Ketika ia membuka pintu kamar, ia malah masuk ke ruangan yang sama: di mana perempuan itu masih ada di sana. Hanya saja kini posisinya sudah duduk. Tangannya menggapai-gapai. (namun, darahnya tak sebanyak sebelumnya).

Dimas kembali keluar, dan seterusnya ia memasuki ruangan yang sama, dengan posisi perempuan yang terus berubah. Kini, perempuan itu merangkak menahan sakit. Mulutnya berdarah, dan tangannya kembali menggapai-gapai Dimas.


PEREMPUAN DALAM MIMPI
Tolong.... (serak)


Dimas terbelalak, ketika melihatnya merangkak berusaha berdiri, dan berjalan ke arahnya. Dimas ketakutan. Ia kembali keluar kamar, namun lagi-lagi ia kembali ke ruangan yang sama.

Bedanya kini, perempuan itu telah berdiri tegap di pojok ruangan. Pandangan matanya tajam menatap Dimas. Wajahnya masih merah semua. Membuat pemuda itu merinding. Tak ada darah kali ini di perutnya, perempuan itu hanya berdiri menatapnya.

Air mata perempuan itu sebentar berlinang, tatkala seorang lelaki berpakaian hitam tiba-tiba muncul di samping Dimas, berdiri di pojok menodongkan pistolnya.

Tubuh Dimas berguncang, ketika lelaki itu menarik pelatuknya dan tiga peluru lantas bersarang di tubuh perempuan itu. Dua di perut satu di dadanya.

Perempuan itu terjatuh. Dimas semakin menggigil. Ia memutuskan keluar kamar kembali, namun yang ia temui hanyalah gelap.

(Terdengar napas Dimas terengah-engah)

FADE TO BLACK

Bagikan
Anda harus login atau daftar untuk mengirimkan komentar
Tidak ada komentar