Halaman Author
Kontrol semua karyamu pada halaman author, kamu bisa memublikasikan karya baru atau mengatur karyamu dengan mudah dalam satu tempat.
The Broken Feathers
Suka
Favorit
Bagikan
18. BAB 18: BALASAN YANG SETIMPAL (ENDING)

INT. Kamar tidur Ajeng. Pukul 16.35

 

 

Ajeng sedang tiduran seraya mengelus perutnya yang mulai membukit. Ini bulan keempat pasca prahara perselingkuhannya terbongkar. Ajeng memutuskan untuk berpisah dengan Panglima dan lebih memilih Dokter Andre. Sayangnya, Dokter Andre yang digadang-gadang akan bertanggung jawab atas kehamilannya itu hingga detik ini hilang, bahkan kabar beritanya.

Pasca prahara itu, kabar berembus kencang hingga sampai ke pihak rumah sakit tempat Ajeng bekerja. Pihak rumah sakit segera ambil tindakan atas perbuatan tidak terpuji kedua pegawainya. Mereka dipecat secara tidak hormat dari rumah sakit.

Saat hari pemecatan itulah Dokter Andre dan Ajeng berakhir bertemu. Dokter Andre berjanji akan segera mempertanggungjawabkan hasil perbuatannya, tentu saja sebelumnya mengurus dulu perceraian dengan istrinya.

Kini, dokter itu hilang bak ditelan bumi. Ajeng terus mencari informasi keberadaannya, sayangnya Ajeng belum bisa menemukannya.

Ajeng masih mengelus perutnya ketika ibunya masuk. Ibunya datang seraya membawa segelas susu. Ia meletakkannya di samping tempat tidur Ajeng.

Ratna Sari (Duduk di samping ajeng yang sedang telentang): “Sudah ada kabar dari Andre, Jeng?”

Ajeng (Menggeleng lemah): “Belum, Bu.”

Ratna Sari: “Sudah menghubungi teman-temannya? Siapa tahu ada yang mengetahuinya.”

Ajeng : “Sudah, Bu. Hasilnya tidak ada yang tahu.”

Ratna Sari (Menggumam): “MasyaAllah. Terus apa yang akan kamu lakukan ke depannya?”

Ajeng (Wajahnya berubah sedih): “Kalau Mas Adi mau menerima saya, saya mau kembali kepadanya, Bu. Saya benar-benar menyesal telah berkhianat kepadanya. {Air matanya mengalir).

Ratna Sari (Mendesah): “Ibu inginnya begitu, tapi apa mungkin Nak Adi mau melakukannya? Hatinya sudah hancur, Nak.”

Ajeng (Menyeka air mata): “Saya harap ia mau menerima saya lagi, Bu. Meski saya harus menebus dengan cara apa pun. Saya akan melakukannya hingga ia mau memaafkan saya dan menerima saya kembali.”

Ratna Sari: “Tak mudah, Nak, bagi Nak Adi untuk melakukannya, walau kemungkinan itu masih ada. Walau bagaimanapun di atas kertas, kamu masih istrinya.”

Ajeng: “Saya memang bodoh, bu. Bodoh. Menyia-nyiakan orang yang mati-matian mencintai saya. Saya terlalu terobsesi dengan mimpi masa kecil saya. Saya pikir mencintai Dokter Andre akan sangat menyenangkan. Nyatanya ….” (Kembali terisak).

Ratna Sari: “Penyesalan tak ada artinya, Nak. Tapi berdoalah, siapa tahu Nak Adi berubah pikiran, meski peluang untuk itu sangat tipis.”

Ajeng: “Iya, Bu.”

 

 

CUT …

 

 

INT. Kamar tidur Rayya

 

Rayya menatap layar komputernya. Kisah yang ia tulis menjelang ending. Beberapa kali ia mencoba membaca ulang tulisannya di layar komputer. Semenjak ia memutuskan untuk menulis kisah-kisah hidup teman-temannya ia merasa sudah menjadi bagian dari kisah-kisah itu.

Sebenarnya Rayya tidak ingin membuat novel sahabat-sahabatnya itu kalau saja Panglima tidak memaksanya untuk melakukannya. Rayya terlalu sedih untuk masuk ke dalam kisah-kisah itu. Inginnya ia menyimpannya dalam pikirannya saja tidak di buku, tapi Panglima ingin kisahnya termaktub abadi dalam buku. Rayya tak bisa menolak, ini demi sahabat-sahabatnya: Irianti dan Panglima.

Perihal Irianti, sudah seminggu ini ia kehilangan komunikasi dengannya. Ia cemas. Rayya takut sesuatu yang buruk sedang terjadi dengan sahabatnya. Semua akun medsosnya pun tak satu pun yang aktif. Offline semua.

Rayya mencoba membaca ulang tulisannya. Ia menggumamkannya penuh penghayatan.

Rayya (Sambil menatap layar komputer): “Ajeng menatap rumah di depannya dengan perasaan tak karuan. Cat temboknya yang sewarna gading mulai memudar seiring usia dan garangan sinar matahari yang tak pernah absen datang. Tak ada aktivitas sang pemilik kecuali kesunyian yang janggal, seperti hatinya. Ia mencoba mengulur waktu seraya menata debar jantungnya yang kian tak terkendali. Beberapa kejap ia berdiri mematung seolah orang asing yang sangsi mengetuk pintu rumah orang.

Masih bangunan rumah yang sama seperti saat ia tinggalkan lima bulan ke belakang, dengan pohon jambu air di pelataran, pot-pot tanaman hiasan beraneka ragam, juga halaman yang mulai ditumbuhi rumput-rumput liar yang mulai membelukar. Ajeng sedikit berpikir bahwa rumah itu kini tak berpenghuni, karena sejak tadi ia berdiri hampir tak ada bebunyian apa pun---untuk menyiratkan ada orang dalam rumah. Tak terdengar apa pun kecuali kebisingan sesaat kendaraan di jalan yang lewat satu-dua.

Ajeng masih terpaku ketika deritan kecil di arah daun pintu terdengar. Pintu jati sewarna cokelat itu sedikit menguak. Seseorang keluar dengan terlebih dahulu melongokkan wajah. Orang itu---lelaki 30-an, tak menyadari bahwa kemunculannya dari balik pintu telah dipindai seseorang dari arah depan. Lelaki itu perlahan menutup kembali pintu, memutar anak kunci dan terdiam. Pantulan bayangan yang dihadirkan kaca pintu rumahnya mengetengahkan seseorang sedang berdiri di belakang sana. Lelaki itu menyadari bahwa dari bayangan di kaca, ia begitu mengenal proporsi tubuh itu.

Ia tak segera membalikkan badan kecuali membiarkan dirinya termangu beberapa kejap. Ada rasa enggan sekaligus cemas yang kini muncul dalam dirinya. Sirat pertanyaan mengemuka kemudian: apa yang sedang ia lakukan di sini? Untuk apa?

Ia masih membelakangi Ajeng ketika perempuan itu terdengar mendekat dengan bunyi ketukan langkah yang patah-patah. Ada kecemasan dalam langkahnya. Sementara langkah itu terdengar semakin mendekat, ia tak sedikit pun berupaya membalikkan badan kecuali menunggu. Menunggu debar di dadanya mereda.

"Assalamualaikum, Mas," suara itu menggeletar seolah keluar berasal dari perasaan yang gundah, takut, gelisah. Ia---Panglima, tak segera menjawab tetapi membalikkan badan perlahan. Perempuan itu berdiri dalam kegamangan, wajahnya terlihat pucat, sedikit tirus dengan kantung mata menghitam seakan sudah berhari-hari tidak tidur. Ajeng terlihat lelah.

 

"Waalaikum salam," jawab Panglima kemudian. Tanpa semangat.

"Maaf, boleh mengganggu waktunya sebentar?" Ajeng mengatakannya dengan menundukkan padangan. Ia tak ingin kejadian barusan terulang, tatkala tatapan dirinya dan Panglima saling bersirobok. Ia mendapatkan kilat kemarahan di mata Panglima. Kilat yang sama ketika dirinya memutuskan pergi.

Tak ada jawaban, kecuali hening. Panglima memundurkan tubuh dan tertahan di daun pintu. Tak ada upaya dirinya untuk membuat tamunya merasa nyaman. Ia menebarkan benteng jarak bagi tamunya itu. Dan Ajeng, sebagai tamunya, menyadari tebaran itu. Ia hanya bisa geming. Menunggu dan menunggu jawaban Panglima yang masih mengunci bibirnya.

"Maaf, Mas, boleh aku bicara?" Ajeng mencoba mengulang. Ia berharap berikutnya ia mendapatkan jawaban.

"Hal apa yang ingin kamu bicarakan, Dek?" Pada akhirnya Panglima menyerah. Ia tak bisa lagi bungkam. Bagaimanapun ia tahu semakin ia bungkam semakin akan membuat mereka terjebak dalam kekakuan yang sama-sama asing seperti saat ini. Panglima berpikir lebih cepat tamunya bicara lebih cepat permasalahannya selesai.

"Perihal kita," jawab Ajeng. Perempuan itu kembali menunduk.

"Kita?" kejar Panglima. "Maksudmu, aku dan kamu?" tunjuk Panglima ke dirinya dan Ajeng. Kemudian ia menggeleng. "Sejak dirimu pergi dan memilih hengkang dari rumah ini, aku pikir, tak ada lagi kata kita. Aku dan dirimu hanyalah orang asing. Semoga kamu paham, Dek."

Kembali hening. Panglima mengembuskan napas berat, hal yang sama dengan Ajeng. Mereka kemudian kembali terjebak dalam kesunyian yang janggal.

"Aku mohon, Mas, beri aku waktu untuk bicara. Ini penting," paksa Ajeng.

"Penting untukmu, tapi sepertinya tidak terlalu penting untukku."

"Mas, aku mohon. Aku sudah malas untuk berdebat."

"Hal yang sama denganku. Aku pun malas ... tapi, ya, sudah. Perihal apa?" Panglima mencoba mengalah. Ia tak ingin kemarahannya kembali memuncak seperti beberapa bulan ke belakang.

"Boleh bicaranya di dalam, Mas?"

"Sejak kamu memutuskan pergi, sepertinya pintu rumah ini sudah tertutup untukmu, jadi tolong mengertilah. Bicaralah di sini, itupun kalau kamu sudi. Nggak bisa, ya ... sudah."

"Mas ...." Ajeng tampak enggan. Namun, ia sama sekali tidak punya pilihan. "Baiklah."

Ajeng menggeser tubuhnya. Ada sepasanhg kursi rotan di beranda tempat biasa Panglima menikmati sore dengan segelas teh dan camilan di beranda. Ajeng kemudian mrngenyakkan tubuhnya sementara Panglima masih berdiri menyenderkan tubuhnya di daun pintu.

"Ini perihal kandunganku," ujar Ajeng membuka percakapan. Panglima hanya diam, wajahnya mulai diliputi rasa kecewa yang dalam.

"Ya. Terus?"

"Demi calon bayi dalam kandunganku aku mohon, Mas, izinkan aku kembali tinggal di sini, Mas," jelas Ajeng. Panglima mendelik, ia tak menyangka bahwa apa yang baru saja dikatakan Ajeng tentang hal yang sudah membuat selama ini dirinya terluka. Ini tidak adil. Ajeng sudah memperlakukannya jauh lebih buruk dibanding yang sudah-sudah. Ini begitu keterlaluan. Panglima ingin memaki perempuan di depannya, tetapi ia mencoba menahannya.

"Kenapa begitu?" Panglima mencoba meredam emosinya. Ia tak harus memaki tamunya itu. Ia tak ingin melukai hati perempuan di depannya, meski sebaliknya perempuan itu telah melakukannya kepada dirinya berulang-ulang.

"Aku butuh perlindungan. Tidak lebih, Mas," jawab Ajeng penuh pengharapan. Gejolak emosi di dada Panglima kian bergolak. Ia merasaharga dirinya sedang diinjak-injak. Setelah kejahatan yang Ajeng lakukan kepadanya, perempuan itu mencoba mencari perlindungan kepada dirinya. Sinting! Pikir Panglima. Ini tidak bisa ditoleransi.

"Kenapa harus aku?" tegas Panglima. "... bukan dia?"

"Mas ...."

"Tidak. Sepertinya aku tak bisa. Maaf," tolak Panglima. Keheningan kembali merebak, tetapi setelahnya isak tangis terdengar dari bibir Ajeng. Tangis pedih dari seorang perempuan yang tercampakkan. Panglima tidak berusaha meredakan tangis itu kecuali bergegas pergi.

"Waktuku habis, maaf, ibuku sudah lama menunggu. Kalau kamu masih ingin di sini, silakan, tapi pintu tak akan pernah bisa kubuka untukmu. Permisi, Dek," pamit Panglima. Beberapa langkah kemudian ia berhenti, balik badan, lalu bicara setengah berteriak. "Oh, ya! Sampaikan salamku untuk Dokter Andre."

Tangis Ajeng kembali pecah. Teriakan Panglima barusan membuat hatinya kembali teriris. …….."

 

 

Rayya termenung setelah membaca tulisannya sendiri. Ia menatap jam dinding, hampir setengah satu dini hari. Sebentar lagi novelnya akan rampung, tetapi ia masih ragu untuk menerbitkannya. Rayya mendesah. Tiba-tiba ia teringat istrinya yang jauh di sana.

Rayya (Mendesah): "Apa kabar kamu, Bun?"

 

 

 

CUT …

****

Bagikan
Anda harus login atau daftar untuk mengirimkan komentar
Tidak ada komentar