Halaman Author
Kontrol semua karyamu pada halaman author, kamu bisa memublikasikan karya baru atau mengatur karyamu dengan mudah dalam satu tempat.
The Broken Feathers
Suka
Favorit
Bagikan
9. BAB 9: SEMESTA RAYYA

Bogor, Desember 2019

INT. Kamar tidur. Pukul 23.45

Rayya masih menatap layar komputernya. Kursor di layar bergerak ke sana ke mari karena sedang dipermainkan tangan kesal pemiliknya. Rayya terus menatap layar itu. Beberapa deret tulisan masih terjebak dalam kekesalan Rayya. Huruf demi huruf melaju dengan lambat, sesekali harus terhenti dan dihapus berkali-kali. Wajah kesal rayya sekali-kali menegang, kemudian disisipi gerutuan kecil. Di tempat tidur, istrinya sudah terlelap di balik selimut.

Di meja samping komputer gelas kopinya udah tandas dan ampasnya hampir mengering. Berkali-kali jari-jarinya mengetuk kasar permukaan meja. Rayya kesal. Tulisannya sekali ini susah ia selesaikan.

Rayya (Membaca ulang kalimat-kalimat dalam tulisannya di komputer): “Catatan Harian Sang Pecundang 2.” (Rayya memerhatikan deret kalimat itu dengan mengerutkan dahi. Ia merasa bahwa ada yang salah dengan judul itu, tapi sebelah mana salahnya, ia belum paham).

Rayya (Menggumamkan kalimat-kalimat dalam tampilan layar komputernya): “ … Ia merasa ada yang salah dengan hidupnya. Berkali-kali ia ditimpa kemalangan. Setelah istri pertamanya melarikan diri bersama selingkuhannya, dua anak dari pernikahan keduanya mati terserang wabah, sekarang istrinya gila dan hampir melakukan upaya bunuh diri di kamar mandi dengan cara menenggelamkan diri di dalam bak mandi.

Jujur, ia kerap mempertanyakan keadilan Tuhan atas segala kemalangan-kemalangan itu. Ia pikir Tuhan tidak pernah benar-benar sayang terhadap dirinya, seperti sayangnya Tuhan kepada orang lain.

“Tuhan itu benci sama saya. Saya memang seorang pendosa, jadi wajar Tuhan menghukum saya terus-menerus.” Itu yang ia katakan kepada siapa pun ketika orang-orang datang dan bertutur kata dengannya.

“Jangan suka suudzhon sama Tuhan. Itu tak baik,” kata orang-orang, mencoba mengingatkan. Ia hanya tertawa, untuk kemudian bersumpah serapah kepada orang yang berkata demikian itu.”

 

Rayya menatap layar komputernya. Tulisan itu berhenti di sana. Harusnya, malam ini tulisan itu ia selesaikan. Nyatanya ia tak mampu melakukannya. Pikirannya sedang nggak focus. Kacau.

Rayya (Menatap gelas kopinya yang sudah habis): “Brengsek!” (Membanting gelas itu ke lantai hingga pecah berantakan)

Rayya menatapkan kembali layar komputernya. Kursor-nya sama sekali tak bergerak. Ia mengerang.

Beberapa saat lamanya ia terpaku menatap layar, taka da satu huruf pun melaju di lembar words-nya. Buntu. Rayya lagi-lagi mengerang. Kemudian ia menelungkupkan wajahnya di atas meja. Layar tetap menyala ketika kepala Rayya tak bergerak lagi. Ia pusing, mengantuk, dan lelah.

 

 

 

INT. Meja makan. Pukul 10.00

Rayya keluar dari kamarnya. Wajahnya kusut, terlihat masih mengantuk. Ia bergerak ke arah meja makan, membuka tudung saji. Di dalamnya taka da apa-apa kecuali piring kosong.

Rayya (Berteriak): “Bun, nggak masak, ya?”

Tidak terdengar tanggapan kecuali suara bising dari speaker di ruang tengah. Rayya beranjak ke sana.

Istrinya sedang karaokean di ruang tengah ketika Rayya datang. Istrinya terlalu serius dengan mikrophon di tangannya hingga tak sadar kalau suaminya sudah di sana.

Rayya (Mendekat ke arah audio system, kemudian mengecilkan volume suaranya). Istrinya berjengkit, kesal.

Rayya (Sedikit kesal): “Bunda ini gimana, sih, enak-enakan karaokean, masak enggak.”

Aisha (Menggeram): “Cari hiburan saja dilarang. Padahal hanya di rumah. Daripada mamah stress.”

Rayya (Sedikit membentak): “Lho, siapa yang melarang? Ayah tidak berkeberatan kalau saja kewajiban Bunda sebagai seorang istri sudah terpenuhi. Lihat di meja makan, adakan masakan yang bisa ayah makan? Tidak, ada, kan?”

Aisha: “Oh, itu. Sebelum ayah bertanya begitu, coba Ayah pikirkan kenapa Bunda bisa melakukan itu?”

Rayya (Mengerutkan dahi): “Memang kenapa?”

Aisha (Mengembuskan napas, menatap tajam): “Uang belanja habis, dan Ayah malah sibuk dengan naskah novel yang nggak kelar-kelar itu. Terus, Bunda harus ngapain? Masak batu, hah?”

Rayya (Terperanjat): “Masa, iya, Bun? Kok, Bunda nggak ngomong?”

Aisha (mendesah): “Nggak sadar apa, Yah. Kalau Ayah sedang bergulat dengan naskah, kalau ada yang ngajak bicara, bawaannya marah melulu. Ya, mana Bunda berani mengganggu Ayah, bisa-bisa ayah kena omelan pedas, seperti biasa.”

Rayya terdiam, perkataan istrinya benar adanya.

Aisha: “Uang royalti buku yang bulan lalu Ayah kasih, sudah habis. Lagian, uang segitu mana cukup kalau dipakai untuk satu bulan.”

Rayya (Sedikit menyesal): “Maafkan ayah, Bun. Belum bisa memberikan uang lebih. Naskah-naskah ayah mangkrak, padahal penerbit sudah berkali-kali menyuruh untuk segera menyelesaikan kontrak naskah itu untuk segera naik cetak.”

Aisya (Sedikit takut-takut): “Apa sebaiknya Ayah mencari pekerjaan lain. Maksud Bunda, selain dari menulis apa tidak ada pikiran mencari sumber lain gitu?”

Rayya: “Sedang Ayah pikirkan. Soalnya akhir-akhir ini, naskah-naskah yang sudah dipesan pihak penerbit pada mangkrak. Padahal tahu sendiri, kalau tidak mangkrak, masalah keuangan tidak seperti sekarang, mana tabungan sudah menipis pula. Entahlah, setelah dua anak kita meninggal, semangat Ayah untuk menulis mulai kendor. Apa Ayah berhenti saja, ya?”

Aisha tak menjawab.

Aisha: “Sepertinya sudah saatnya, Bunda bekerja.”

Rayya mendesah. Ia tak menanggapi perkataan istrinya barusan.

 

 

 

CUT …

 

 

INT. Ruang redaktur Intisari Publishing. Pukul 11.00

Pak Budiman sedang berbincang dengan Rayya. Ia sedang mendesak agar Rayya segera menyelesaikan kontrak naskahnya bulan ini.

Budiman (Bicara ketus): “Pokoknya saya nggak mau tahu, akhir bulan, naskah itu harus selesai.”

Rayya: “Akan saya upayakan. Semoga bisa, Pak.”

Budiman: “Ya haruslah. Cover sudah dibuat, mau nggak mau harus selesai. Para pembaca sudah terlanjur menunggu sekuel tulisanmu itu. Jangan kecewakan mereka.”

Rayya: “Baik, Pak. Saya berjanji untuk segera menuntaskannya.”

Budiman: “Ok. Nggak selesai berarti karirmu di penerbit saya selesai. Ok!”

Rayya: “Jangan gitu, dong, Pak.”

Budiman: “Ya, mau gimana lagi, kamu harus professional. Oh, iya, royalti buku untuk bulan ini sedikit terlambat, ya, ada sedikit trouble dengan pihak keuangan kantor.”

Rayya mengangguk. Ia segera meminta diri untuk pulang.

 

 

 

CUT …

 

 

INT. Kamar tidur.

Rayya menatap layar komputernya. Hari ini ia bertekad untuk bisa melanjutkan tulisannya. Sayangnya, idenya benar-benar mandek. Ia benar-benar tertekan. Keyboard komputernya sama sekali tak tersentuh.

Rayya (Menggerutu): “Sial!”

Rayya masih terpaku. Sepertinya ia berpikir butuh refreshing mencari hiburan agar pikirannya yang sedang buntu bisa kembali terbuka.

Bagikan
Anda harus login atau daftar untuk mengirimkan komentar
Tidak ada komentar