Halaman Author
Kontrol semua karyamu pada halaman author, kamu bisa memublikasikan karya baru atau mengatur karyamu dengan mudah dalam satu tempat.
The Broken Feathers
Suka
Favorit
Bagikan
15. BAB 15: DUSTA

INT. Ruang tengah rumah Hamidah. Pukul 08.30

Ketika Ajeng memutuskan tinggal sementara di rumah orang tuanya pasca vonis sakitnya itu, begitupun dengan Panglima. Ia menghabiskan waktu siangnya di rumah ibunya.

Panglima sedang duduk santai seraya memandangi ponselnya krtika Hamidah mendekat. Panglima sedang asyik live streaming di aplikasi karaoke online, tanpa sadar ibunya sedang memerhatikannya dan menggeleng.

Hamidah (Berdeham): “Masih sibuk, Di?”

Panglima (Menoleh): “Nggak juga, Bu. Kenapa memangnya?”

Hamidah (Berjalan menuju kursi ruang tengah): “Ibumu ingin bicara. Ada satu hal yang harus ibumu beri tahu. Tapi kamu jangan marah, ya, Di.”

Panglima (Menggeletakkan ponsel): “Marah? Ada apa, sih, Bu, kok, Adi merasa kaget ini.”

Hamidah (Duduk): “Matikan dulu siaranmu. Kita bicara.”

Panglima (Mengambil ponsel itu dan mematikan live streaming-nya): “Baik, Bu.” (Berjalan menuju ibunya).

Hamidah (Menatap anaknya dengan tatapan sedih): “Semoga kamu sudah siap mendengarkan cerita ibu.”

Panglima (Mendesah): “Pasti yang mau Ibu omongin masalah serius. Tentang kesehatan ibukah?”

Hamidah (Menggeleng): “Bukan sama sekali. Ibu Alhamdulillah sudah baikkan. Ini hal lain. Perihal … Ajeng. Istrimu.”

Panglima (Mengerutkan dahi): “Ada apa dengan Ajeng, Bu.”

Hamidah (Mendesah): “Tempo hari ibu sempat cerita. Waktu ibu periksa ke rumah sakit ibu bertemu dengan istrimu tetapi tak datang menyapanya. Alasan ibu karena Ajeng sedang sibuk. Sebenarnya bukan karena itu, Di. Ibu coba tutupi yang sebenarnya terjadi darimu. Ibu tak ingin kamu sedih. Ibu coba mempertimbangkannya dengan tidak mengatakannya. Sayangnya, beberapa hari ini kamu sepertinya lebih banyak melamun dan kurang ceria. Ibu pikir ada masalah. Kamu tidak sedang baik-baik saja. Kamu memilih tidak cerita sama ibu, nggak apa-apa.”

Panglima (Menunduk): “Maaf, Bu. Adi tak mau membebani pikiran Ibu.”

Hamidah (Mengembuskan napas): “Ada yang salah dengan istrimu, Di.”

Panglima (Mengangguk).

Hamidah (Menerawang seperti sedang mengingat): “Ajeng sedang mengobrol dengan seorang dokter. Ibu pikir itu obrolan biasa antara seorang perawat dengan dokternya. Ketika ibu coba mendekat, mereka tak menyadari kehadiran ibu. Obrolannya tidak menunjukkan obrolan seorang perawat dengan dokternya. Lebih dari itu. Obrolannya jauh lebih intim dari percakapan sepasang suami istri. Ibu menyaksikan bagaimana Ajeng berani memeluk dokter itu, dan tahu, nggak, Di. Maaf … ini menyakitkan bagi ibu, Di. Dokter itu mencium dahi dan pipi istrimu berkali-kali. Inginnya ibu melabrak mereka saat itu juga. Sayangnya ibu tidak harus melakukannya. Ibu gegas pergi. Ibu merasa sakit atas kelakuan istrimu itu.”

Panglima (Mendesah): “Hal yang sama Adi alami, Bu. Adi memergoki mereka berdua di kantor. Adi pikir itu wajar, ternyata ….” (Menggemeletakan gigi).

Hamidah (Terkejut): “Iyakah, Di? Kamu melihatnya juga.”

Panglima: “Tapi, Bu, Ajeng sudah cerita soal kedekatannya dengan dokter itu. Ia sedang di bawah pengawasan dokter itu atas sakit yang ajeng derita. Itu pengakuan Ajeng kepada saya.”

Hamidah (Mengerutkan dahi): “Lho, memangnya Ajeng sakit? Sejak kapan? Kok, ibu nggak tahu.”

Panglima: “Nggak tahu juga, Bu. Bilangnya sakit, bahkan memberi bukti hasil pemeriksaannya kepada saya. Adi bingung, Bu. Diagnosis sakitnya penyakit serius, tetapi Adi nggak pernah lihat kejanggalan kesehatan Ajeng sama sekali. Ia bugar-bugar saja.”

Hamidah: “Saki tapa memangnya?”

Panglima: “Leukimia, Bu.”

Hamidah (Tersentak): “Kanker darah, maksudmu? Apa iya?”

Panglima (Mengangguk): “Tapi Adi sangsi, Bu.”

Hamidah: “Terus keadaan Ajeng sekarang gimana? Masih kerja?”

Panglima: “Kerja, Bu. Tapi, sudah tidak tinggal di rumah lagi, Bu. Ia tinggal di rumah ibu-bapaknya sekarang.”

Hamidah (Jengah): “Kok, gitu, Di.”

Panglima (Mendesah): “Entahlah, Bu.”

Hamidah: “Benar-benar aneh ini, Di. Kamu nggak curiga kalau sebenarnya Ajeng tidak sakit? Bisa jadi ini hanya semacam alibi untuk menutupi sesuatu. Ibu, pikir, masa iya sakit kanker tapi masih bugar? Terus kalaupun kedekatan Ajeng dengan dokter itu hanya sebatas pasien dengan dokternya, masa iya harus cium-cium pipi dan dahi? Bagi ibu ini tidak masuk akal.”

Panglima terdiam. Apa yang dikatakan oleh ibunya ada benarnya. Panglima semakin berpikir bahwa Ajeng ada main dengan dokter itu. Apalagi Ajeng sudah menyuruh dirinya untuk mencari perempuan lain atas keadaan sakitnya. Bisa jadi ini upaya Ajeng untuk memuluskan rencananya itu.

Panglima masih merenung ketika ibunya pergi. Pikirannya mulai diisi oleh kemungkinan demi kemungkinan yang bisa saja sedang terjadi.

Panglima (Memekik): “Ahhhhh!!!”

 

CUT …

 

 

 

INT. Kamar tidur, pukul 22.00

Semenjak Aisha, istrinya, memutuskan diri untuk bekerja di luar kota, nyaris har-hari Rayya begitu sepi. Ia kini lebih banyak mennhabiskan waktunya untuk ber-aplikasi, diselingi dengan sekali-kali mengetik. Kontrak naskahnya dengan penerbit dibatalkan karena naskahnya tak kunjung selesai, otomatis ia harus kehilangan penghasilan dari kontraknya itu, bahkan ia harus mengembalikan DP yang sudah dibayarkan dan terpakai oleh dirinya.

Rayya berusaha melupakan kontrak itu. Kini ia sedang mencoba membuat naskah baru. Ia sudah dapat ide menulisnya dari kisah-kisah hidup sahabat-sahabatnya yang ia kenal di aplikasi. Tulisannya sedang deras-derasnya mengalir.

Rayya sedang mengetik. Kursor-nya bergerak ke kiri dan kanan dengan lincah. Ponselnya berdering. Ia abaikan. Fokusnya sedang terperangkap di layar komputer.

Ponselnya berdering untuk kali kedua. Sekali ini ia hentikan ketikannya. Menggapai ponsel dan menemukan nama IRIANTI terpampang. Ia segera mengangkatnya.

Rayya: “Hallo, Teh. Kenapa, Teh?”

Irianti: “Ponsel Panglima tidak aktif. Sudah beberapa hari ini ponselnya nggak bisa dihubungi. Ada apa dengan dia, ya?”

Rayya (Mengerutkan dahi): “Iyakah, Teh. Duh, beberapa hari ini saya tidak ngontak dia, jadi nggak tahu.”

Irianti: “Akang sedang sibuk, ya?”

Rayya: “Nggak juga, Teh. Biasa, lagi ngetik aja.”

Irianti: “Ya, sudah, lanjut saja, Kang. Cuma nitip pesan aja kalau umpamaPanglima menghubungi Akang, kasih tahu saya. Kok, tiba-tiba saya kuatir sama anak itu. Kasihan dia. Sepertinya dia lagi stress.”

Rayya: “Iya, Teh. Paling habis ini saya coba hubungi.”

Irianti: “Oke, Kang. Pamit dulu. Assalamualikum.”

Rayya: “Waalaikum salam.”

Rayya menutup telepon, kemudian melanjutkan ketikannya yang tadi sempat tertunda.

 

CUT …

 

 

 

INT. Ruang tengah rumah Dokter Andre. Pukul 22.10

Dokter Andre masuk ke ruang tengah. Laras berdiri dengan menyilangkan kedua tangannya di perut. Matanya nyalang memperlihatkan rasa marah.

Dokter Andre berhenti di hadapan Laras, tersenyum dan berusaha mencium dahinya. Laras mengelak. Ia memundurkan tubuhnya. Dokter Andre mengerutkan dahi. Bingung.

Dokter Andre: “Kamu kenapa, Mih? Jutek amat.”

Laras (Mendengus kesal): “Baru pulang, ya, Pak Dokter? Jam berapa ini?”

Dokter Andre: “Kamu ini kenapa, sih, Mih? Suaminya pulang kerja malah ditatar.”

Laras (Setengah memekik): “Jawab pertanyaan saya. Dari mana kamu jam segini baru pulang?”

Dokter Andre: “Ya, kerjalah, Mih. Kamu ini kenapa, sih?”

Laras (Membentak): “Bohong! Kamu bohong! Kamu tidak kerja. Hari ini jadwal off. Kamu jalan sama si Ajeng itu kan? Ajeng bukan pasienmu, kan? Ajeng itu pacarmu. Ngaku!”

Dokter Andre (Sedikit emosi): “Hai! Kamu ngomong apa, sih, Mih. Mana berani papih melakukan itu.”

Laras: “Nggak usah ngeles. Saya ada buktinya. “ (Melempar ponsel yang di layarnya terpampang foto Dokter Andre sedang memeluk Ajeng yang hendak masuk mobil).

Dokter Andre (Tersentak): “Itu tidak benar, itu bukan papih.”

Laras (Berjengit pergi): “Kamu jahat Dokter Andre. Saya tidak terima diperlakukan seperti ini. Pergi dari rumah saya dan jangan kembali!”

Dokter Andre (Berusaha mengejar): “Mih. Ini fitnah. Papih tak melakukan apa-apa dengan Ajeng. Sumpah!”

Laras (Terus berlari)

Dokter Andre (Mengejar hingga pintu kamar): “Mih, tunggu. Dengarkan penjelasan papih.”

Laras menutup pintu kamar dengan keras menyisakan Dokter Andre yang berdiri rikuh di depan pintu kamar. Ia memijit keningnya. Ia tampak kalut atas apa yang baru saja terjadi.

Dokter Andre (Menggeram): “Sial!!!”

 

 

CUT …

 

Bagikan
Anda harus login atau daftar untuk mengirimkan komentar
Tidak ada komentar