Halaman Author
Kontrol semua karyamu pada halaman author, kamu bisa memublikasikan karya baru atau mengatur karyamu dengan mudah dalam satu tempat.
The Broken Feathers
Suka
Favorit
Bagikan
10. BAB 10: LOG IN

INT. Ruang tengah. Pukul 10.00

Rayya sedang asyik dengan ponselnya. Ia tampak sibuk berbincang dengan seseorang via video called di aplikasi ponselnya. Sesekali ia tertawa terbahak, sesekali tersenyum geli menyaksikan polah lucu lawan bicaranya.

Awal bulan ia mengunduh aplikasi karaokean online sekadar mencari suasana atas kejenuhan dunia menulisnya. Di sana, bukan sekadar menyanyi, lebih dari itu ia bisa berinteraksi dengan orang-orang baru dari seluruh dunia. Ia bertemu dengan karakter-karakter unik yang pada akhirnya menjadi sahabat barunya. Dunianya kini tak semenjemukan sebelumnya, bahkan ide-ide baru untuk tulisannya mengalir deras, ia banyak mendengar keluh-kesah dan curhatan permasalahan-permasalahan hidup yang rumit. Mereka tak segan menceritakannya kepada dirinya. Di balik keceriaan sahabat-sahabat barunya, banyak kisah-kisah sedih di dalamnya.

Beberapa dari mereka kemudian menjalin komunikasi dua rah dengan dirinya. Dua di antaranya: Irianti dan Panglima menjadi bagian tak terpisahkan dari kesehariannya, seperti saat ini.

Rayya masih asyik berbincang ketika tiba-tiba Aisha muncul.

Rayya (Bicara via video called): “Oke, Mbak, saya pamit dulu. Ada istri saya.”

Irianti (V. O): “Lho, kok pamit. Pasti takut, ya sama istrinya, hehehe. Pasti dirimu members ISSTI, ya?”

Rayya (Terbahak): “Apa, tuh?”

Irianti (V. O): “Ikatan Suami-Suami Takut Istri. Bhuahaha.”

Rayya (Terbahak): “Bukan itu, Mbak.jika tahu ngobrolnya ma perempuan, bakal jereng, tuh, matanya. Ampun, deh. Hahaha.”

Irianti (V. O): “Ya, sudah, saya juga belum beres kerja. Majikan saya bentar lagi pulang. Ok. Salam sama istrimu, bilang saja saya selingkuhan dirimu yang baru. Hahaha.”

Rayya (Terkikik): “Diiih. Cari mati. Hahaha.”

 

Rayya mematikan ponsel. Kemudian bergegas ke arah istrinya.

Rayya: “Bunda dari mana? Kok, Aayah nggak tahu perginya?”

Aisha: “Dari sebelah, Yah, Bu Mutia. Katanya temannya sedang butuh asisten rumah tangga.”

Rayya: “Asisten rumah tangga? Maksudnya, Bunda mau kerja atau apa?”

Aisha (Menundukkan wajah): “Iya, Yah. Bunda ingin kerja. Kan sudah Bunda katakan berkali-kali. Tolonglah, Yah, diizinkan.”

Rayya: “Bunda nggak usah kerja. Biar Ayah saja. Kan Bunda tahu, walaupun Ayah kerjanya cuma nulis, setidaknya, dapur kita bisa tetap ngebul, kan?”

Aisha (Mengembuskan napas berat): “Bukan sekadar dapur, Yah. Bunda ingin ada kegiatan. Selama ini mungkin Ayah tak tahu kalau Bunda ini tertekan. Setiap kali Ayah larut dalam dunia Ayah, Bunda hanya bisa bengong, yang ujung-ujungnya melamun, ingat terus sama almarhum anak-anak. Kalau sudah gitu bawaannya bunda ingin jerit-jerit, nangis sepuasnya. Bunda selalu terkenang mereka. Bukannya tidak ikhlas, entahlah rasa-rasanya Bunda lelah, Yah. Lelah, dan salah satu caranya ya, dengan ada kegiatan.”

Rayya tersentak. Ia kini menyadari kekeliruannya. Betapa ia terlalu fokus dengan dunia menulisnya sementara istrinya yang tengah menata diri dari keterpurukan pasca ditinggal pergi dua anaknya ia abaikan. Rayya mengembuskan napas berat. Ternyata, ia begitu abai terhadap istrinya itu.

Rayya (Mendekat ke arah Aisha, mendekapnya): “Maafkan, Ayah, kalau selama ini kurang memerhatikan Bunda.”

Aisha (Membalas pelukan itu): “Bunda mohon, izinkan bunda bekerja.”

Rayya (Tak menjawab).

Aisha: “Bolehkan, Yah?”

 

 

CUT …

 

 

 

Taichung.

 

INT. Kamar tidur, pukul 20.00

Irianti baru selesai salat Isya ketika ponselnya bordering. Seseorang di seberang telepon sepertinya ada keperluan mendesak, sebab panggilan masuk telepon itu berbunyi untuk yang ketiga kalinya. Irianti segera mengambil dan mengangkatnya. Dari Panglima, sahabat barunya yang ia kenal lewat aplikasi karaoke online. Meski baru, tapi irianti sudah akrab dengannya.

Irianti : “Kenapa, Di? Ada masalah besarkah sampai dirimu menelepon saya berulang-ulang.

Panglima (V. O): “Saya mau curhat, nih, bolehkan, ya?”

Irianti: “Dih, memangnya saya Mamah Dedeh? Curhat, kok, ke saya. Hahaha. Bayarannya mahal, lho, kalau curhat ke saya. Hehehe. Dihitung permenit.”

Panglima: “Ya, deh, ntar dibayar pakai koin. Butuh saweran berapa? Hehe.”

Irianti (Mendengus sambil tersenyum): “Ish. Ya, sudah, curhatan apa?”

Panglima: “Tapi, nggak ganggu, kan, ya, Mbak?”

Irianti: “Ya, ganggulah. Orang mau tidur ditelepon. Hahaha. Lanjut, Di, ceritakan dengan bahasa yang mudah dimengerti. Okeh!”

Panglima: “Okeh. Ini perihal istri saya, Mbak. Begini, kayaknya akhir-akhir ini ia berubah.”

Irianti (Menyela): “Maksudnya berubah jadi ksatria baja hitam, gitu, hah? Hehehe.”

Panglima (V. O, terbahak).

Irianti: “Oke. Lanjut, Di. Seru, nih, kayaknya ceritanya.”

Panglima (V. O): “Dia sekarang kalau berangkat kerja pagi banget, nggak mau saya antar juga. Terus kayaknya sibuk terus tiap harinya, sampai-sampai pemeriksaan rutin kesehatan ibu saya yang ia pegang sudah nggak pernah lagi dilaksanakan. Dan, maaf, Mbak, sekarang saya sering cek-cok sama dia. Alasannya yak arena duit kurang. Sejak saya di-PHK, jatah uang bulanan tak bisa saya penuhi dengan utuh, tapi walau sedikit-sedikit ada, sih sebenarnya. Ya, gimana saya mau bisa ngasih uang belanja seperti biasanya, saya kan sementara kerja sekadar bantu-bantu usaha Bapak.”

Irianti: “Dirimu punya kecurigaan nggak kenapa istrimu menjadi berubah seperti itu? Misalnya something affair, atau, hihihi … lagi nyari papah baru yang uangnya banyak. Hehehe. Istrimu kan perawat, ya, barangkali ada main sama dokternya, bisa jadi sedang belajar menyuntik yang baik, heuheheu.”

Panglima (V. O): “Kecurigaan, sih, ada, tapi belum bisa dijadikan acuan untuk itu. Sepertinya bukan karena itu.”

Irianti: “Kok, bisa berpikir bukan. Jangan salah, lho, perempuan berubah itu ada beberapa faktor, lho, ekonomi, jenuh, dan itu tadi … se --- ling --- kuh. Saya bukan ngomporin, lho, Di. Hehehe. Saya tahu itu karena saya … duh, akhirnya buka kartu. Saya pernah selingkuh dengan laki orang. Hahaha.”

Panglima (V. O, terbahak): “Yang benar, Mbak.”

Irianti: “Ya. Dan itulah gobloknya saya. Itu ketika saya masih dengan suami yang pertama, lho, Di. Kalau ingat itu saya sedih. Dosa saya sama almarhum suami pertama besar banget. Sampai ia meninggal sama sekali ia tak tahu kalau sudah diselingkuhi. Kalau ingat itu saya ingin nangis guling-guling.”

Panglima (V. O): “Badgirl juga, nih, mbak saya ini. Haha.

Irianti: “Iya, sih. Itu kan dulu, Di. Sekarang sih nggak mau, lha, cingkuh-cingkuh, meski calon suami baru saya tinggalnya jauh di Indonesia sana. Saya akan tetap setia, satu jiwa. Hahaha.”

Panglima: “Baiklah. Kembali ke masalah saya, Mbak. Terus kalau posisinya seperti itu, apa yang harus saya lakukan, Mbak?”

Irianti: “Kamu ini polos apa bego, sih, Di. Hahaha. Ya, cari tahulah. Siapa tahu kecurigaan saya pada istrimu benar adanya. Saatnya bergerak, Di, sebelum terlambat.”

Panglima: “Oh, oke, kalau gitu. Sip.”

Irianti: “Di, bentar, calon suami saya telepon.”

Panglima: “Ya, sudah kalau gitu, saya tutup teleponnya. Ok, Mbak, makasih sarannya.”

Irianti: “Sama-sama Beruang Madu saya.”

Panglima (V.O terbahak): “Ish.”

 

Pembicaraan mereka berhenti. Irianti mengangkat telepon yang satunya lagi, calon suaminya, Yudi, menelepon dari Indonesia. Kemudian mereka terlibat percakapan panjang setelahnya.

 

 

CUT TO …

Bagikan
Anda harus login atau daftar untuk mengirimkan komentar
Tidak ada komentar