Username/Email
Kata Sandi
Alamat Email
Kata Sandi
Jenis Kelamin
Taichung, Desember 2018
EXT. Halaman depan sebuah rumah dengan pagar besi tinggi. Sore menjelang malam.
Irianti: Seorang perempuan Melayu, berdiri menatap rumah tersebut. Ia membawa tas jinjing warna biru, pakaian yang sedikit berantakan, sepatu yang salah satu haknya hampir copot. Wajahnya seperti menyiratkan harapan sekaligus ketakutan. Salju tipis luruh dan terperangkap di rambutnya yang tak berpenutup kepala. Ia kedinginan, wajahnya pucat, sementara badannya menggigil.
INT. Ruang keluarga dengan perabotan rumah sederhana: satu set sofa yang menghadap sebuah meja televisi yang dilengkapi home theatre. Suara dengung lirih pemanas ruangan. Lampu ruangan yang benderang.
Dr. Wu: Seorang pria Mandarin 45 tahun, tinggi 170 cm dengan badan tegap, berkepala plontos. Menatap jendela kaca depan yang langsung menghadap ke arah jalan, tempat perempuan Melayu itu berdiri. Sesekali mengerutkan dahi, seraya memerhatikan gerak-gerik perempuan di balik gerbang rumahnya.
EXT. Halaman depan rumah dengan pagar besi tinggi. Hari mulai gelap.
Irianti berjalan perlahan mendekati gerbang, mondar-mandir seperti orang bingung. Sekali-kali menatap pagar besi, merabanya, menjulurkan kepala seolah mencari seseorang, lantas kembali berdiri mematung. Ia seperti ragu antara mau masuk atau tidak. Ia tak menemukan tombol apa pun untuk ia tekan sebagai bel.
INT. Ruang keluarga.
Dr. Wu berjalan dari ruang keluarga melintasi ruang tamu, membuka pintu, gegas menuju pintu gerbang. Menggeser pintu tempat Irianti berdiri canggung.
EXT. Pekarangan rumah.
Dr. Wu (Dalam Bahasa Mandirin): “Ada yang bisa saya bantu, Nona?”
Irianti (Sedikit terkejut karena tak menduga pintu akan bergeser. Ia sama sekali tak menyadari kehadiran Dr. Wu dari dalam rumah. Sedikit beringsut): “Maaf, Tuan. Saya mencari Dokter Wu.”
Dr. Wu: “Ada keperluan apa Nona mencarinya?”
Irianti (Menundukkan wajah, sedikit menggeleng. Ada kecemasan di mata yang coba ia sembunyikan): “Entahlah, Tuan, saya juga bingung, bantuan apa yang bisa saya mintai darinya.”
Dr. Wu (Menatap Irianti penuh selidik, yang ditatap semakin menundukkan wajahnya jauh lebih dalam. Dr. Wu tak berkata-kata beberapa waktu lamanya kecuali memerhatikan Irianti seolah menilai perempuan di hadapannya sebagai orang baik atau bukan): “Kalau begitu silakan masuk dulu, kita bicara di dalam saja.” (Dr. Wu menggeser pintu gerbang semakin lebar, lalu mempersilakan Irianti masuk).
Irianti mengekor di belakang, sementara Dr. Wu berjalan perlahan menuju rumah. Mereka berhenti sebelum masuk.
Irianti (Menatap Dr. Wu dengan bingung sekaligus penasaran): “Apa Anda yang bernama Dr. Wu, Tuan?”
Dr. Wu (Tak menjawab kecuali mengangguk).
Irianti: “Maafkan kalau saya telah begitu lancang datang ke tempatmu, Tuan. Saya tak tahu lagi ke mana saya harus meminta tolong. Seorang teman … memberikan alamat Anda, Tuan.”
Dr. Wu: “Maksudmu Dr. Liu?”
Irianti: “Bukan, Tuan, pembantu di rumahnya. Ia … teman saya.”
Dr. Wu (Mengerutkan dahi, ia masih belum paham, tapi kemudian ia mencoba tersenyum): “Baiklah kalau begitu. Tak masalah. Silakan duduk. Saya ambilkan dulu minuman hangat, sepertinya kamu sangat kedinginan, Nona.”
INT. Ruang tamu. Satu set sofa berwarna gading, meja marmer, beberapa lukisan ekspresionis menempel di dinding, karpet motif harimau di bawah meja, lemari pajangan berisi koleksi boneka keramik. Irianti duduk menghadap segelas susu cokelat yang masih mengepul, sementara di seberangnya, Dr. Wu sedang memerhatikan setiap gerak-geriknya. Di luar sudah gelap, tetapi tirai belum ditutup.
Dr. Wu (Mendeham untuk membuka percakapan): “Coba kamu ceritakan permasalahanmu. Tidak usah buru-buru, santai saja.”
Irianti (Tidak segera menjawab. Ia menggenggam erat gelas cokelatnya, sepertinya ia masih menunggu saat yang tepat untuk bicara. Setelah menarik napas sebentar, ia mulai berbicara): “Sebelumnya saya mau mengucapkan banyak terima kasih atas kesediaan dokter mempersilakan saya masuk. Sementara saya hanya seorang asing yang harusnya dokter curigai keberadaannya yang tiba-tiba.”
Dr. Wu (Sedikit tersenyum. Ia mendesah): “Saya tak begitu, Nona. Saya tahu siapa Dokter Liu, ia tak mungkin mau mencelakai saya. Kemunculan kamu di sini atas saran Dokter Liu pasti punya maksud tertentu, dan saya yakin bukan untuk hal yang buruk. Saya pastikan itu, Nona. Dan satu lagi, sebelum kamu datang, sahabat saya itu telah menelepon, jadi saya tak mungkin mencurigaimu, Nona.”
Irianti: “Terima kasih, Dokter.”
Dr. Wu (Mengangguk): “Coba ceritakan kronologisnya.”
Irianti (Menarik napas panjang, mulai bercerita)
CUT TO BLACK.
DISSOLVE TO …
INT. Ruang bawah tanah merangkap gudang, ada kandang anjing. Seorang perempuan sedang tergeletak di atas selembar kardus di samping kandang anjing, tak bergerak, mungkin tertidur atau pingsan dengan pakaian kotor, sementara dua ekor anjing, jenis pittbull, menyalak di dalam kandang. Lampu ruangan redup.
Kedua anjing terus menyalak. Keduanya mondar-mandir di dalam kandang. Sekali-kali mereka melongokkan kepalanya dengan lidah yang menjulur. Perempuan di samping kandang masih belum bergerak.
Kedua anjing terus menyalak. Perempuan di samping kandang mulai menggeliat. Ada erangan pendek dari bibirnya yang berdarah.
Suara pintu yang dibuka dari atas ruangan. Perempuan itu bangkit perlahan, mengalihkan pandangan ke arah di mana sebuah tangga penghubung ruang bawah dan atas berada. Suara langkah kaki menuruni anak tangga terdengar nyaring. Seorang pria tinggi kerempeng tampak tergesa menuruni anak tangga. Perempuan itu menekuk lututnya dan menenggelamkan wajahnya ke sela kedua lututnya, kemudian terdengar isak tangis tertahan.
Sang pria (Berdiri di hadapan si perempuan, berkacak pinggang): “Sudah bangun rupanya, Setan kecil!” (Dalam Bahasa Mandarin).
Perempuan itu tak menjawab, tetapi semakin mengerutkan tubuh.
Sang pria (Menggemeletukan gigi, memelototkan mata): “Bangsat! Bangun! Nggak usah manja! Waktunya kerja! Kamu digaji bukan untuk menangis dan malas-malasan, pergi sana! Atau kamu masih betah tidur di sini dengan anjing, hah?!”
Perempuan itu tak menjawab. Isak tangisnya semakin rapat. Ia masih menenggelamkan wajahnya di sela kedua lututnya. Sang pria berjalan mendekat, jongkok, lantas mendongakan paksa wajah si perempuan dengan menjambak rambutnya. Si perempuan menjerit.
Sang pria (Wajahnya terlihat marah): “Cepat bangun! Segera bereskan pekerjaanmu sebelum pukul Sembilan. Istriku sebentar lagi pulang. Saya tak mau mentoleransi kerjaanmu bila tidak beres. Ok!”
Si perempuan menggeliat, berusaha melepaskan jambakan sang pria. Kemudian bangkit dengan ringkih. Sang pria tertawa terbahak-bahak ditingkahi salakan anjing di kandang.
Si perempuan melangkah lamban sepanjang ruangan, tetapi terhenti ketika si pria berteriak.
Sang pria: “Stop! Saya lupa. Leslie dan Xuan belum dikasih makan. Kasih makan dulu, baru kamu kerja. Ok!”
Si perempuan tak menjawab. Hanya mengangguk. Kemudian melanjutkan langkahnya tetapi kemudian berhenti lagi, sang pria berteriak.
Sang pria: “Dasar goblok! Makanan anjing di sana (seraya menunjuk) kamu mau ke mana?”
Si perempuan menggeleng. Tak menjawab kecuali bergerak menuju tempat yang ditunjuk oleh sang pria. Sang pria kemudian gegas naik, meninggalkan si perempuan yang sedang menyiapkan makanan untuk anjing-anjing.
Si perempuan (V. O): “Tuhan, saya tidak marah pada-Mu atas apa yang kini sedang terjadi pada diri saya. Saya iklas, tetapi saya mohon petunjuk-Mu akan apa yang harus saya lakukan saat ini. Jika harus jujur, saya sudah tidak tahan lagi berada di sini. Saya ingin pergi ke mana pun asal tidak berada di sini. Mereka memperlakukan saya sudah seperti binatang, bahkan jauh lebih nista dari anjing-anjing itu. Saya tahu itu sangat mustahil, akan tetapi saya mohon kepada-Mu, dengan kuasa-Mu, izinkan saya menemukan jalan untuk bisa keluar dari dalam neraka ini. Saya mohon. Dengan sangat.”
FREEZE