Username/Email
Kata Sandi
Alamat Email
Kata Sandi
Jenis Kelamin
INT. Kamar tidur, masih dalam keadaan berantakan. Indrawan masih terlelap menggelung tubuh telanjangnya dalam selimut. Pukul 03.00 Subuh. Kokok ayam terdengar sekali-kali.
Irianti sudah berpakaian rapi, tampak cemas, mondar-mandir di dalam kamar, sesekali menatap suaminya dengan tatapan iba. Ia berkali-kali menatap laju jam dinding di tembok kamar, kemudian duduk gelisah di tepi ranjang. Sekali lagi ia menatap iba wajah suaminya yang masih lelap.
Irianti berdiri, mendekati meja di samping ranjang, meletakkan selembar surat yang sudah dari kemarin ia siapkan. Kemudian ia melangkah mengendap-endap menuju pintu kamar, meraih tas ransel dari dalam lemari, lalu gegas keluar.
Sebelum gegas keluar Irianti membalikkan badan, berdiri menatap suaminya sekali lagi.
Irianti (V. O): “Maafkan saya, Mas. Saya harus pergi dengan cara seperti ini.”
CUT TO …
EXT. Pekarangan rumah yang langsung berhadapan dengan jalan raya. Pukul 03.40. Suasana masih remang-remang. Lampu jalan mati sebagian. Beberapa kendaraan melintas.
Irianti berdiri, masih dalam keadaan gelisah. Berkali-kali ia memanjangkan lehernya ke ujung jalan, berkali-kali pula membalikkan kepalanya ke arah rumah yang baru ia tinggalkan. Ia begitu cemas.
Sebuah mobil Honda Civic berwarna putih bergerak, lantas berhenti tepat di depan Irianti. Kaca pintu depan mobilnya kemudian terbuka. Seseorang melongokkan wajahnya lalu tersenyum: Aryani.
Aryani: “Maaf, sedikit terlambat. Mesin mobilnya terlambat panas.”
Irianti hanya tersenyum. Ia gegas masuk ke mobil dengan tergesa, setelahnya mengembuskan napas. Lega.
Irianti (Menepuk bahu Aryani): “Kita berangkat segera, Ri. Saya takut Mas Indrawan keburu bangun.”
Aryani mengangguk. Menekan tuas gas dalam-dalam, hingga mobilnya melaju kencang, membelah jalanan Indramayu yang masih sunyi.
CUT …
INT. Ruang tamu. Pukul 10.30
Aryani (Memegang gelas minuman): “Apakah kamu yakin kalau di sana kamu akan baik-baik saja, Yan?”
Irianti (Mendesah): “Saya harap demikian, Ri. Meski masih ada sedikit keraguan, saya coba tepiskan itu, saya akan coba meyakinkan diri bahwa di sana saya akan baik-baik saja, bahkan mencoba menjadi jauh lebih baik. Meski sulit, sepertinya saya harus mencoba belajar untuk melupakan.”
Aryani: ”Saya doakan untuk yang terbaik, Yan. Seandainya kamu butuh pertolongan apa pun, jangan sungkan untuk menghubungi saya, Yan. Saya selalu ada untukmu. Meski kita terpisah jarak, ikatan persahabatan kita jangan sampai putus.”
Irianti (Mendekat, lantas memeluk): “Terima kasih banyak, Ri. Semoga suatu saat nanti bisa berkumpul lagi. Kamu sudah seperti saudara saya sendiri. Maaf bila selama ini saya selalu merepotkanmu.”
Aryani (Membalas pelukan): “Tak ada. Tak ada yang direpotkan, Yan, setidaknya menjadi sahabatmu saya ada gunanya.”
Mereka saling melepas pelukan kemudian. Irianti menyeka air matanya yang tiba-tiba menderas, hal yang sama dengan Aryani. Mereka kemudian berusaha saling tegar dengan saling menyunggingkan senyum setelahnya.
Aryani: “Sudah saatnya bersiap-siap, Yan. Bukankah bentar lagi jadwal keberangkatannya?”
Irianti (Mengangguk): “Ya, Ri, sore nanti chek in bandara, tapi saya ke yayasan dulu. Yayasan yang akan mengurusnya, saya kemungkinan berangkat dari sana.”
Aryani: “Baiklah, Yan. Jaga diri baik-baik di sana, ya. Beritahu saya kalau sudah sampai di Taiwan sana. Saya akan selalu merindukanmu, Yan.”
Irianti: “Sekali lagi saya ucapkan banyak terima kasih. Oh iya, Ri, maaf mau merepotkanmu lagi. Apa pun informasi perihal Mas Indrawan kasih tahu saya, tetapi saya titip jangan beri tahu saya berada di mana, ya, Ri.”
Aryani (Tersenyum): “Ya, Yan. Dengan senang hati. Saya akan jaga rahasia ini.”
Irianti segera berkemas. Ia pergi dengan beban yang berundak-undak dalam pikirannya. Kemudian mereka saling melepas kepergian dengan mendekap tubuh satu sama lainnya. Irianti melambaikan tangannya seraya mengucap kalimat perpisahan kepada Aryani. Kemudian mibil dari pihak yayasan dapang menjemput. Irianti melambaikan tangan sekali lagi di dalam mobil. Aryani berdiri di ambang gerbang hingga mobil yang ditumpangi Irianti benar-benar hilang dari pandangan.
CUT …
INT. Kamar tidur. Pagi hari pukul 10.00. Tirai kamar masih tertutup sementara sinar matahari menerobos masuk lewat celah-celah ventilasi.
Indrawan termenung di pinggir tempat tidur, menatap selembar surat di genggaman tangannya. Matanya berkaca-kaca, ada kesedihan yang terperangkap di wajahnya.
V. O : “Assalamualaikum, Mas. Selamat pagi. Sebelumnya saya mau meminta maaf bila apa yang akan saya tuliskan ini membuat harimu menjadi buruk. Terlalu lama saya memendam rasa ini. Sebenarnya saya tidak ingin mengeluarkannya dan memilih mengendapkannya dalam dada ini, tetapi itu membuat diri saya dibekap rasa takut dan kecemasan yang berlarut-larut. Saya sudah tidak kuat lagi harus menanggung penderitaan yang selalu kamu ciptakan. Saya manusia biasa yang kadang lelah dengan rasa sakit. Saya memilih menyerah dan memilih untuk pergi. Alasannya, kamu pasti sudah paham. Bukannya saya berulang-ulang mengatakannya?
Saya benar-benar minta maaf. Jujur, saya tak ingin melakukannya, apalagi tanpa izin darimu, suami yang selama ini menjadi pendamping saya dalam suka maupun duka. Tapi sepertinya tekad saya sudah bulat, saya harus melakukannya. Oh, ya, Mas, semoga Mas bisa paham. Bagaimanapun penilainmu setelah semua ini buruk terhadap saya, akan saya maklumi. Tapi ingat satu hal, saya benar-benar mencintaimu, tetapi harus memilih: bertahan atau pergi. Dan saya memilih untuk pergi meski kamu tak akan pernah mau melepaskan saya. Saya tahu, Mas sangat mencintai saya, tapi itu saja tidak cukup. Saya ingin diperlakukan normal seperti perempuan-perempuan lain, dan kamu tak bisa melakukannya, jadi maaf, kesempatan yang saya berikan sepertinya sudah tak ada lagi.
Sepertinya setelah bertahun-tahun mencoba memahami dan menerima apa pun keadaanmu, saya mulai goyah. Bukan karena rasa cinta saya padamu sudah pudar, Mas, bukan. Bukan karena itu. Saya mungkin sudah terlalu lelah dan jujur sakit. Saya bukan malaikat, hanya manusia biasa saja, ada kalanya saya harus memutuskan untuk yang terbaik bagi diri saya. Saya sudah tidak kuat lagi. Ini sangat sulit, bagi saya, juga bagimu, akan tetapi harus selalu ada yang dikorbankan. Saya memilih pergi, saya memilih melepaskan diri.
Mas, izinkan saya pergi. Jangan pernah mencari saya. Saya akan menjaga diri saya sendiri, Mas pun harusnya demikian. Semoga Mas akan baik-baik saja tanpa diri saya.
Saya pamit.
Assalamualaikum,
Perempuan yang mencoba bertahan dari segala rasa sakit, tetapi pada akhirnya memilih menyerah:
Irianti Hartono, istrimu (yang mungkin akan menjadi mantanmu setelahnya).
Indrawan mendongakkan wajah setelah menyelesaikan membaca surat Irianti. Ia menitikkan air mata kemudian, lantas ia memukul-mukul meja dengan tangannya. Emosinya memuncak. Ia sama sekali tidak menyangka bahwa hari ini adalah akhir kebersamaannya dengan Irianti. Ia sadar bahwa dirinyalah penyebab utama kepergian Irianti. Dalam hati ia benar-benar begitu menyesal.
EXT. Tangga pesawat. Pramugari berdiri di pintu pesawat. Sore hari.
Irianti menapaki satu persatu tangga pesawat. Berdiri sebentar di pintu masuk pesawat seolah enggan untuk memasukinya. Pramugari itu tersenyum dan mengangguk lantas mempersilakan masuk. Irianti tak segera masuk kecuali memutar wajahnya ke arah landasan pacu. Menatap sebentar bandara kemudian mengembuskan napas berat.
Irianti (Menggumam): “Bismillah. Semoga ini jalan terbaik yang harus saya tempuh.”