Username/Email
Kata Sandi
Alamat Email
Kata Sandi
Jenis Kelamin
EXT. to INT. Koridor rumah sakit menuju ruangan kantor. Pukul 12.30
Selepas melamar pekerjaan di salah satu perusahaan, Panglima berinisiatif untuk mampir ke rumah sakit tempat istrinya bekerja. Ia sengaja melakukannya tanpa memberitahu istrinya terlebih dahulu. Ia pikir hanya mampir sebentar, atau sekadar mengajak istrinya makan siang.
Panglima hampir mengetuk pintu kalau saja pemandangan di dalam kantor tidak membuatnya sedikit tercenung. Istrinya, Ajeng tengah duduk membelakangi pintu masuk, sementara di hadapannya seorang pria berjas putih tengah bicara lirih. Mereka tak memerhatikan sama sekali keberadaan seseorang di bingkai pintu.
Sebenarnya pemandangan demikian tidak akan membuat Panglima terkejut kalau saja ia tak melihat tangan istrinya tidak sedang mengusap paha lawan bicaranya yang tengah berbicara.
Panglima tak tahu apa yang sedang mereka bicarakan, hanya saja dari cara mereka berbincang dengan disertai tawa genit Ajeng, terdengar begitu intim. Panglima sedikit terbakar api cemburu di dadanya. Ia inginnya masuk dan membuat mereka tersentak. Hanya saja ia coba mengendalikan emosinya dan berpikir bahwa apa yang ia lihat tidak seperti yang dirinya pikirkan.
Panglima coba menimang-nimang keputusannya: antara terus masuk, atau balik lagi. Akhirnya Panglima memutuskan. Ia mengetuk pintu.
Panglima (Mendeham): “Assalamualaikum.”
Di dalam ruangan, Ajeng dan si pria tampak sedikit terkejut. Mereka berjengkit dan saling menjauhkan kedekatan tubuh mereka. Obrolan mereka terhenti. Ajeng membalikkan wajah dan terkejut. Ada kegugupan terpancar dari kedua bola matanya.
Ajeng (Masih tampak gugup): “Oh, Mas Panglima … masuk, Mas, eu … tumben mampir, kenapa, Mas, ada hal pentingkah? Perihal Ibu?”
Panglima (Masih berdiri di bingkai pintu): “Enggak, Dek, Mas, Cuma mampir, kok. Lagi rapat, kah, Dek?”
Ajeng (Bangkit): “Eu … enggak, kok, Mas, hanya sedikit pembahasan perihal pasien. Eu … maaf, Mas, perkenalkan ini Dokter Andre.”
Dokter Andre mengangguk, kemudian menyorongkan tangan. Panglima segera menjabatnya.
Panglima: “Oh, gitu, ya. Ya, udah lanjutkan saja dulu, mas tunggu di luar.”
Dokter Andre (Tersenyum): “Nggak, kok, Mas. Sudah selesai. Silakan saja kalau ada perlu sama Ajeng. Saya ke ruangan dulu ya, Jeng, Mas. Permisi.”
Dokter Andre gegas keluar dari ruangan meninggalkan Ajeng yang tampak semakin gugup. Panglima mencoba menetralisir keadaan. Ia mencium kening istrinya itu dengan mesra.
Panglima: “Kamu kenapa, Dek, kayak gugup gitu.”
Ajeng (Menggigit bibir bawahnya): “Adek takut Mas berpikir macam-macam soal barusan.”
Panglima (Tertawa, meski dalam hatinya rasa curiga itu ada): “Nggaklah, Dek. Sudah makan? Kalau belum, Mas mau traktir Adek makan. Boleh?”
Ajeng (Tampak ragu): “Memang Mas ada duit?”
Panglima: “Dek, Mas mohon, jangan bahas itu lagi, ya.”
Ajeng mengangguk kemudian. Mereka keluar dari ruangan.
CUT …
INT. Ruang keluarga Ibu Panglima. Pukul 09.35
Panglima memutuskan pergi sendiri ke rumah ibunya meski istrinya tak kunjung bisa. Alasan Ajeng masih sama: sibuk. Padahal mengunjungi ibu mertuanya plus pemeriksaan kesehatan ibu mertuanya menjadi jadwal wajib yang biasa Ajeng lakukan. Sekali ini tidak.
Sebelum berangkat, Panglima kembali memohon kepada istrinya untuk bisa pergi. Hasilnya sama sekali tidak bisa. Panglima yang tidak pernah suka perdebatan, lebih memilih mengalah. Ia akhirnya memutuskan untuk pergi sendirian.
Hamidah (Menghampiri Panglima yang tengah makan camilan): “Sehat kamu, Nak? Lama nggak datang berkunjung, kamu dan istrimu apakah baik-baik saja?”
Panglima (Tersenyum): “Alhamdulilah, Bu. Saya dan Ajeng baik-baik saja.”
Hamidah (Menggeser duduknya): “Kamu yakin, Nak? Kok, ibu malah merasa kalau kalian sedang tidak baik-baik saja. Apakah itu benar?’
Panglima (Menatap ibunya penuh selidik. Ia yakin bahwa ibunya tahu sesuatu yang salah sedang terjadi dengan rumah tangga anaknya): “Kami baik-baik saja, Bu. Hanya sedikit kesalahpahaman, Bu, tapi bukan masalah besar. Mungkin karena posisi saya yang lagi nggak kerja, Bu.”
Hamidah (Menatap Panglima dengan tatap haru): “Yakin cuma masalah itu saja, Nak? Tidak ada yang lain?”
Panglima (Mencoba tersenyum): “Ibu nggak usah kuatir. Kami baik-baik saja, kok. Percaya, deh, sama Panglima.”
Hamidah (Mengembangkan senyum): “Hati kecil seorang ibu tidak bisa dibohongi, Nak, tapi mudah-mudahan apa yang kamu katakan itu benar, Nak. Oh, iya, Ajeng kenapa nggak ikut? Bukankah jadwal periksa ibu sudah lama lewat, ya?”
Panglima: “Oh, iya, Bu, salam dari Ajeng, ia menitip permohonan maaf karena belum bisa datang berkunjung serta memeriksa kesehatan Ibu.”
Hamidah: “Oh, iya, Nak. Nggak apa-apa. Berhubung ibu sudah tak tahan dengan rasa sakit yang ibu derita, kemarin ibu jadinya periksa ke rumah sakit.”
Panglima: “Oh, iya, Bu, sekali lagi, maafkan Ajeng. Ia benar-benar lagi sibuk akhir-akhir ini.”
Hamidah (Tersenyum): “Nggak apa-apa, Nak. Ibu mafhum, kok. Oh, iya, Nak. Kemarin ibu periksa diantar adikmu. Periksa di rumah sakit tempat Ajeng kerja.”
Panglima: “Oh, ya? Bertemu istri saya nggak, Bu?”
Hamidah: “Ya. Ibu melihat Ajeng di koridor. Mau ibu hampiri nggak jadi, Nak. Jadi tidak sempat menyapa dan berbincang dengannya.”
Panglima: “Lho, kok, nggak jadi, kenapa memang, Bu?”
Hamidah (Termenung sesaat): “Ajeng lagi serius berbincang dengan seorang dokter, jadi ibu takut ganggu.”
Panglima (Melenguh): “Oh.”
Hamidah (bangkit dari tempat duduk): “Ya, udah, Nak. Ibu mau lihat dulu kerjaan Bapak. Kalau mau makan, ibu sudah siapin, kok.”
Panglima: “Oh, iya, Bu. Terima kasih, ya, Bu.”
Panglima termenung kemudian. Ia merasa bahwa ibunya sedang menyembunyikan sesuatu perihal Ajeng. Di mana pun Ibu bertemu Ajeng, biasanya Ibu akan menyapanya meski Ajeng tak melihat keberadaan Ibu sama sekali. Ini tidak. Pasti ada sesuatu yang salah. Inginnya Panglima bertanya perihal Ajeng kepada ibunya, tapi ibunya itu tergesa gegas. Perihal dokter itu, Panglima membatin, mungkin dokter yang dimaksud oleh ibunya itu adalah dokter yang sama yang tempo hari bersama Ajeng di ruangan. Mungkin.
CUT …