Halaman Author
Kontrol semua karyamu pada halaman author, kamu bisa memublikasikan karya baru atau mengatur karyamu dengan mudah dalam satu tempat.
The Broken Feathers
Suka
Favorit
Bagikan
11. BAB 11: AFFAIR

 

INT. Kamar tidur. Pukul 05.30

Panglima masih terlelap ketika Ajeng gegas keluar dari kamar dengan terburu-buru. Tak ada kata pamit dan cium dahi kepada Panglima seperti biasa. Di luar kemudian terdengar suara motor matic yang di-starter, deru mesin terdengar bergerak menjauh. Setelahnya sunyi kembali.

Panglima menggeliat, kemudian bangun dan menyadari istrinya sudah tidak ada lagi di sampingnya. Ia menatap jam di dinding, kemudian menggeleng.

Panglima (V. O): “Ada sesuatu yang salah dengan Ajeng. Saya harus menyelidikinya. Saya semakin curiga dengan dokter itu.”

Panglima menatap ponselnya yang tergeletak di atas meja rias. Kemudian ia teringat percakapannya dengan dua sahabatnya: Irianti dan Rayya tempo hari di multi aplikasi StarMaker. Kemudian merenung. Panglima merenung dan berpikir apa yang mereka bicarakan bisa jadi benar adanya. Istrinya sedang bermain api.

 

CUT TO …

 

FLASHBACK, percakapan aplikasi grup di ponsel

Panglima (Terbata): “Istri saya sekarang kalau berangkat pagi banget, dan nggak pernah mau diantar. Ia selalu bersikeras untuk bawa motor sendiri.”

Irianti: “Waduh gawat, Di. Memangnya kamu nggak curiga ada sesuatu gitu? apa nggak punya inisiatif untuk cari tahu gitu? saya pikir ini indikasinya sudah jelas, lho, Di.”

Panglima: “Saya sudah curiga, apalagi pernah melihat mereka berduaan di ruangan dalam sebuah percakapan yang saya pikir terdengar sangat mesra.”

Irianti: “Nha, lho, terus, dirimu pernah membahasnya?”

Panglima: “Sudah, dan jawaban istri saya cuma bilang, bahwa ia sedang berkonsultasi perihal kesehatannya kepada dokter itu.”

Rayya (Menyela, dari tadi hanya mendengarkan percakapan mereka berdua): “Memang istrimu sakit, ya, kok, kamu nggak pernah cerita kepada kita kalau istrimu lagi sakit?”

Panglima: “Sepertinya tidak, Kang. Ia baik-baik saja, saya juga heran, kok, bisa tiba-tiba ia bilang sedang memeriksakan diri.”

Irianti (Terkekeh): “Patut dicurigai ini. Kamu kenal sama dokter itu nggak, Di?”

Panglima: “Belum. Baru sekali bertemu kala itu, selebihnya istri saya yang banyak bercerita tentang ia kalau dokter itu baru di rumah sakit itu. Dokter umum sebenarya tapi kadang menangani pasien penyakit dalam.”

Rayya: “Sejak kapan istrimu berubah sikap?”

Panglima: “Sejak saya nganggur, tapi sebenarnya saya tetap memberinya uang belanja meski tidak utuh. Namun, akhir-akhir ini ia selalu menolak jatah bulanan itu dan bilang ia masih ada uang.”

Irianti: “Waduh, Di. Ini semakin mencurigakan. Bergerak apa, jangan diam saja. Saya yakin istrimu sedang ada main. Hehe.”

Rayya: “Hush! Jangan suudzon dulu, tapi … saya pikir juga begitu, ya.”

Irianti: “Hilih.”

 

CUT TO …

 

 

INT. Meja makan rumah Dokter Andre. Pukul 06.30

Dokter Andre menyelesaikan sarapannya dengan terburu-buru, Laras mencoba bertanya kenapa suaminya seperti itu. Bagi Laras ini tidak biasa suaminya lakukan. Sudah hampir sebulan terakhir kerap suaminya seperti itu, terkadang malah nggak pernah sarapan di rumah.

Laras: “Papih ini kenapa, ya? Kok, akhir-akhir ini kalau berangkat itu terburu-buru? Dulu enggak kayaknya, Pih.”

Dokter Andre (Menghentikan laju langkahnya): “Minggu-minggu ini papih sibuk, Mih. Harap mamih maklum.”

Laras: “Sibuk rapat, kan, ya, pih? Sama sibuk ngurusin Ajeng. Iya, kan?” (Tertawa sinis)

Dokter Andre: “Lho, kok, gitu, Mih. Itu tugas seorang dokter kepada pasiennya. Jangan berpikir macam-macam, lha, Mih. Mamih kan tahu, Ajeng itu siapa.”

Laras: “Tahu. Pasien papih, sekaligus penggemar papih yang suka me-WA papih malam-malam. Iya, kan?”

Dokter Andre (Terkejut): “Maksud Mamih apa, hah?”

Laras: “Tak ada.”

Dokter Andre: “Mamih cemburu?’

Laras: “Tidak. Hanya nggak nyaman saja suaminya dihubungi perempuan lain malam-malam, meski itu pasiennya.”

Dokter Andre: “Itu di luar sepengetahuan papih.”

Laras: “Yakin?”

Dokter Andre: “Mih, papih sedang tak ingin berdebat. Ntar sore kita bicara. Papih sudah sangat terlambat.” (Gegas menuju mobil yang sudah terparkir di halaman).

Laras: “Ya, kita harus bicara.” (Membalikkan badan, gegas menutup pintu).

 

 

CUT TO …

 

 

INT. Ruangan sebuah resto. Pukul 12.30

Dokter Andre sedang makan siang bersama Ajeng seraya berbincang. Mereka sedang terlibat percakapan serius.

Dokter Andre (Setengah mendesah): “Seharusnya kamu tak begitu, Jeng. Ajeng kan tahu posisi saya seperti apa.”

Ajeng: “Ajeng minta maaf, Mas, ajeng pikir mas belum tidur. Cuma mau ngobrol bentar saja sebenarnya.”

Dokter Andre: “Situasinya nggak bagus, Jeng. Bukannya nggak boleh. Sepertinya kita harus mulai jaga jarak. Ini terlalu riskan.”

Ajeng: “Tapi, Mas, kita ada alasan kuat, kan.”

Dokter Andre: “Tidak lagi, Jeng. Laras sepertinya mulai curiga.”

Ajeng: “Apa iya seorang dokter tidak boleh ada interaksi di luar jam kerja dengan pasiennya.”

Dokter Andre: “Jeng, tolong maklumi posisi saya, ya.”

Ajeng: “Tapi, Mas?”

 

 

CUT …

 

 

EXT. Koridor rumah sakit. Pukul 12.45

Panglima memutuskan untuk datang menemui Arman, saudaranya yang tempo hari datang ke rumah. Saudaranya itu bekerja sebagai petugas cleaning service di rumah sakit tempat Ajeng bekerja. Panglima ingin mengorek keterangan yang bisa didapat dari Arman perihal istrinya itu. Panglima benar-benar sudah curiga atas perilaku janggal istrinya, di luar saran yang diberikan oleh Irianti dan Rayya tempo hari di telepon. Panglima ingin benar-benar tahu apa yang sebenarnya terjadi dengan istrinya itu.

Arman sedang menggenggam mop ketika Panglima mendekat. Ia tampak gugup dengan wajah sedikit cemas. Entah karena alasan apa. Ia kemudian menghentikan kerjaannya dan gegas mendekat ke arah Panglima.

Arman: “Siang, Mas. Apa kabar?”

Panglima: “Baik, Man. Sampeyan ada waktu nggak? Mas mau bicara.”

Arman (Celingukan): “Di sini, Mas?”

Panglima (Memindai sekeliling. Orang-orang lalu-lalang): “Sepertinya tidak, man. Bagaimana kalau di ruanganmu?”

Arman: “Oh, boleh. Oh, maaf, Mas, ini perihal utangan saya kemarin, ya, Mas. Maaf, saya belum ad …”

Panglima (Memotong omongan): “Tidak sama sekali, Man. Ini tentang Ajeng, istri saya.”

Arman (Melongo): “Oh.”

 

 

CUT …

 

 

 

 

INT. Ruang petugas kebersihan rumah sakit.

Ruangan hanya berukuran 4x5 meter saja. Beberapa kardus bertumpuk tak beraturan. Beberapa alat kebersihan berdiri berderet. Ada aroma antiseptik yang tercium di ruangan.

Panglima: “Boleh, Mas, bertanya sesuatu?”

Arman: “Ya, Mas.

Panglima: “Istri saya kalau datang ke rumah sakit jam berapa?”

Arman (Mengerutkan dahi. Diam beberapa waktu sebelum menjawab): “Kalau nggak salah jam 9, lebih sering jam 10. Memang kenapa, Mas?”

Panglima (Mencoba menyembunyikan keterkejutannya): “Oh, ya?”

Arman: “Iya, Mas.”

Panglima: “Akhir-akhir ini istri saya sering pergi di luar jam kerja, nggak?”

Arman (Memasang muka bingung): “Sebenarnya ini ada apa dengan Mas dan Mbak Ajeng, sih, Mas?”

Panglima (Menggeleng): “Jawab saja, Man. Mas belum bisa menjelaskannya dengan detail.”

Arman (Ragu): “Sering, Mas.”

Panglima (Mendengus): “Oh. Pergi dengan siapa biasanysa?”

Arman: “Kalau tidak dengan teman sesama perawat, ya, dengan Dokter Andre.”

Panglima (Menekuk wajah): “Dokter Andre? Siapa dia?’

Arman: “Atasan Mbak Ajeng.”

Panglima: “Oke, Man. Terima kasih infonya. Mas pamit, ya.”

Arman (Wajah bingung): “Iya, Mas. Sama-sama.”

CUT …

 

Bagikan
Anda harus login atau daftar untuk mengirimkan komentar
Tidak ada komentar