Halaman Author
Kontrol semua karyamu pada halaman author, kamu bisa memublikasikan karya baru atau mengatur karyamu dengan mudah dalam satu tempat.
The Broken Feathers
Suka
Favorit
Bagikan
14. BAB 14: DIAGNOSIS

INT. Ruang tengah. Siang hari pukul 11.00

menatap berkas hasil pemeriksaan laboratorium itu dengan perasaan tak menentu. Ia bimbang antara harus memercayai hasil tes itu atau tidak sama sekali. Panglima masih meragukannya. Kemarin sore Ajeng memberikan hasil tes itu kepadanya sepulang kerja dari rumah sakit.

Positif leukemia. Harusnya Panglima percaya akan tetapi ia tak sekalipun mendapatkan keganjilan perihal kesehatan istrinya belakangan ini. Mana ada indikasi kea rah sana, tetapi berkas itu pun dengan jelas menuliskannya. Panglima bingung, apalagi percakapan semalam membuatnya semakin bingung. Ajeng melontarkan kalimat-kalimat yang seolah dirinya sedang ingin menjauh dari kehidupannya.

 

FLASHBACK, PERCAKAPAN SEMALAM:

INT. Kamar tidur, pukul 21.20

Panglima (Masih menggenggam berkas diagnosis): “Apa ini tidak keliru, Dek? Maksud Mas hasilnya benar-benar positif? Kok, bisa, ya, padahal selama ini Adek tak sekalipun mengeluh sakit.”

Ajeng (Merengut sedikit tak terima atas ucapan Panglima barusan): “Mas, saya tidak sedang bersandiwara untuk hal apapun. Pemeriksaan itu benar dan hasilnya memang demikian. Perihal Adek tak terlihat sakit, mungkin selama ini Adek tak pernah cerita kalau sebenarnya kesehatan Ade benar-benar menurun. Maafkan Adek.”

Panglima (Memijat kening): “Seberapa parah sakitmu, Dek. Mas harap tidak seserius itu. Anggap saja hasil tes lab itu keliru.”

Ajeng (Mendesah): “Adek sendiri nggak yakin. Dokter Andre meyakinkan Adek kalau harapan itu masih besar, tetapi Adek merasa Dokter Andre sedag berusaha membesarkan harapan Adek, tetapi Ade yang tahu persis bagaimana sakitnya Adek. Maaf, Mas, kalau Adek berpikir harus segera berpikir untuk mencari yang lain.”

Panglima (Tersentak): “Apa-apaan, sih, Dek. Kok, ngomongnya ngelantur.”

Ajeng: “Harapannya tipis, Mas. Mas tahu sendiri mayoritas penderita leukemia jarang yang bisa bertahan. Adek kira, hal yang sama akan terjadi pada Adek.”

Panglima (Bangkit mendekat ke arah Ajeng): “Tidak. Adek pasti sembuh. Jangan berpikiran macam-macam.”

Ajeng (menatap Panglima dengan tatapan sendu): “Tidak, Mas. Adek pikir tidak. Mas harus segera mencari pengganti Adek, sebelum semuanya terlambat. Ade mencintai Mas, Adek mohon Mas bisa melaksanakan keinginan Adek. Istrimu ini ikhlas, kok.”

Panglima (Bersikeras): “Tidak, Dek. Mas tidak akan melakukannya. Kita berjuang bersama-sama. Adek pasti sembuh.”

Ajeng (Setengah berbisik): “Adek tidak yakin, Mas.”

Hening setelahnya.

 

 

CUT …

 

 

BACK TO …

 

INT. Ruang tengah. Siang hari pukul 11.00

Panglima masih menggenggam berkas itu. Kemudian memutuskan untuk menelepon Irianti untuk sekadar bertukar kesah. Pikirannya benar-benar sedang kacau, bingung, dan tertekan.

Telepon yang dituju tak terhubung. Sibuk. Panglima kemudian mencoba menekan nomor lain. Rayya. Hanya kepada mereka berdualah ia berani bertukar kesah.

Telepon Panglima diangkat Rayya pada nada sambung ketiga. Percakapan lalu terjadi.

Panglima: “Hallo, Kang! Lagi sibuk nggak? Nggak live, kan, ya?” (Tertawa kecil)

Rayya: “Kebetulan nggak. Pasti mau curhat, ya, Di?”

Panglima (Tertawa): “Tahu, aja. Iya, Kang.”

Rayya: “Oh, ok. Silakan, Di. Tapi saya sambil ngetik, ya. Semenjak masuk SM ide menulis saya mengalir deras, Di. Nggak apa-apa, kan, ya? Saya dengarkan, kok. Serius.” (Tertawa kecil).

Panglima: “Ok. Perihal istri saya, Kang.”

Rayya: “Ya. Kenapa lagi memang dia. Sudah terbongkar?”

Panglima (Mengembuskan napas berat. Resah): “Kedekatan dia dengan dokter itu ternyata tidak seperti yang saya kira. Kedekatan mereka hanya sebatas dokter sama pasiennya, Kang. Ajeng ternyata sedang sakit.”

Rayya (Tersentak): “Sakit? Sejak kapan? Kok, dirimu tak pernah cerita, Di. Sakit apakah dia?”

Panglima (Mendesah): “Kangker darah, Kang. Leukemia.”

Rayya (Tersentak): “Inalilahi. Serius, Di? Masa iya, sih? Bukannya istrimu baik-baik saja selama ini.”

Panglima: “Justru itu masalahnya, Kang. Selama ini saya melihat bahwa istri saya sehat-sehat saja. Bahkan jauh lebih ceria dan bersemangat dari sebelumnya. Jadi ketika ia mengatakan dia sakit, jujur saya terkejut dan tak percaya. Tapi, ia menunjukkan bukti yang valid bahwa ia benar-benar sakit.”

Rayya: “Sebentar, Di. Maksudnya bukti yang valid itu berupa berkas pemeriksaan lab?”

Panglima: “Iya, Kang. Ini lagi saya pegang.”

Rayya: “Kapan periksanya? Dengan dirimukah pas periksa?”

Panglima: “tidak, Kang. Bahkan saya sama sekali tak tahu kapan ia memeriksakan diri. Berkasnya tertanggal bulan lalu, Kang. Entahlah, saya, kok malah bingung dengan hasil tesnya. Masa iya, saya sebagai suaminya sampai nggak diajak untuk periksa? Ini kan aneh, Kang.”

Rayya (Menggumam): “Kok, saya menanggapinya rada-rada gimana gitu, Di. Apa iya istrimu itu benar-benar sakit, atau jangan-jangan, maaf … di.”

Panglima: “Ya, Kang. Nggak apa-apa, saya tahu, kok, apa yang Akang maksudkan. Saya juga rada sangsi, sih, lagipula istri saya mengatakan hal-hal yang bagi saya terdengar janggal. Ini semakin mencurigakan.”

Rayya (Penasaran): “Mengatakan apa, Di?”

Panglima: “Ia memberikan warning agar saya segera mencari ganti dirinya. Katanya peluang dirinya untuk hidup sudah tipis.”

Rayya: “Nha, lho, emang keadaan istrimu separah apa, sih?”

Panglima: “Saya melihatnya, sih, bugar saja. Tiap hari kerja pun tak nampak bahwa ia sedang sakit. Apa ia sedang berusaha menyembunyikannya?”

Rayya: “Masa iya harus menyembunyikan sakit dari suaminya? Kayaknya ini nggak masuk akal, deh. Bingung saya. Hehehe.”

Panglima: “entahlah, Kang. Saya juga bingung, antara harus percaya atau tidak.”

Rayya: “Leukimia itu penyakit serius, lho, masa iya istrimu masih kuat bekerja?”

Panglima: “Ya, itulah, yang bikin bingung, Kang.”

Rayya: “Coba kamu bujuk istrimu untuk mengulang pemeriksaan lab-nya, tentu saja bareng kamu. Takutnya hasilnya keliru.”

Panglima: “Sudah saya bahas dan istri saya marah besar. Ia merasa tersinggung karena saya seolah tidak percaya dengan hasil lab itu.”

Rayya: “Lho, kok, marah. Memang apa salahnya kalau mengulang?”

Panglima: “Nggak tahu juga, Kang. Ia bersikeras untuk tidak melakukannya.”

Rayya: “Piuhhh. Ini mencurigakan, Di.”

Panglima: “Semoga tidak ada hal buruk yang sedang terjadi, Kang. Saya pusing banget, nih, Kang.”

Rayya: “Kayak orang saja pusing. Hehehe. Ya, sudah nggak usah terlalu dipikirin. Lihat saja kelanjutan permasalahanmu seperti apa? Semoga tak ada hal-hal yang buruk, Di. Semangat!”

Panglima: “Terima kasih, Kang!”

Rayya: “Beuuuh, pake ucapan terima kasih segala.”

Panglima menutup percakapan. Kemudian ia termenung. Kata-kata dari sahabatnya itu ada benarnya. Ia harus mencari tahu kebenaran seperti apa yang sedang Ajeng sembunyikan. Benarkah sakit atau ada hal yang sedang disembunyikan. Siapa tahu ini ada hubungannya dengan Dokter Andre.

 

CUT …

 

 

 

INT. Kamar tidur Dokter Andre. Pukul 22.30

Laras masih menunggu kepulangan suaminya. Ia terlihat cemas. Sepanjang kamar ia berjalan mondar-mandir seraya menenteng ponselnya. Ia terlihat resah setelah sambungan teleponya berkali-kali di-reject sama suaminya itu. Laras berpikir bahwa sedang ada yang tidak beres dengan suaminya itu. Apalagi tempo hari ia mendengar selentingan dari temannya, Irnayanti, yang katanya pernah melihat Dokter Andre di lobi sebuah hotel bareng seorang perempuan yang bukan dirinya. Laras semakin curiga.

Laras kembali berusaha menghubungi ponsel suaminya. Gagal. Lagi dan lagi. Ia semakin cemas. Pada satu kesempatan, Laras membanting ponselnya ke atas karpet lantai. Wajahnya yang cemas berubah menjadi wajah dengan raut kemarahan.

 

CUT …

 

 

 

INT. Kamar tidur Panglima. Pukul 22.15

Panglima baru selesai berbicara dengan istrinya di telepon. Ajeng mengatakan tidak pulang ke rumah melainkan pulang ke rumah orang tuanya. Memang semenjak Ajeng menyatakan bahwa dirinya sakit, ia memutuskan untuk lebih sering tinggal dengan orang tuanya meski Panglima tidak menyetujuinya.

Ajeng bersikeras bahwa di rumah orang tuanya setidaknya ia masih ada yang mau merawatnya. Tentu saja Panglima merasa tersinggung. Ia merasa tidak dianggap oleh istrinya itu.

Beberapa kali mereka terlibat percekcokan yang berakhir dengan kemarahan satu sama lainnya. Panglima semakin tak paham dengan kelakuan istrinya itu.

Panglima (V. O): “Kamu kenapa, Dek? Sepertinya kamu sedang merahasiakan sesuatu.”

Lampu kamar dimatikan, walau sebenarnya Panglima tidak hendak tidur cepat. Pikirannya semakin kalut. Ia sedang melarungkan ingatannya ke kenangan-kenangan lalu bersama istrinya.

Bagikan
Anda harus login atau daftar untuk mengirimkan komentar
Tidak ada komentar