Username/Email
Kata Sandi
Alamat Email
Kata Sandi
Jenis Kelamin
Pekalongan, Agustus 2019
INT. Sebuah ruangan rumah sakit dengan empat tempat tidur pasien di dalamnya, dua di antaranya terisi. Pukul 09.00 pagi.
Seorang perawat perempuan mengetuk pintu lalu masuk, membawa berkas pemeriksaan. Dua orang pasien di ranjang sedang tertidur sementara beberapa orang kerabat terlihat terkantuk-kantuk di samping ranjang mereka.
Ajeng (Tersenyum): “Maaf, Bapak dan Ibu, saya mohon keluar sebentar. Saatnya pemeriksaan rutin.” (Melangkah tanpa menunggu jawaban, mendekat ke arah tiang infusan salah satu pasien, mengeceknya lantas mencatatnya).
Dua orang pasien itu kemudian terjaga.
Ajeng (Tersenyum, mencoba berinteraksi dengan pasien, mengecek suhu tubuh): “Sepertinya sudah membaik. InshaAllah kalau hari ini keadaannya stabil, Bapak sudah boleh pulang.” (Mengangguk seraya tersenyum).
Pasien 1 (Membalas senyuman): “Terima kasih, Bu. Alhamdulillah.”
Ajeng memeriksa keadaan pasien pertama dengan teliti. Berkali-kali ia mencatatkan hasil pemeriksaan ke dalam berkas. Setelah selesai memeriksa pasien pertama, kemudian ia bergerak menuju pasien kedua. Hal yang sama ia lakukan kepada pasien kedua.
Ajeng (Mengerutkan dahi): “Apakah Ibu tidak meminum obat anti nyerinya?” (Mengecek persediaan obat pasien yang tergeletak di meja samping ranjang. Tampak 4 bungkus plastic, dengan satu bungkus isinya masih terlihat utuh).
Pasien 2 (Tak bersuara. Hanya menggeleng).
Ajeng: “Kenapa, Bu?’
Pasien 2 (Diam. Tak menjawab).
Ajeng (Mencoba tersenyum): “Sebaiknya Ibu meminumnya, biar keadaan Ibu cepat pulih.”
Pasien 2 (Terdiam. Ia terlihat lemah).
Setelah pemeriksaan kedua pasien, Ajeng segera beranjak keluar ruangan.
CUT …
INT. Ruang kantor rumah sakit. Siang hari pukul 11.30
Ajeng terduduk gelisah di salah satu meja. Di depannya beberapa bundle berkas berserakan. Berkali-kali ia melabuhkan pandangan kea rah layar ponsel yang sama sekali tidak bergetar dan berbunyi semenjak tadi ia keluar dari ruang pemeriksaan. Kantor sedang sepi, menyisakan dirinya sendirian yang masih bergelut dengan pekerjaan yang masih belum tuntas. Ajeng tidak melakukan apa pun dari tadi kecuali melamun dan menatap cemas jam dinding.
Ajeng (V. O): “Kamu ke mana, sih, Mas?” (Menatap layar ponsel dengan harap-harap cemas).
Ponsel tiba-tiba bergetar dan berdering. Ajeng terperanjat, sedikit kaget. Ia menatap langsung ponsel itu dengan sungging senyum. Sebuah nama muncul, senyum itu tiba-tiba memudar. Sebuah chattingan WA. Ajeng segera meraih ponsel itu dan menyentuh layar buka.
Kontak ponsel (V. O): “Assalamualaikum. Siang, Dek, sudah makan?”
Ajeng (Mengetik dengan cepat): “Waalaikum salam. Sudah, Mas.”
Kontak ponsel (Sedang online, langsung membalas): “Adek pulang jam berapa? Kalau ada waktu dan berkenan, entar sore kita ke rumah Ibu. Kita sudah lama, lho, tidak datang berkunjung.”
Ajeng (Merengut): “Sepertinya tidak bisa, Mas. Saya ada janji sama teman mau gantiin shift malamnya dia, katanya dia sedang berhalangan. Maaf, ya, Mas. Kali lain aja.”
Kontak ponsel (Mengirim emot senyum): “Nggak apa-apa, kalau nggak bisa, Dek. Kira-kira nanti pulang jam berapa? Biar Mas jemput. Lagi nggak bawa motor, kan, ya?”
Ajeng: “Sepertinya nggak usah jemput, Mas. Saya pulang sendiri aja. Nggak apa-apa. Kasihan Mas. Istirahat saja.”
Kontak ponsel: “Serius, Dek? Mas khawatir, lho.”
Ajeng: “Serius, Mas. Sekali ini nggak apa-apa, saya pulang sendiri saja. Mas lagi capek, kan?”
Kontak ponsel (Mengirim emot lambang hati): “Baiklah kalau begitu. Hati-hati, ya, Dek. Entar Mas siapin makan malam yang spesial buat Adek. Assalamualaikum.”
Ajeng: “Waalaikum salam.”
Ajeng meletakkan kembali ponselnya di atas meja. Ia mendesah. Kembali matanya menatap laju jarum jam dinding dengan gelisah. Ia mengambil kembali ponselnya dan membukanya. Mengecek daftar chattingan dan menangkap salah satu kontak yang ia tuju. Non aktif. Ajeng mengembuskan napas kesal.
Ajeng (V. O): “Fiuhhh! Wes tuman.”[1] (Setengah melempar ponselnya)
CUT …
EXT. Parkiran mobil rumah sakit. Pukul 16.25
Mobil fortuner hitam baru terparkir. Seorang pria membuka pintu mobil dan keluar. Ia menatap berkeliling seolah mencari seseorang. Kemudian matanya terpaku pada seorang perawat yang sedang berdiri di pintu gerbang rumah sakit. Ia tersenyum dan mendekat. Beberapa perawat dan orang-orang lalu lalang di belakangnya.
Pria itu, Dokter Andre, salah satu dokter umum di rumah sakit itu, sementara perawat yang berdiri adalah Ajeng Dwikusumah, salah satu perawat di rumah sakit yang sama.
Dokter Andre (Membuka kaca mata hitamnya dan tersenyum): “Maaf, Jeng. Saya terlambat. Ada ….” (Kalimatnya terpotong).
Ajeng (Merengut, tampak kesal): “Saya tahu. Nggak usah dijelasin, Dok.”
Dokter Andre (Tetap tersenyum, tidak terpengaruh: “Sekali lagi, saya, minta maaf.”
Ajeng (Tak menjawab. Masih merengut).
Dokter Andre: “Acaranya nggak batal, kan?”
Ajeng tidak menjawab. Ia gegas dan membalikkan badan tanpa kata-kata lalu berjalan ke arah koridor rumah sakit. Dokter Andre kemudian mengekor di belakangnya.
CUT …
EXT. Parkiran mobil rumah sakit. Pukul 17.00
Dokter Andre melongokkan wajahnya di kaca depan mobil. Melambaikan tangan dengan kikuk. Ajeng membalas lambaian itu dengan sama kikuknya.
Ajeng (Setengah menggumam): “Duluan, Dok. Jemput saya di tempat biasa.”
Dokter Andre (Mengangguk).
Mobil di-starter, lantas gegas menuju sebuah tempat, meninggalkan Ajeng yang masih termangu. Setelahnya Ajeng bergegas menuju tepi jalan dan menyetop sebuah angkutan umum.
CUT TO …
INT. Ruang makan. Pukul 24.30
Panglima menelungkupkan wajahnya di atas meja. Ia menyerah dengan rasa kantuknya. Di hadapannya, di atas meja, terhampar hidangan-hidangan special yang sudah ia siapkan seperti janjinya tadi kepada istrinya. Sayangnya, ia menunggu terlalu lama. Hidangan-hidangan itu terlihat sudah dingin.
Beberapa lama Panglima tertidur, kemudian ia terjaga dan mendapati pintu rumahnya masih belum terbuka. Biasanya istrinya masuk tanpa perlu mengetuk karena membawa kunci sendiri. Saat ini masih belum ada tanda-tanda kehadiran istrinya.
Panglima kemudian mengarahkan pandangannya kea rah jam dinding. Sudah begitu larut, kemudian ia membuka ponselnya dan mendapatkan kontak istrinya non aktif. Chattingan terakhir dilihatnya tadi pukul 21.30. panglima terlihat mulai cemas.
Panglima bangkit dan mondar-mandir gelisah di ruang makan. Tatapan matanya mengarah langsung pintu depan yang terlihat jelas dari arah ruang makan. Kemudian ia berjalan ke sana dan membuka sedikit tirainya. Suasana di luar sepi. Sudah tidak ada lagi kendaraan yang melintas.
Panglima (Menggumam dalam hati): “Ke mana dia? Nggak biasanya. Kalaupun shift malam, ia pulang biasanya tidak kurang dari pukul dua belas.”
Panglima baru mau mengeluarkan motor dari garasi ketika deru suara mesin mobil mendekat. Ia kemudian menoleh dan mendapatkan sebuah mobil taksi berhenti di halaman rumah. Seorang perempuan turun dan mendekat. Istrinya.
Panglima (Sedikit lega): “Baru mas mau menjemputmu, Dek.”
Perempuan itu, Ajeng, tak menjawab kecuali bergegas masuk. Panglima segera memasukkan kembali motornya lalu ikut gegas masuk.
CUT …
INT. Ruang makan.
Panglima (Menelentangkan piring yang tadi tertelungkup): “Makan dulu, Dek.”
Ajeng: “Nggak, Mas, sudah tadi. Lagian jam segini mana boleh saya makan.” (Bergegas masuk kamar).
Panglima (Setengah berbisik dengan sedikit rasa kecewa): “Padahal saya sengaja memasak untukmu, Dek. Tapi … ya, sudahlah, nggak apa-apa.” (Mengambil nasi dan lauk, makan sendirian).
[1] Kebiasaan (Jawa)