Username/Email
Kata Sandi
Alamat Email
Kata Sandi
Jenis Kelamin
EXT. Pelataran luar rumah sakit. Pukul 12.45
Panglima memutuskan untuk menyelidiki istrinya. Percakapan tempo hari dengan Arman semakin membuatnya curiga. Belum lagi obrolan dengan ibunya perihal Ajeng beberapa waktu ke belakang yang tidak biasanya, membuat Panglima yakin, ia harus mencari tahu apa saja yang dilakukan oleh istrinya selama di luar rumah.
Panglima memutuskan untuk mengawasi istrinya itu sejak tadi pagi. Ketika istrinya itu berangkat, ia coba mengekor. Sesampainya di rumah sakit Panglima memutuskan untuk mampir di tempat makan, ia pikir bisa leluasa mengawasi keadaan.
Sudah beberapa jam setelah Ajeng masuk rumah sakit, Panglima bertahan di di tempat makan. Entahlah, hati kecilnya berkata bahwa hari ini sesuatu akan terjadi.
Dugaan Panglima benar adanya. Baru saja ia melihat istrinya melintas di koridor. Ia bisa mengenalinya meski dari jarak 100 meter dari tempatnya berada.
Ajeng terlihat berjalan tergesa dan terlihat cemas. Panglima segera bangkit ketika Ajeng terlihat setengah berlari sementara di belakang Ajeng seorang pria sepertinya sedang mengejarnya. Panglima mengerutkan dahi, ia kenal pria itu. Pria yang sama tempo hari.
Panglima mengejar mereka dengan mengendap-endap. Ia benar-benar penasaran apa yang sebenarnya terjadi.
CUT TO …
INT. Ruang kantor rumah sakit. Pukul 13.15
Ajeng tengah menangis dalam dekapan Dokter Andre ketika Panglima masuk. Kantor dalam keadaan sepi. Panglima yang kaget atas pemandangan yang dilihatnya itu hanya bisa berdiri kaku menahan bara emosi. Panglima membiarkan adegan itu bertahan beberapa menit sebelum ia bisa mengendalikan situasi. Ini benar-benar rumit. Kecurigaan Panglima mendapatkan hasil.
Panglima (Menggemeletukan gigi, menahan amarah): “apa yang sedang kalian lakukan?”
Ajeng dan Dokter Andre yang membelakangi pintu sontak terperanjat. Mereka segera melepaskan dekapan mereka satu sama lainnya. Kemudian mereka menoleh ke pusat suara.
Ajeng (Gugup. Wajahnya memerah): “Mas!”
Panglima (Intonasi suara naik): “Oh, gini, ya, kelakuanmu, Dek. Pantas saja.”
Ajeng (Terperanjat, takut-takut): “Mas jangan salah paham dulu. Saya ….”
Panglima (Badan gemetar): “Salah paham? Jelas-jelas Mas lihat dengan mata kepala sendiri kalau apa yang kalian lakukan itu tidak pantas.”
Ajeng (Mendekat dan mencoba meraih tangan Panglima): “Tidak seperti itu, Mas. Adek bisa jelaskan.”
Dokter Andre hanya terpaku. Ia terlihat serba salah. Wajahnya terlihat cemas.
Panglima (Marah): “Menjelaskan apa, hah? Ini untuk yang kedua kalinya. Masih mau berkelit?”
Dokter Andre mendekat. Ia mencoba menengahi keadaan. Mencoba masuk ke dalam pembicaraan mereka berdua.
Dokter Andre (Setengah gugp): “Begini, Mas. Saya jelaskan ….”
Panglima (Berjengit): “Saya nggak butuh penjelasan apa pun. Ini sudah sangat jelas.”
Dokter Andre: “Saya tidak melakukan apa-apa. Saya hanya sedang berupaya menenangkan Ajeng. Ia sedang terpukul.”
Panglima: “Alasan saja. Persetan dengan kalian!”
Dokter Andre diam, tak melanjutkan kalimatnya. Sementara Ajeng mencoba melakukan pembelaan diri, panglima segera gegas keluar dari dalam ruangan. Emosinya sedang benar-benar tersulut. Ia mencoba menghindar agar emosinya meledak di ruangan itu. Ia memilih pergi.
Ajeng (Mengejar): “Mas!”
Panglima terus melangkah. Teriakan istrinya ia abaikan. Ia benar-benar sedang marah dan kecewa.
CUT …
INT. Kamar tidur. Malam hari pukul 20.20
Ajeng mencoba menjelaskan kejadian tadi kepada suaminya. Dari sepulangnya kerja tadi, bahkan ia didiamkan oleh Panglima. Tak ada percakapan kecuali kebekuan dan rasa marah yang dipertunjukkan Panglima kepada dirinya.
Ajeng (Menundukkan wajah): “Mas, masih marah?”
Panglima tak menjawab. Ia duduk di tepi tempat tidur, membelakangi Ajeng yang duduk di tepi tempat tidur sebelahnya. Suasananya kaku.
Ajeng (Setengah menggumam): “Boleh Adek jelaskan?”
Tak ada reaksi dari Panglima kecuali hening.
Ajeng (Mendesah): “Dokter Andre sedang berusaha menenangkan Adek, Mas. Tidak lebih.”
Hening.
Ajeng: “Adek sedih banget tadi, hasil tes pemeriksaan Adek ternyata hasilnya positif, Mas.”
Panglima mulai bereaksi. Ia sedikit terperangah atas kata ‘positif’ yang Ajeng lontarkan. Panglima menoleh, ia menatap Ajeng dengan kerutan di kening. Ajeng yang sedang menatapnya juga, menundukkan pandangan kemudian.
Ajeng: “Ya. Positif, Mas.”
Panglima (Masih mengerutkan kening. Suaranya datar): “Positif” apa ini maksudnya, Dek.”
Ajeng (Semakin menundukkan wajahnya lebih dalam): “Maafkan Adek, Mas, kalau selama ini Adek tidak pernah cerita. Sebenarnya Adek sedang sakit.”
Panglima (Menyela): “Sakit?” (Mengerutkan dahi).
Ajeng: “Ya. Hasilnya … positif … Adek Leukimia.”
Panglima (Terperanjat): “Apa!?”
Ajeng mengangguk.
Panglima mencoba mencerna kebenaran penuturan istrinya itu. Ia mencoba mengingat-ingat apa yang teradi sebelum hari ini. Panglima berpikir bahwa Ajeng sedang berusaha membuat alibi. Belakangan ini ia tak melihat ada yang salah dengan kesehatan istrinya, malah istrinya itu terlihat jauh lebih bugar dari sebelum-sebelumnya. Apa mungkin istrinya itu menyembunyikan semuanya itu agar ia tidak khawatir. Namun, mana bisa ia merahasiakan sakitnya itu dari suaminya? Ini tidak benar. Panglima masih belum bisa memercayai cerita istrinya itu. Jujur, ia masih sangsi. Ada apa ini?
Panglima: “Adek nggak usah berbohong. Nggak perlu menutupi kesalahan Adek dengan kebohongan tak masuk akal ini. Mas melihat Adek baik-baik saja. Tak mungkin menderita penyakit seperti itu. Adek sedang berusaha membohongi, Mas, kan?”
Ajeng tak menjawab kecuali mengeluarkan isak tangis tertahan. Panglima sedikit terpengaruh, rasa ibaya tiba-tiba tumbuh.
Ajeng (Menahan isak): “Terserah, Mas, mau percaya atau tidak. Adek tidak bohong.”
Panglima: “Ada buktinya?”
Ajeng (Menengadah): “Dokter Andre yang pegang. Adek akan minta berkasnya agar Mas percaya.”
Panglima: “Ya, tentu saja. Jika Adek benar-benar sakit, Mas akan maafkan kejadian kemarin. Nmun jika hanya akakl-akalan Adek saja, lihat saja apa yang akan Mas lakukan pada Adek.”
Ajeng menatap Panglima dengan tatapan penuh permohonan.
Ajeng: “Adek tidak bohong, Mas. Percaya Adek.”
Panglima: “Untuk saat ini belum. Masih belum.”
CUT TO …
INT. Ruang kerja Dokter Andre. Sore hari, pukul 16.00
Dokter Andre menatap layar komputernya. Suara dering telepon terdengar.
Dokter Andre: “Hallo, Jeng. Bagaimana situasinya?”
Ajeng (V. O): “Tolong kirimkan berkas pemeriksaannya.”
Dokter Andre: “Sedang, saya siapkan. Tunggu saja. Setelah selesai langsung saya kirim.”
Ajeng: “Baiklah. Saya tunggu segera.”
Dokter Andre: “Oke, Jeng.”
CUT …
INT. Ruang tengah rumah Rayya. Pagi hari.
Rayya baru selesai menyanyi di aplikasi karaoke online. Setelahnya ia lanjutkan dengan berbincang dengan Panglima di jalur multi aplikasi tersebut. Mereka terlibat percakapan perihal situasi rumah tangga yang sedang mereka alami belakangan ini. Mereka berbagi satu sama lainnya sekadar bertukar solusi atas permasalahan yang sedang mereka hadapi.
Rayya (Via Headset): “Istri saya memutuskan bekerja, Di. Saya sudah nggak bisa melarangnya. Situasinya begitu sulit. Selama ini ia tertekan cenderung drop pasca ditinggal wafat anak-anaknya. Psikologisnya terganggu, ia kerap melamun, dan saya tak bisa berbuat banyak untuk membantunya keluar dari tekanannya itu. Kata istri saya, ia butuh kegiatan agar pikirannya perihal anak-anaknya terabaikan. Ia pikir dengan bekerja, pikirannya akan tercerahkan.”
Panglima (V. O): “Ya, nggak apa-apa, Kang, kalau begitu maunya. Dituruti saja. Memang benar, sih, daripada di rumah banyak melamun ujung-ujungnya stress, apa itu tidak lebih baik?”
Rayya: “Sebenarnya saya nggak tega kalau istri harus bekerja. Tapi, ya, mau gimana lagi. Semakin dilarang malah semakin merengek.”
Panglima(V. O): “Sulit memang situasinya, tapi ikuti aja kemauan istri Akang seperti apa. Kalau itu bisa membuat psikologis istri Akang jauh lebih baik, kenapa tidak? Toh, kalaupun suatu saat, misalnya istri Akang merasa capek bekerja, ujung-ujungnya pasti berhenti juga. Iya, kan?”
Rayya (Tersenyu): “Iya, juga, sih. Eh … ngomong-ngomong gimana istrimu. Sudah diselidiki?”
Panglima (V. O, mengembuskan napas): “Situasinya nggak terduga. Istri saya … leukemia.”
Rayya (Terkejut): “MasyaAllah. Kok, bisa. Terus masalah affair-nya itu gimana?”
Panglima: “Entahlah, saya bingung. Istri saya ke-gep tengah berpelukan di rumah sakit. Ketika saya desak situasinya seperti apa, ia bilang ia sedang histeris ketika ditenangkan oleh dokternya itu. Saya bingung, apalagi tiba-tiba ia bilang kena leukemia. Antara harus percaya atau tidak.”
Rayya: “Kok, bisa. Ada surat keterangannya.”
Panglima: “Katanya ada, tapi saya belum lihat. Masih ada di tempat dokternya.”
Rayya: “Dan kamu percaya, Di, situasinya karena istrimu histeris ketika ke-gep sedang berpelukkan?”
Panglima: “Entahlah, Kang.”
CUT …