Halaman Author
Kontrol semua karyamu pada halaman author, kamu bisa memublikasikan karya baru atau mengatur karyamu dengan mudah dalam satu tempat.
The Broken Feathers
Suka
Favorit
Bagikan
16. BAB 16: PENGAKUAN

INT. Ruang keluarga. Pukul 09.30

Hamidah berdiskusi dengan keluarga besarnya atas masalah yang kini sedang dihadapi oleh Panglima. Bersama suaminya, Hamidah akan melakukan mediasi atas keluarga Ajeng. Bukan hanya membahas masalah kejadian tempo hari di rumah sakit, lebih dari itu perihal kelangsungan rumah tangga anaknya itu. Dan satu lagi perihal diagnosis penyakit leukemia Ajeng yang bagi keluarga besar Panglima terasa janggal.

 

Suripto (Menyalakan rokok): “Sudah berapa lama, Di, kondisi rumah tanggamu goyang. Katakana dengan jujur.”

Panglima (Membenarkan letak duduknya): “Semenjak saya tidak bekerja, Pak.”

Suripto (Mengembuskan asap rokoknya): “Berarti hampir enam bulan. Masalah risiko belanja gimana, Di?”

Panglima: :Kurang lebih selama itu. Belanja masih, ada tabungan dikit-dikit, ya, dikasih, terus kalau dapat upah dari Bapak, ya, saya kasih juga, Pak.”

Suripto: “Pernah mengeluh masalah belanja?”

Panglima: “Mulanya tidak, tapi kemudian sering marah-marah karena duit dari saya sedikit. Tapi akhir-akhir ini malah kebalikannya, Ajeng tidak lagi mempermasalahkan uang belanja, malah ketika saya kasih, ia tak lagi mau terima.”

Suripto: “Kok, begitu?”

Panglima: “Entahlah, Pak. Saya tak tahu kenapa bisa jadi begitu.”

Suripto: “Pernah kamu tanyakan kenapa ia nggak mau terima?”

Panglima: ‘Ya. Bilangnya ia masih ada duit. Buat saya saja.”

Suripto (Mengisap kembali rokoknya): “Terus semenjak ia tak mau terima uang belanjamu ia mulai berubah?”

Panglima: “Ya. Ia berangkat kerja pagi banget dan pulang malam banget. Terlalu sibuk dan tak pernah ada waktu untuk saya.”

Suripto: “Kenapa kamu tidak pernah cerita kepada bapak-ibumu ini?’

Panglima: “Saya pikir bisa menyelesaikannya sendiri. Lagian, Pak, saya tak mau membebani pikiran orang tua, lha, ini, kan, masalah intern rumah tangga saya, Pak. Mana berani saya menceritakannya pada orang lain.

Hamidah (Menyela pembicaraan): “Kamu ini, Di, kita itu bukan orang lain. Perihal Ajeng sebenarnya ibu sudah curiga, karena ibu merasa, sebagai seorang perempuan juga, ada kesan berusaha menghindar dari kami. Buktinya, ia sudah abai atas pemeriksaan rutin itu. Ibu menduga-duga alasannya bukan karena sibuk, karena ibu tahu benar Ajeng, kayaknya kalau nggak ada apa-apa, tak mungkin mengabaikan ibu.”

Panglima: “Iya, Bu. Sebenarnya saya sudah curiga. Pernah menguntit, dan hasilnya seperti yang pernah Ibu lihat. Dengan dokter itu, tapi masalahnya, perihal diagnosis penyakitnya itu mematahkan semuanya. Kecurigaan saya rontok, walau pada akhirnya kemudian saya berpikir bahwa bisa jadi hasil diagnosis itu hanyalah rekkayasa. Dokter itu bisa melakukannya dengan sangat mudah. Akses menuju sana sangat mungkin ditembus dokter itu.

Hamidah: “Nha, kan, lagian, Di, orang sakit leukemia itu biasanya kondisi kesehatan tubuhnya menurun drastic. Ini, nggak, kan, ya?”

Panglima (Mengangguk): “Iya, Bu. Karena itulah saya sangsi.”

Suripto: “Terus rencana kita ke sana mau ngapain, Bu, selain mediasi?”

Hamidah: “Ya, nyari tahu kebenaran sakitnya itu. Kalau perlu kita suruh periksa ulang penyakit Ajengnya itu. Kita harus menyaksikannya beramai-ramai perihal benar tidaknya penyakitnya itu. Kalau seumpama hasilnya hanya akal-akalan, keputusan final ada di dirimu, Di. Pikirkan hal terburuk dan keputusan seperti apa yang bisa kamu ambil setelahnya.”

Panglima (Mendesah): “Iya, Bu. Saya ingin kejelasan. Sejelas-jelasnya, soalnya Ajeng sudah dingin kepada saya beberapa bulan ini.”

Hamidah (Mengerutkan dahi): “Dingin? Maksudmu perihal hubungan sehari-hari?”

Panglima (Merengut): “Enam bulan ini Ajeng sudah tak lagi menjalankan kewajiban seorang istri kepada suaminya. Tidak pernah lagi, bahkan cenderung menjauh bila saya dekati. Makanya ia lebih memilih tinggal bersama orang tuanya ketimbang saya, Bu.”

Hamidah (Terperangah); “MasyaAllah ini benar-benar mencurigakan. Kamu sabar, ya, Di. Apa pun yang terjadi harus kuat. Semoga apa yang kita duga tidak terjadi.”

Panglima (Tidak yakin): “InshaAllah, Bu.”

Percakapan selesai. Mereka segera berkemas. Hari ini rencananya mereka akan mendatangi rumah orang tua Ajeng. Tentu saja untuk membahas permasalahan rumah tangga Panglima dan Ajeng.

 

CUT …

 

 

 

 

 

INT. Ruang keluarga rumah orang tua Ajeng. Pukul 13.00

Sofa ruang tamu diisi penuh oleh keluarga besar keluarga yang sedang berdiskusi. Ada panglima bersama kedua orang tuanya plus adik dan saudara Panglima, Arman. Sementara di pihak Ajeng ada kedua orang tuanya dan beberapa om-tantenya. Ajeng sendiri kebetulan sedang off kerja.

Percakapan basa-basi sudah selesai beberapa waktu lalu. Kini percakapan sudah merambat ke tema utama. Perihal rumah tangga anak-anak mereka.

Suripto: "Nggak, kami tidak mau menuntut apa pun. Hanya ingin tahu saja permasalahannya seperti apa. Jujur sebenarnya tidak mau ikut campur dengan masalah rumah tangga anak-anak, toh, mereka sudah sama-sama dewasa. Tapi masalahnya begitu pelik. Ini menyangkut masa depan rumah tangga mereka.”

Sutoyo: “Kami pun demikian. Sebenarnya kami sudah curiga ada yang tidak beres dengan rumah tangga mereka. Hanya saja Ajeng selalu mengelak dengan mengatakan rumah tangganya baik-baik saja. Sebenarnya tidak mau begitu saja percaya, toh, beberapa bulan ini Ajeng memilih tinggal bersama kami. Kalau tidak ada apa-apa mana mungkin seorang istri tega meninggalkan suaminya sendiri di rumah. Betulkan, Mas?”

Suripto (Mengangguk): “Ya, seperti itulah harusnya.”

Sutoyo: “Berkali-kali saya bertanya pada Ajeng perihal apa yang sebenarnya terjadi. Anak saya itu hanya bungkam dan terus-terusan menjawab taka da apa-apa. Malah saya pancing dia dengan menyuruh Panglima datang ke rumah kalau nggak ada apa-apa. Bapak ingin ngobrol, itu kata saya. Ajeng hanya bilang bahwa suaminya sedang sangat sibuk. Padahal nggak, kan, Di?” (Menoleh ke arah Panglima yang terlihat cemas).

Panglima (Sedikit gugup): “Benar, Pak. Selama saya nggak kerja, saya di rumah Bapak. Bantu-bantu usaha beliau.”

Sutoyo (Sedikit terkejut): “Lho, kamu memangnya nggak kerja, Di? Kok, Ajeng nggak pernah cerita. Jeng …” (Menatap Ajeng dengan tatapan minta penjelasan).

Ajeng: “Maaf, Pak.” (Menunduk).

Sutoyo: “Apa karena suamimu sudah nggak kerja jadi kamu seperti itu, Jeng. Kok, kasihan suamimu.”

Ajeng (Sedikit kesal): “Ya, enggaklah, Pak.”

Sutoyo: “Terus kenapa? Masa iya kamu melakukan hal itu tanpa sebab. Pasti ada sesuatu. Betul, kan, ya, Bu?” (Meminta pendapat Ratna Sari, istrinya).

Ratna Sari (Mengangguk).

Sutoyo: “Coba kamu jelaskan, agar masalahnya terbuka.”

Ajeng (Mengembuskan napas berat): “Sepertinya kami sudah nggak cocok lagi.”

Panglima terperanjat. Ia tak menyangka jawaban istrinya akan seperti itu. Ini di luar dugaannya. Panglima menatap wajah istrinya dengan muram.

Ajeng: “Akhir-akhir ini rumah tangga kami benar-benar kacau. Kami kerap terlibat percekcokan yang sebenarnya bersumber dari masalah yang remeh-temeh. Mas Adi sudah nggak seperti dulu lagi. Ketika saya ada masalah tak sedikit pun mau peduli. Ia terlalu sibuk dengan dunianya. Ketika saya stress karena pekerjaan, Mas Adi tak pernah sedikit pun memerhatikan saya. Ia malah lebih memilih menghabiskan waktu di rumah ibunya. Saya lelah, Pak, apalagi dengan keadaan saya bekerja, sepertinya beban hidup yang harus saya pikul jauh lebih berat. Mas Adi tidak mau memahami hal itu.”

Panglima (Tersentak): “Apa yang kamu katakan, Dek? Ini tidak benar. Sejak kapan mas tidak memerhatikan Adek? Seingat mas, mas selalu berusaha memerhatikan Adek. Mas berusaha menjadi suami yang baik kepada Adek. Bahkan tiap kali Adek bekerja perasaan malu itu kerap hinggap, ya, karena mas sedang nggak bekerja. Mas berusaha mencari pekerjaan meski sampai detik ini belum dapat. Jadi kalau Adek bilang mas tidak memerhatikan Adek itu salah. Adek hanya membuat alibi dengan keterbatasan mas hingga seolah mas suami yang tidak bertanggung jawab. Adek tahu apa yang mas sering lakukan pada Adek, berusaha melakukan yang terbaik bagi Adek, malah sebaliknya Adek seoalah menghindar, menjauhi mas, dan kerap bilang kepada mas untuk mencari perempuan lain hanya karena Adek sakit. Mas sedih mendengar itu, Dek, sedih. Padahal mau sakit atau tidak Adek tetap perempuan yang harus mas cintai dan lindungi. Bukan begitu caranya.”

Sutoyo (Menyela): “Ajeng sakit apa, Di?”

Panglima (Menatap Ajeng): “Biar Ajeng yang menjelaskannya langsung, Pak.”

Sutoyo: “Katakan, Jeng.”

Ajeng (Terbata): “Leukimia, Pak.”

Orang tua Ajeng terperangah. Mereka benar-benar kaget.

Sutoyo: “Kamu serius, Jeng? Kenapa nggak bilang?” Kenapa kami baru tahu sekarang.”

Hamidah (menyela): “Hal yang sama dengan kami, Pak. Kami baru tahu kalau Ajeng sakit belakangan ini. Itupun kata anak saya.”

Sutoyo: “Jeng. Coba jelaskan dengan detail.”

Ajeng: “Tak ada yang harus dijelaskan, Pak. Ajeng sakit, dan Ajeng memutuskan untuk menjalaninya sendirian. Ajeng tak mau membebani orang lain.”

Panglima (Kesal): “Mas ini suamimu, bukan orang lain. Apa pun kemungkinan terburuknya mas akan bersamamu, merawatmu, Dek.”

Ajeng: “Nggak perlu, Mas. Adek tak ingin jadi beban hidupmu.”

Panglima: “Dek.”

Hamidah: “Kamu salah, Jeng. Salah. Harusnya, kalian sebagai suami istri menjalani segala sesuatunya bareng-bareng, pahit-manisnya.”

Ajeng: “Sudah nggak bisa lagi, Bu.”

Hamidah: ‘Kenapa bisa begitu, Jeng. Karena Adi nggak kerja?”

Ajeng: “Bukan itu.”

Hamidah: “Lantas?”

Ajeng menunduk. Terdiam. Ia merasa sedang dihakimi tapi tak punya jawaban yang tepat untuk membela diri. Tiba-tiba ruanghan itu hening beberapa saat.

 

CUT ….

 

 

INT. Ruang keluarga.

Percakapan berlanjut setelah jamuan makan. Ajeng dan Panglima masih saling diam satu sama lainnya.

Hamidah: “Leukimia itu penyakit ganas, lho. Melihat kondisi tubuhmu yang sekarang, kok, ibu agak sangsi, maaf, Jeng kamu periksa di mana?”

Ajeng (Sedikit tersinggung): “Saya ada buktinya, Bu, Mas Adi juga sudah lihat.”

Hamidah: “Siapa tahu ada kekeliruan, Jeng. Siapa tahu salah diagnosis atau berkasnya tertukar dengan pasien lain seperti di sinetron-sinetron?’

Ajeng (Tersudut): “Bu, kayaknya nggak mungkin itu terjadi. Mereka professional.”

Hamidah: “Oh, iya. Yang memeriksamu Dokter Andre, kan, ya?”

Ajeng (Tersentak): “Kok, Ibu tahu?”

Hamidah (Tersenyum).

Hamidah: “Tahulah. Ibu sering lihat, kok, kamu jalan sama dokter itu. Arman juga.  Namanya juga dokter sama pasien plus perawatnya, ya, ke mana-mana pasti jalan bareng.”

Ajeng (Wajahnya memerah): “Maksud Ibu apa ini?”

Hamidah: “Lha, nggak ada maksud apa-apa. Gini, lho, Jeng, perihal sakitmu kami benar-benar bingung. Mana ada orang sakit leukemia bisa sebugar kamu, Jeng. Terus kalaupun kamu benar-benar sakit, kok, memeriksakannya harus sendiri-sendiri? Masa iya, kedua orang tuamu tidak diberi tahu? Suamimu nggak, kami pun nggak diberi tahu. Kan, janggal, Jeng.”

Ajeng (Kesal): “Maksud Ibu mencurigai kalau hasil diagnosis itu palsu?”

Hamidah: “Nggak juga. Tapi dugaan ke arah sana … ada.”

Ajeng: “Ibu keterlaluan.”

Hamidah: “Kok, keterlaluan. Ya, sudah, Jeng, gini saja. Kalau kamu benar-benar sakit leukemia, mumpung kita lagi ngumpul, bagaimana kalau kita periksa ulang bareng-bareng agar hasilnya bisa disaksikan dan setidaknya kami percaya perihal sakitmu. Masalah ke depannya rumah tangga kalian mau diputuskan seperti apa, hasil tes itu bisa jadi akan menjelaskan segalanya. Ibu pikir begitu, sih.”

Ajeng (Terperangah): “Tidak bisa, bu. Itu sudah valid.”

Ratna Sari: “Nggak apa-apa, Nak. Lakukan saja. Tak ada salahnya juga, kan?’

Ajeng (Menggeleng): “Tidak bisa, Bu. Tidak mungkin.”

Ratna Sari: “Masa iya nggak bisa, Nak. Hasil itu akan menyelamatkanmu, lho, dari prasangka keluarga besar Nak Panglima.”

Ajeng (Menahan kalut): “Nggak, Bu. Ajeng nggak bisa melakukannya.”

Ratna Sari mengerutkan dahi. Orang-orang mulai menatap heran Ajeng. Mereka pada akhirnya menduga-duga yang sebenarnya terjadi.

Panglima (Mendesak): “Adek nggak bisa melakukannya karena berkas hasil itu palsu, kan? Adek nggak sakit, kan? Itu hanya akal-akalan Dokter Andre. Apa benar? Jawab, Dek. Jawab!”

Ajeng menunduk. Tubuhnya gemetar. Ia seperti tersudut. Wajahnya tiba-tiba memerah. Ada kecemasan di bola matanya yang tiba-tiba mengembun.

Panglima: “Katakan yang benar! Mas, Ibu, Arman sudah pernah melihatmu terlibat percakapan mesra dengan Dokter Andre. Jika karena sakitmu, kami akan maafkan, tapi jika sebaliknya karena kamu ada hubungan dan sengaja membuat alibi berkas itu agar kami tidak curiga, sampai kapan pun mas tidak akan memaafkan Adek.”

Ajeng semakin gemetar. Kini ia terlihat panik. Tangisnya tiba-tiba pecah. Orang-orang dibuat heran. Mereka semakin yakin bahwa Ajeng tengah berbohong.

Ratna Sari (Berkata lirih seraya mendekap tubuh Ajeng): “Katakan, Nak. Bukan karena itu, kan, Nak?”

Ajeng tak menjawab. Tangisnya semakin deras.

Panglima menatap Ajeng. Ia menunggu jawaban.

Ajeng (Terisak): “Semua yang di katakan Mas Adi benar, Bu. Berkas hasil tes itu … palsu. Mas Andre yang membuatkannya. Maafkan saya, Bu.” (Tangis Ajeng pecah. Ia memeluk ibunya erat. Setelahnya menghambur berlari tergesa dari ruangan).

 

Orang-orang menatapnya dengan perasaan campur aduk: kesal, marah, kecewa, iba, dan menyayangkan. Kebenaran pada akhirnya terbongkar. Ajeng sedang bermain api di belakang suaminya.

 

CUT …

 

Bagikan
Anda harus login atau daftar untuk mengirimkan komentar
Tidak ada komentar