Halaman Author
Kontrol semua karyamu pada halaman author, kamu bisa memublikasikan karya baru atau mengatur karyamu dengan mudah dalam satu tempat.
The Broken Feathers
Suka
Favorit
Bagikan
7. BAB 7: DOKTER ANDREAWAN SEPTANU

INT. Lobi Hotel Alderado, pukul 12.30

Resepsionis sedang sibuk di belakang meja kerjanya, sementara di tengah lobi, satu set sofa berbahan kulit dengan warna gading, salah satunya tengah diduduki seorang  perempuan yang sedang asyik membaca koran. Ia berambut panjang dengan kaca mata ber-frame lebar. Sekali-kali menurunkan letak koran yang menutupi wajahnya untuk menatap alah sekitar lobi.

Terdengar suara denting lift lobi yang baru terbuka. Seorang perempuan dan seorang pria muncul dengan bergandengan tangan, dari kemesraan yang mereka tunjukkan sepertinya sepasang suami istri. Sang perempuan berkali-kali tertawa genit saat sang pria berbicara. Usia mereka sepertinya terpaut begitu jauh dari wajahnya. Sang pria jauh lebih tua dari sang perempuan.

Mereka berjalan melintasi sofa di mana si perempuan pembaca koran berada. Mereka mendekat kea rah resepsionis untuk mengurus check-out, si perempuan yang duduk di sofa menurunkan Koran dan menatap mereka dengan tatapan tajam, kemudian ia menaikkan korannya kembali saat sang perempuan di meja resepsionis itu menoleh kepadanya.

Si Perempuan (Berbisik di telinga si pria): “Mas, orang di sofa itu aneh, lho. Kayaknya memerhatikan kita dari tadi.”

Si Pria (Menoleh ke arah sofa): “Yang sedang membaca koran itu?” (Seraya melabuhka kode dengan kerlingan bola mata ke arah orang tersebut).

Si perempuan (Mengangguk): “Iya, Mas.”

Si Pria: “Sepertinya tidak, Say. Perasaan kamu saja, lha, mungkin tak sengaja menatap kita. Kenapa memangnya.”

Si Perempuan menggeleng.

Selesai membereskan bill di resepsionis, mereka segera gegas keluar dari lobi, petugas parkir dengan sigap meluncurkan mobil tamunya hingga tepat di depan mereka. Setelah menyerahkan kunci, petugas itu gegas pergi setelah menerima uang tip dari si pria.

Si pria membuka pintu mobil, si perempuan segera masuk. Kemudian mobil mereka segera meluncur membelah jalan raya yang terik siang itu.

 

 

CUT …

 

 

INT. Ruang tengah. Pukul 16.30

Panglima sedang menonton televisi ketika Ajeng pulang. Ajeng dengan muka lelah segera masuk ke kamar tanpa sempat berbasa-basi dengan suaminya itu. Panglima hanya meliriknya tanpa sempat menyapa istrinya itu. Panglima menggelengkan kepalanya lantas menyusul istrinya ke dalam kamar.

 

INT. Kamar tidur

Mendekat ke arah Ajeng yang sedang berbaring. Istrinya itu memejamkan mata sementara tas jinjing dan ponselnya berserakan. Panglima memungutnya, kemudian meletakkannya di atas meja rias.

Panglima (Duduk di tepi ranjang): “Mau mas ambilkan minum, Dek?”

Ajeng (Membuka mata): “Nggak usah, Mas. Adek tidak haus.”

Panglima (Tersenyum): “Ya, udah, istirahat dulu, ntar kalau kamu sudah bangun, mas mau minta waktumu. Ada sesuatu yang ingin mas utarakan.”

Ajeng (Mengerutkan dahi): “Tentang apa, Mas? Tentang saya atau ibumu?”

Panglima: “Dua-duanya, tapi … ntar saja ngobrolnya, Adek masih lelah sepertinya. Mas tinggal dulu, ya.”

Ajeng tak menjawab, ia merenung, mungkin sedang mencoba menebak-nebak apa yang ingin diobrolkan oleh suaminya itu. Wajah Ajeng tiba-tiba terlihat cemas, ia kemudian bangkit, mencari letak ponsel yang tadi ia simpan di mana saja. Ponsel itu sudah tergeletak rapi ndi atas meja rias. Ajeng kemudian membuka layar ponsel dan berselancar di sana. Ia sepertinya tidak jadi istirahat.

 

CUT TO …

 

 

 

INT. Kamar tidur Dokter Andre. Pukul 20.00

Laras, istri Dokter Andre sedang berbaring di samping suaminya. Mereka sedang berbincang ngalor-ngidul seperti biasa. Mereka biasa membahas masalah apa saja sebelum mereka terlelap. Dari mulai bahasan ringan, berat, keluarga, pasien, hingga rumah sakit, dan yang lainnya. Kali ini bahasan mereka condong ke masalah suaminya yang sedang intens mengobati pasiennya.

Laras (Memiringkan tubuhnya): “Terus bagaimana kondisinya sekarang, Pih?”

Dokter Andre (Ikut memiringkan tubuhnya. Mereka saling berhadapan): “Masih belum ada perkembangan berarti. Butuh beberapa pemeriksaan lanjutan untuk mengetahui peluangnya seperti apa.”

Laras: “Maksud, Papih, stadiumnya menjelang stadium akhir?”

Dokter Andre: “Indikasinya ke arah sana tapi peluang kesembuhan masih tetap ada.”

Laras: “Kasihan dia. Itu leukemia, kan, Pi? Semoga ia bisa sembuh, ya, Pih.”

Dokter Andre: “Aamiin, Mih. Sedah papih usahakan. Karena itulah papih akhir-akhir ini papih rada-rada sibuk. Maafkan papih, ya, Mih, bila waktu papih untuk mamih sedikit berkurang.”

Laras: “Nnggak apa-apa, Pih. Itu, ‘kan, risiko istri seorang dokter, mamih maklum, kok, kecuali kalau papih macam-macam baru mamih nggak akan maklumi. Eh …” (Tertawa cekikikan).

Dokter Andre: (Sedikit tercekat atas gurauan istrinya di ujung kalimat): “Apaan, sih, Mih. Mana berani papih macam-macam sama mamih, takut, ah.”(Ikut tertawa)

Laras: “ Kalau boleh tahu, Pih. Pasien itu siapa namanya?”

Dokter Andre (Tidak segera menjawab, wajahnya menunjukkan keheranan): “Tumben nanya-nanyanya sedetail itu, Mih. Papih jadi curiga. Apa mamih lagi cemburu, nih, ceritanya, gara-gara pasiennya perempuan. Hayoo!”

Laras: “Nggaklah, Pih. Ingin tahu saja. Hehe.”

Dokter Andre: “Ajeng, Mih.”

Laras: “Panjangnya?”

Dokter Andre: “Nha, lho … harus disebutkan juga?”

Laras: “Haruslah.”

Dokter Andre: “Dwikusumah. Ajeng Dwikusumah. Kalau info lainnya papih nggak bisa sebutkan. Maaf, ya, Mih, ini kode etik. Hahaha.”

Laras (Tertawa terbahak): “Masa sama istri sendiri aja harus mengikuti kode etik. Hehe. Tapi, nggak apa-apa, makasih, ya, Pih.”

Obrolan mereka berlanjut hingga tengah malam. Namun, rasa kantuk yang tak bisa mereka tahan lagi memaksa mereka pada akhirnya terlelap juga.

Tengah malam ponsel Dokter Andre bergetar, sang pemilik tak mendengarnya karena terlalu lelap, sementara Laras terbangun mendengar suara getaran itu. Laras kemudian bangkit dan mengecek ponsel suaminya, ia berpikir takutnya ada kondisi darurat di rumah sakit yang membutuhkan penanganan segera suaminya.

Laras membuka layar ponsel dan mendapatkan sebuah pesan WA dari nama kontak: AJENG. Laras sedikit mengerutkan dahi, tetapi kemudian meletakkan ponsel suaminya ke tempatnya. Ia tak membuka pesan itu kecuali membiarkannya. Itu privacy suaminya.

Laras Membaringkan tubuh kembali.

Laras (V. O): “Pasien papih. Jam segini? Nggak salah?”

 

 

CUT ….

 

 

 

 

INT. Meja makan. Selepas Isya

Panglima baru menyuapkan nasi ke mulutnya ketika Ajeng menggeser kursi. Istrinya itu baru selesai maskeran dan terlambat datang ke meja makan. Panglima sudah hampir menyelesaikan makan malamnya ketika istrinya itu baru selesai.

 

Ajeng (Mencomot bakwan jagung di atas piring): “Mas, saya sudah santai sekarang. Mau bicara soal apa?”

Panglima (Meletakkan sendok setelah suapan terakhirnya tandas): “Makan dululah, Dek, setelah itu baru kita bicara.”

Ajeng: “Nggak usahlah, Mas. Saya sudah kenyang, kok. Bicaralah.”

Panglima (Menyeka mulut): “Serius nggak mau makan dulu?”

Ajeng (Menggeleng)

Panglima (Melabuhkan tatapan kepada istrinya): “Oke. Begini. Beberapa hari ini ibu mengeluh soal sakitnya. Katanya jantungnya kerap berdegup kencang tanpa aturan, pusing di kepala yang berputar-putar, dan rasa nyeri di ulu hati. Sebenarnya ibu bisa saja segera memeriksakan diri ke rumah sakit, itu pula yang dikatakan Bapak. Tapi, masalahnya, Ibu ingin Adeklah yang memeriksanya seperti biasa. Ibu selalu bertanya kabar Adek dan pemeriksaan rutin kesehatan dirinya. Soalnya … maaf, ya, Dek, belakangan ini kayaknya Ade terlalu sibuk hingga pemeriksaan rutin Ibu seolah terabaikan. Kalau Mas boleh meminta, besok kita ke sana, sekalian kita silaturahmi. Sudah lama, kan, ya, kita nggak ke sana?”

Ajeng (Menatap dingin): “Adek sibuk, Mas. Ade tahu itu, tapi sepertinya akhir-akhir ini pun Adek nggak bisa.”

Panglima (Mendesah): “Kok, gitu. Bukannya biasanya Adek memeriksa keadaan Ibu minimal sebulan sekali? Ini sudah lebih, lho.”

Ajeng (Mulai nggak nyaman): “Mas tahu sendiri keadaan Adek belakangan ini. Ngurus rumah, kerja, rapat, nyari duit. Adek capek, lho, Mas.”

Panglima (Merengut): “Tapi setidaknya, sempatkanlah untuk Ibu. Nggak lama, kok, memeriksanya.

Ajeng: “Bukan begitu, lho, Mas. Tapi Adek … lihat saja besok, Mas, semoga bisa.”

Panglima: “Semoga bisa. Oh, iya, Dek, kemarin Arman datang ke rumah.”

Ajeng (Sedikit terkejut): “Arman? Mau ngapain?”

Panglima (Mengerutkan dahi. Ia menangkap ada rona kecemasan di wajah Ajeng): “Nggak ngapa-ngapain. Istrinya sakit, ia minta utangan ke Mas untuk berobat istrinya.”

Ajeng (Sedikit lega): “Oh. Mas kasih?”

Panglima (Mengangguk).

Ajeng (Cemberut): “Kenapa Mas kasih. Mas, kan, nggak kerja. Memangnya Mas punya duit?”

Panglima (Sedikit tersinggung): “Kok, bicaranya gitu, Dek.”

Ajeng: “Lho, kenapa, memang kenyataannya begitu. Mas, kan, sudah nggak kerja. Apa omongan Adek salah?”

Suasana hening seketika. Panglima sedang mencoba mengendalikan emosinya. Apa yang dikatakan istrinya tidak salah, tapi intonasi penekanan kalimat per kalimatnya membuat Panglima tersinggung, ini di luar kebiasaan istrinya itu. Ajeng berubah, Panglima semakin yakin, ada sesuatu yang salah perihal istrinya.

 

 

CUT TO ….

 

Bagikan
Anda harus login atau daftar untuk mengirimkan komentar
Tidak ada komentar