Halaman Author
Kontrol semua karyamu pada halaman author, kamu bisa memublikasikan karya baru atau mengatur karyamu dengan mudah dalam satu tempat.
The Broken Feathers
Suka
Favorit
Bagikan
17. BAB 17: SIMPANG JALAN

INT. Kamar tidur rumah Panglima. Pukul 22.15

Kenyataan yang harus diterima Panglima begitu pahit. Apa yang ia takutkan ternyata terbukti, Ajeng benar-benar telah berkhianat. Untuk saat ini taka da yang bisa dilakukannya kecuali memikirkan dan mempertimbangkan keputusan apa yang harus ia ambil. Sebenarnya sangat sulit bagi Panglima. Di satu sisi ia masih sangat mencintai istrinya, di sisi lainnya, pengkhianatan Ajeng tidak bisa ditoleransi lagi.

Ia ingin mencurahkan kegundahan hatinya kepada siapa saja yang mau menampung kegundahannya. Ternyata tak bisa, ia butuh orang-orang yang sudah paham dirinya. Tak banyak. Ia hanya punya Irianti dan Rayya. Kepada merekalah pada akhirnya ia berusaha mengadu.

Di layar, kontak telepon Irianti sudah off. Mungkin sudah terlalu malam. Panglima mencoba menggeser mencari kontak Rayya. Ia berharap sahabatnya itu masih online. Ternyata keinginannya terkabul. Rayya masih online. Gegas Panglima memijat tombol menelepon. Telepon langsung terhubung.

Panglima (Resah): “Kang ….”

Rayya (V. O): “Ya, Di. Ada apa?”

Panglima (Menarik napas): “Lagi sibuk, nggak? Boleh ganggu waktunya sebentar?”

Rayya (Terkekeh): “Kebiasaan kamu mah. Kalau telepon saya angkat berarti sedang tidak sibuk. Jadi, ya, nggak ganggu, Di.”

Panglima (Mencoba tersenyum): “Oh, iya, ya. Saya mau sharing dan minta pendapat, Kang.”

Rayya: “Boleh, Di. Ngomong saja.”

Panglima : “Saya bingung, Kang.”

Rayya: “Kok. Kenapa lagi. Masih soal istrimu, ya?”

Panglima: “Iya. Terbongkar sudah kelakuannya.”

Rayya: “Terbongkar? Maksudnya, Di?”

Panglima: “Apa yang Kang Rayya dan Mbak Yanti duga dan takutkan ternyata semuanya benar. Istriku ada main, dan semua kebohongannya terbongkar sudah. Ia tidak bisa mengelak atau membela diri. Semua bukti-bukti tak bisa lagi ia sangkal.”

Rayya: “MasyaAllah. Kamu serius, Di. Sabar, ya, Di. Kok bisa sampai terbongkar. Kamu berhasil menyelidikinya, ya?”

Panglima (Mendesah): “Sebenarnya belum. Hanya saja kebusukan itu cepat terendus. Ibu saya pernah melihat Ajeng sedang jalan mesra dengan dokter di rumah sakit. Sebenarnya ibu saya tak ingin menceritakannya hanya saja ia penasaran dengan keadaan rumah tangga saya. Mulanya saya tidak ingin membongkar masalah ini dan bilang kepada ibu saya bahwa hubungan saya baik-baik saja, tapi ibu tak percaya. Ibu mendesak saya untuk bercerita. Dari sanalah kemudian Ibu menjelaskan temuannya. Saya kaget, tetapi berusaha menjelaskan bahwa kedekatan Ajeng dan dokter itu, seperti yang selama ini saya coba pahami, hanya sebatas pasien kepada dokternya. Saya jelaskan kalau Ajeng sakit kangker. Ibu tentu saja kaget karena ia sama sekali tak tahu kalau Ajeng sakit. Kemudian saya ceritakan sakitnya Ajeng. Ibu sedikit tak percaya dengan sakitnya menantunya itu karena ibu tak melihat keadaan Ajeng yang buruk. Ia terlihat bugar ketika terakhir melihatnya di rumah sakit.

Dari sana Ibu berinisiatif untuk bermediasi dengan pihak keluarga Ajeng. Ibu pikir mereka harus membereskan rumah tangga kami yang bisa dibilang sedang kacau. Mereka menginginkan hubungan kami membaik seperti sedia kala. Bilapun ada sesuatu hal yang buruk sedang terjadi, mereka akan mencoba ikut menyelesaikannya.

Mulanya Ajeng berusaha menyudutkan saya dengan mengorek-ngorek kesalahan saya, dan bersikeras ingin lepas dari saya. Selain karena sikap saya yang di mata Ajeng sudah tidak sesuai, perihal sakitnya dia menjadi alasan dirinya agar saya melepaskannya. Saya tentu saja tidak mau melakukannya. Ajeng tetap pada pendiriannya. Namun keluarga besar kami tak mau terima kalau alasannya cuma itu.

Ketika kami membahas penyakit leukemia yang diderita Ajeng, keluarga besarnya pun kaget, karena mereka pun tak tahu soal vonis penyakitnya itu. Dari sinilah awal mulanya kebohongan Ajeng terbongkar. Kami meminta Ajeng memeriksakan ulang penyakitnya, tentu saja dengan kami semua sebagai saksinya. Ajeng bersikeras tak mau melakukannya. Ketika ibu saya coba pancing alasannya kenapa, Ajeng sepertinya mulai tersudut. Apalagi ketika ibu saya mengatakan pernah melihat Ajeng jalan bersama dokter itu, istri saya itu tiba-tiba panik dan resah. Ketika kami coba mendesak ditambah Arman, saudaraku yang kerja satu rumah sakit dengan Ajeng, ikut bicara, terbongkarlah semuanya. Arman menceritakan semua hal tentang Ajeng bersama dokter itu selama di rumah sakit. Ajeng tak lagi bisa mengelak. Semuanya terbongkar. Dan parahnya lagi …” (Menghentikan kalimatnya. Panglima seperti hendak menangis)

Panglima (Menahan isak): “Berkas hasil pemeriksaan sakitnya itu palsu. Yang buat dokternya itu. Ia sengaja melakukannya hanya agar ada alasan saya untuk melepasnya. Ini menyakitkan. Sangat menyakitkan. Tega sekali istri saya ini.”

Rayya: “MasyaAllah, Di. Yang sabar, Di. Kamu harus kuat. Ini ujian.”

Panglima: “Iya, Kang.”

Rayya: “Terus apa yang akan kamu lakukan selanjutnya. Berpisahkah atau masih mau memberikan kesempatan.”

Panglima: “Saya dan keluarga saya sudah berdiskusi bahwa kami akan mencoba memperbaikinya dan mau menerima Ajeng kembali dengan syarat Ajeng memutuskan hubungan gelapnya dengan dokter itu yang ternyata sudah punya istri dan anak.”

Rayya: “Waduh! Terus Ajeng mau melakukannya?”

Panglima: “Tidak. Ia bersikeras untuk tetap berhubungan dengan dokter itu. Katanya lagi yang membuat saya sakit adalah dia sudah tidak mencintai saya lagi. Ia tahu dokter itu sudah berkeluarga tapi dokter itu sudah berkomitmen untuk bercerai dengan istrinya dan memilih Ajeng. Meskipun berat, sepertinya saya harus memilih untuk melepas. Mencintai orang yang sudah tidak mencintai kita lagi itu menyakitkan. Makanya sepertinya saya memutuskan untuk melepasnya, tetapi tidak dalam waktu dekat ini, masih harus meninggu Sembilan bulan ke depan.”

Rayya: “Kenapa harus menunggu sampai selama itu, Di?”

Panglima (Terisak): “Ajeng … hamil.”

Rayya: “Nha, lho, itu tandanya kamu dan Ajeng dilarang berpisah. Pikirkan lagi, Di.”

Panglima: “Tidak ada yang harus dipikirkan, Kang. Dia memang hamil, tapi bukan … anak saya.”

Rayya (Tersentak): “Apa maksudnya bukan anak kamu, Di?”

Panglima: “Dia hamil hampir dua bulan, dan saya sudah enam bulan ini tak menggaulinya. Jangankan bercinta, berdekatan sekalipun istriku selalu menghindarinya.”

Rayya: “Gila! Bajingan sekali istrimu, Di.”

Panglima (Menangis)

Rayya: “Dari mana kamu tahu kalau istrimu sedang hamil?”

Panglima: “Ia mengakuinya dan dengan bangga mengatakan bahwa itu bukan anak saya. Itu anak Dokter Andre. Itu menyakitkan, Kang. Sakit, Kang.” (Tangisnya meledak).

Rayya (Tercengang. Ia tercekat. Tak ada satu kata pun berhasil keluar dari mulutnya).

 

Setelah beberapa lama terisak, Panglima kemudian melanjutkan ceritanya.

Panglima: “Pantas saja istri saya berubah.”

Rayya (Mengembuskan napas): “Yang sabar, Di. Ini memang berat, tetapi kamu jangan menyerah. Yang kuat. Mungkin ini yang terbaik bagi dirimu. Yakinlah, Di.”

Panglima: “Iya, Kang. Terima kasih.”

 

Setelah pembicaraan mereka selesai, Rayya mencoba menghibur Panglima dengan mengajaknya nge-room di aplikasi karaoke online itu. Mereka bernyanyi sampai pagi. Mereka sedang mencoba mengesampingkan masalah yang sedang mereka hadapi satu sama lainnya dengan menghibur diri.

 

 

CUT …

 

 

 

INT. Kamar tidur Dokter Andre. Pukul 22.00

Laras mengeluarkan semua pakaian suaminya. Ia menggeletakkannya di atas karpet. Ketika Dokter Andre masuk, Laras bergerak menjauh. Wajahnya dipenuhi oleh emosi dan kekecewaan.

Laras (Bicara ketus): “Itu baju-baju kamu. Bawa semuanya jangan ada yang tertinggal.”

Dokter Andre: “Maksud kamu apa, sih, Mih?”

Laras (Menyilangkan tangan di dada): “Pura-pura bego. Maksud saya sudah jelas, kamu tinggalkan rumah ini dan silakan kejar pacarmu ini. Saya sudah muak dibohongin kamu. Mengerti Pak Dokter!”

Dokter Andre (Memasang wajah sedih): “Saya bisa jelaskan, Mih. Itu fitnah.”

Laras: “Masih ngelak juga! Cepat pergi dari rumah saya!”

Dokter Andre: “Tapi, Mih.”

Laras: “Ini rumah saya. Dari orang tua saya. Kamu tak punya hak atas apa pun di rumah ini. Jadi tunggu apalagi?”

Dokter Andre: “Mih, papih mohon. Maafkan papih.”

Laras tak menjawab kecuali menjentikan telunjuknya menunjuk arah pintu. Dokter Andre memungut baju-bajunya yang berserakan kemudian memasukkannya ke travel bag. Wajahnya mengiba penuh permohonan. Laras tak mau menatapnya kecuali terus bergerak menjauh.

 

CUT …

 

 

 

 

 

Taichung.

INT. Kamar tidur. Pukul 09.00

 

Irianti mencoba mengintip ke lantai bawah. Dua polisi itu sedang berbincang dengan majikannya. Irianti tampak gelisah. Wajahnya berkeringat sementara tubuhnya gemetaran lemas. Ia berpikir bahwa saatnya telah tiba. Ia akan ditangkap dan dipenjarakan. Mengingat itu Irianti terlihat sedih. Inginnya ia melarikan diri dari tempat itu saat itu juga, tapi ia tak mungkin melakukannya ketika kedua polisi itu masih ada di bawah. Irianti berdoa bahwa majikannya bisa berkelit dan menyelamatkannya dari kejaran kedua polisi itu. Harapannya buyar. Dokter Wu mengetuk pintu. Irianti segera membukanya.

Dokter Wu (Berdiri di depan pintu kamar): “Segera berkemas, Yan.”

Irianti (Gugup): “Mau dibawa ke kantor polisi, Pak?”

Dokter Wu (Menggeleng): “Tidak, Yan. Mereka sudah pergi. Sementara kamu harus pergi bersembunyi ke tempat yang aman. Suatu saat mereka akan kembali.”

Irianti (Mengerutkan kening): “Pergi ke mana, Pak?”

Dokter Wu: “Ke tempat yang aman. Rumah saudara saya. Kamu berlindung sementara sampai keadaanya aman.”

Irianti: “Pekerjaan saya di sini?”

Dokter Wu (Tersenyum): “Nggak usah dipikirin, Yan. Saya kan biasa melakukan segala sesuatunya sendirian, bukan? Bahkan sebelum kamu ada.”

Irianti (Mengangguk): “Baiklah, Pak. Terima kasih.”

 

 

CUT ….

 

 

 

 

 

 

 

 

INT. Kamar tidur Ajeng. Sore hari.

Ajeng berusaha menghubungi nomor ponsel Dokter Andre. Dari kemarin ponsel Dokter Andre tidak aktif. Ada yang sedang ingin dibicarakannya, tentu saja perihal prahara yang kemarin sudah terjadi. Ia ingin mengabarkan semuanya kepada Dokter Andre, berharap dokter Andre senang mendengarnya.

Ajeng terus menghubungi ponsel Dokter Andre. Gagal. Tak pernah terhubung.

Ajeng (Mengelus perutnya): “Kamu ke mana, sih, Mas? Jangan buat saya kuatir, lho.”

Ajeng merebahkan tubunya kemudian. Ia menatap langit-langit kamar. Melarungkan pikirannya ke tempat yang jauh. Kemudian ia memejamkan mata, dari sudut kedua matanya yang tertutup air mata mengalir tiba-tiba. Ajeng menangis setelahnya.

 

 

CUT …

Bagikan
Anda harus login atau daftar untuk mengirimkan komentar
Tidak ada komentar