Halaman Author
Kontrol semua karyamu pada halaman author, kamu bisa memublikasikan karya baru atau mengatur karyamu dengan mudah dalam satu tempat.
The Broken Feathers
Suka
Favorit
Bagikan
6. BAB 6: API DALAM SEKAM

 

INT. Kamar tidur. Pukul 05.30

Panglima masih tertidur pulas. Semalam ia tidur larut hampir dini hari. Semalaman pikirannya digayuti pertanyaan demi pertanyaan perihal istrinya. Ia merasa ada banyak perubahan sikap Ajeng terhadap dirinya semenjak ia resmi di-PHK dari pekerjaannya. Ia ingin membicarakannya tadi malam, sayangnya waktunya tidaklah tepat.

Sementara Panglima masih terlelap, Ajeng, istrinya, sudah berdandan rapi. Wajahnya tampak begitu cerah sementara seragam perawatnya tersetrika rapi. Sesekali ia berdendang nyanyi-kecil. Ajeng tengah berdandan di depan cermin ketika tubuh Panglima menggeliat. Dendangan kecil istrinya membuatnya terjaga.

Panglima (Menelentangkan tubuh, menggulung selimut hingga ke bawah dada): “Pukul berapaini, Dek?”

Ajeng (menatap cermin, tanpa menoleh): “Setengah enam, Mas.”

Panglima (Terperanjat, bangkit): “MasyaAllah! Mas kesiangan salat Subuh. Kenapa Adek nggak bangunin Mas. Kok, nggak biasanya, Dek?”

Ajeng (Tercekat, kemudian merengut, wajahnya sedikit menyiratkan ketersinggungan): “Kok, jadi saya, Mas. Salah sendiri kenapa tidurnya larut sekali.”

Panglima (Mengerutkan dahi. Ia tak berkomentar lagi kecuali gegas ke kamar mandi).

 

Keluar dari kamar mandi, Panglima tertegun, ia baru sadar ketika melihat Ajeng yang sedang bersolek dengan dandanan rapi. Ia pikir hari ini adalah jatah istrinya off, nyatanya tidak.

Panglima hendak bertanya kalau saja ia ingat kalau salat Subuh-nya sudah sangat terlambat. Ia segera salat.

 

Selesai salat.

Panglima (Menatap istrinya penuh kelembutan. Ia berjongkok di hadapan Ajeng yang masih asyik berhias): “Dek, kok, sudah rapi? Bukannya hari ini bagian off?”

Ajeng (Meletakkan blush on di meja rias, menatap wajah suaminya dengan tatapan kesal): “Ya, bukanlah, Mas. Hari ini masuk pagi. Ada rapat direksi, jadi off-nya ditunda.” (Bicaranya sedikit ketus).

Panglima: “Lho, bukannya biasanya rapat direksi rumah sakit tempat adek kerja akhir bulan? Bukannya ini masih pertengahan, ya?”

Ajeng (Menatap suaminya kesal): “Adek, nggak tahu, Mas. Katanya mendadak.”

Panglima: “Biasanya juga nggak sepagi ini berangkat kerjanya, Dek. Ini belum jam enam, lho.”

Ajeng: “Berkas-berkas rapatnya lupa disiapin kemarin.”

Panglima (Menggelengkan kepala): “Oh, gitu, ya, Dek?”

Ajeng (Agak kesal. Ia merengut): “Kok, sepertinya Mas kurang percaya.”

Panglima: “Nggak juga, ah, Dek. Percaya, kok.”

Ajeng cemberut. Panglima segera mengusap pucuk kepala Ajeng, tersenyum kemudian.

Panglima (Mengembuskan napas): “Padahal rencananya hari ini kita pergi ke rumah Ibu, semalam, kan, batal. Ibu lagi menunggumu untuk pemeriksaan rutin.”

Ajeng (Mendengus): “Mas …!”

Panglima: “Ya, sudah, nggak apa-apa, Dek. Kapan-kapan saja.”

 

Ajeng memasukkan kembali alat-alat make-up nya ke dalam tas, kemudian ia gegas dengan terburu-buru, bahkan ia melupakan kebiasaannya selama ini: pamit dan mencium pipi suaminya. Panglima hanya termangu, sikap Ajeng semakin aneh. Namun ia mencoba mendiamkannya, mungkin istrinya sedang terburu-buru saja, bukan karena hal lain.

Ajeng berhenti melangkah. Ia tertahan di muka pintu, lalu berbalik.

Ajeng (Berteriak): “Mas, adek nggak buat sarapan! Kalau lapar beli saja. Dan … saya bawa motor, ya, Mas. Assalamualaikum.”

Panglima tertegun. Ia benar-benar mulai tak paham dengan kelakuan istrinya itu.

Panglima: “Waalaikum salam.”

 

 

CUT …

 

 

EXT. Pelataran rumah sakit. Pukul 07.00

Ajeng memarkir motornya lantas bergegas menuju ruang kantor. Ia menyusuri lorong koridor, sesekali berpapasan dengan rekan sesama perawat yang hendak pulang setelah menyelesaikan shift-nya. Ajeng terlihat tergesa.

 

INT. Kantor rumah sakit.

Ajeng meletakkan berkas-berkas yang tadi dibawanya. Mengecek ponselnya sebentar, lantas kembali keluar dari dalam kantor. Irma, rekannya sedang mengisi laporan hasil pemeriksaan pasien. Ia mengalihkan pandangannya ke arah Ajeng.

Irma (Meletakkan pena):Lho, Jeng, bukannya kamu hari ini off?”

Ajeng (Sambil berjalan): “Iya, nih, ada urusan di luar, mampir menyimpan berkas-berkas pemeriksaan kemarin.”

Irma: “Oh, gitu, ya.”

Ajeng (Menggeser pintu): “Duluan, ya, Ma.”

 

 

EXT. Pelataran rumah sakit.

Ajeng melajukan motornya. Di belakangnya mobil fortuner mengekor.

 

 

CUT TO …

 

 

INT. Rumah. Pukul 14.25

Panglima sedang membaca Koran ketika pintu depan diketuk. Ia bergegas berjalan menuju pintu dan membukanya. Seorang pria tengah berdiri di hadapan pintu. Arman, sepupunya, yang kerja sebagai petugas cleaning service di Rumah Sakit Medika Husada, Pekalongan, tempat istrinya juga bekerja di sana. Arman mengucap salam dan tersenyum.

 

Panglima (Membuka lebar daun pintu): “Oh, kamu, Man, masuk!”

Arman segera masuk, duduk setelah dipersilakan oleh Panglima.

Panglima: “Tumben, Man, mampir. Ada perlu apa, ya, kira-kira?”

Arman (Tersenyum malu-malu sebelum bicara. Ia sedikit gugup): “Eu … begini, Mas. Tapi, maaf sebelumnya jika Mas tidak berkenan dengan kedatangan saya.”

Panglima: “Nggaklah, Man, kayak dengan siapa aja. Perihal apa, ya, Man?”

Arman (Berdeham): “Begini, Mas, eu … istriku sakit, Mas. Kebetulan sudah beberapa kali minum obat warung, tapi nggak mempan. Inginnya, sih, membawanya ke dokter, tapi …. “ (Menghentikan kalimatnya). “Gajiaan saya akhir bulan, Mas. Saya lagi … nggak ada uang. Maaf, Mas, kalau punya simpanan, saya mau ngutang. Bisa, nggak, ya, Mas?”

Panglima (Tersenyum): “Oh, itu. Kalau jumlahnya ratusan ribu saya ada, Man. Kalau lebih dari itu, nggak ada kayaknya. Kebetulan sudah nggak kerja beberapa bulan ini, ya, hehehe, begitulah.”

Arman (Menunduk malu): “Oh, gitu, ya, Mas. Maaf kalau gitu, kalau nggak ada, nggak apa-apa, kok.”

Panglima: “Ada. Butuh berapa?”

Arman: “Cuma dua ratus lima puluh ribu aja, Mas.”

Panglima (Bangkit dari duduk): “Tunggu bentar, saya ambil dulu.”

Arman: “Iya, Mas. Tapi ngomong-ngomong, kok, sepi. Mbak Ajeng lagi ke mana?”

Panglima (Berhenti, ia membalikkan badan): “Hari ini, kan, masuk, Man. Memang kamu nggak bertemu, ya?”

Arman (Mengerutkan dahi): “Kayaknya hari ini saya nggak bertemu Mbak Ajeng, Mas. Bukannya biasanya hari ini jatahnya off, Mas?”

Panglima (Ikut mengerutkan dahi): “Bilangnya, sih, harusnya iya, tapi katanya ada rapat dadakan.”

Arman: “Rapat, ya, Mas? Sama dokter itu, ya, Mas.”

Panglima: “Dokter siapa, Man?”

Arman: “Eu … nggak, Mas.”

Panglima gegas menuju kamar. Ia sedikit mengerutkan dahi perihal lontaran kalimat Arman barusan yang menurutnya agak sedikit janggal. Tapi ia tak mau berpikir macam-macam. Pikiran itu melintas begitu saja lalu raib.

Panglima: “Ini, Man.”

Arman: “Baik, Mas. Terima kasih banyak. Kalau uangnya sudah ada, saya langsung kembalikan.”

Panglima: “Nggak usah dipikirin, Man, pakai aja dulu.”

Arman: “Baik, Mas. Saya pamit. Salam buat Mbak Ajeng.”

 

Arman segera pulang, meninggalkan Panglima yang kini termenung, ia menangkap ada sesuatu yang sedang disembunyikan Arman perihal istrinya. Namun, apa itu, Panglima pun belum mengerti.

 

Bagikan
Anda harus login atau daftar untuk mengirimkan komentar
Tidak ada komentar