Halaman Author
Kontrol semua karyamu pada halaman author, kamu bisa memublikasikan karya baru atau mengatur karyamu dengan mudah dalam satu tempat.
The Broken Feathers
Suka
Favorit
Bagikan
13. BAB 13: DEPORTASI

Taichung

INT. Ruang tengah. Pukul 09.00

Dokter Wu memanggil Irianti untuk menghadap kepada dirinya. Ada sesuatu yang ingin dibicarakan kepada asisten rumah tangganya itu. Irianti yang sedang membersihkan ruangan segera gegas datang. Hari itu, Minggu, Dokter Wu sedang tidak bekerja.

Dokter Wu (Melipat Koran yang baru dibacanya): “Dokter Liu bertanya kabarmu, Yan. Kemarin kita berbincang soal kamu.”

Irianti: “Oh. Soal apa, Pak, kalau boleh tahu?”

Dokter Wu: “Seseorang datang ke rumahnya dan mengatakan hendak bertemu denganmu.”

Irianti: “Saya? Siapa, Pak?”

Dokter Wu: “Katanya, sih, dari pihak yayasan yang dulu memberangkatkanmu, ada sedikit urusan yang belum kamu tuntaskan, katanya. Entah urusan apa itu tapi ia bersikeras kepada Dokter Liu untuk bertemu denganmu.”

Irianti: “Kenapa harus dengan Dokter Liu, Pak? Saya nggak pernah bekerja di rumahnya, hanya saja saya pernah seminggu tinggal di rumahnya karena saran dari teman saya yang bekerja di sana. Waktu itu saya melarikan diri dari majikan yang suka menyiksa saya itu. Ya, kalau bisa dibilang sembunyi di sana.”

Dokter Wu: “Liu juga bicara demikian. Sebenarnya ia yang berinisiatif menyembunyikanmu di rumahnya dengan menyuruh asisten rumah tangganya itu. Sepengetahuan dia, tak seorang pun tahu kalau kamu sembunyi di rumahnya. Tapi entah kenapa kok, tiba-tiba ada yang tahu, dan lagi kenapa baru sekarang, ya, orang itu datang mencarimu? Bukankah kejadian itu sudah lama, ya, Yan?”

Irianti (Mengangguk): “Ya. Lumayan lama juga.”

Dokter Wu: “Orang itu bilang, bahwa seseorang bernama Axian mencarimu, katanya itu majikanmu yang dulu. Ia bilang kamu melarikan diri sementara kontrak kerjamu masih beberapa tahun ke depan baru habis. Majikan lamamu itu menuntut pihak yayasan untuk mengembalikan uangnya sekaligus ganti rugi karena kontraknya tidak selesai. Sementara pihak yayasan katanya nggak mau melakukannya, karena apa yang kamu lakukan tidak menjadi tanggung jawab pihak yayasan. Dan kamu, kata orang itu, masuk kategori kaburan, jadi posisimu di Taiwan sini menjadi illegal. Bisa jadi pihak kepolisian akan mencarimu untuk dideportasi. Tapi, Yan, tenang saja, di sini kamu aman. Saya yang akan bertanggung jawab menyelesaikannya.”

Irianti: “Terima kasih banyak, Pak, atas kebaikan bapak selama ini.”

Dokter Wu: “Tak masalah, Yan. Intinya selama di sini kamu aman. Hanya saja, lebih hati-hati lagi kamu kalau keluar rumah. Masalahnya kalau kamu tertangkap pihak kepolisian, saya tidak bisa berbuat banyak. Statusmu yang menurut mereka illegal bakalan sulit. Berdoa saja itu tidak terjadi, Yan.”

Irianti: “Semoga saja, Pak.”

Dokter Wu: “Oh, iya, ada salam dari Asih. Temanmu itu bilang sebulan lagi kontrak kerjanya dengan Liu akan habis. Ia tidak akan memperpanjangnya. Ia mau balik Indo katanya. Asih pamit dan minta maaf padamu, Yan, takutnya ia tidak sempat bertemu denganmu. Bagaimanapun ia tak mau ambil risiko bertemu denganmu, salah-salah ada orang yang sedang mengawasi Asih juga saking inginnya menemukan keberadaanmu.”

Irianti: “Baiklah, Pak.”

Dokter Wu: “Ya, sudah, lanjutkan pekerjaanmu. Sebentar lagi saya mau jalan, mungkin sekalian belanja stok bulanan. Untuk sementara kamu nggak usah ke mana-mana. Di rumah saja.”

Irianti mengangguk kemudian gegas ke belakang. Hatinya cemas. Ia sedang dicari pihak kepolisian. Ia takut laporan mantan majikannya membuatnya tersandung masalah hokum. Perihal deportasi mungkin bukan masalah besar, tapi kalau sampai di penjara di negeri orang, ia tak bisa membayangkannya.

 

CUT …

 

 

INT. Kamar tidur. Pukul 11.45

Irianti terlihat panik. Seseorang di luar sana terdengar mengetuk pint uterus-menerus. Ia mengintip lewat tirai kamarnya yang langsung tertuju pada beranda rumah. Letak kamarnya yang di lantai dua, bisa dengan leluasa mengawasi siapa yang sedang berada di luar. Dua orang pria berseragam. Irianti yakin, itu dari pihak kepolisian yang sedang mencari keberadaannya.

Wajah Irianti pucat. Peluh di wajahnya tumbuh dengan deras. Di tangannya masih menggenggam ponsel. Ia sedang berusaha menghubungi seseorang untuk meminta bantuan atau semacamnya.

Yudi, pria di telepon (V. O): “Yang, nggak usah panik. Tenang saja. Mereka tak mungkin tahu kalau kamu ada di dalam. Kamu harus yakin.”

Irianti (Berbisik): “Iya, Say. Saya mencoba tenang. Semoga majikan saya segera pulang dan membereskannya. Atau mereka mengira kalau rumah sedang kosong. Saya takut banget, Say.”

Yudi (V. O): “Berdoa saja, Say. Semua akan baik-baik saja. Percaya saya, Say.”

Irianti mengintip kembali lewat tirai kamar ketika deru mesin mobil terdengan mendekat. Irianti berharap itu mobil majikannya yang baru kembali. Harapan Irianti benar. Itu mobil majikannya.

Irianti melihat majikannya turun dari mobil dan menghampiri kedua orang itu. Mereka terlibat percakapan dengan setelahnya kedua orang itu bergegas pergi. Irianti tampak bisa bernapas lega. Untuk sementara ia aman.

 

CUT …

 

 

 

 

INT. Ruang tengah.

Irianti menyambut kedatangan Dokter Wu dengan kelegaan.

Dokter Wu: “Mereka sudah pergi, Yan.”

Irianti: “Syukurlah, Pak. Saya takut sekali. Apa yang Bapak katakan hingga mereka pergi?”

Dokter Wu: “Tak ada. Hanya saya bilang saya tinggal di rumah sendirian. Mana ada asisten rumah tangga.”

Irianti: “Mereka percaya?”

Dokter Wu: “Sebenarnya tidak, hanya saja mereka tak punya kuasa untuk menggeledah rumah, jadi sementara kamu aman. Oh, ya, Yan, belanjaan di mobil tolong bawa dan masukan kulkas, ya.”

Irianti: “Baik, Pak.”

Irianti gegas keluar. Sebelum keluar ia mencoba memindai sekeliling, takutnya kedua orang tadi masih ada dan sedang mengintainya. Setelah dirasa aman, baru Irianti keluar.

 

 

CUT ….

 

 

 

 

INT. Kamar tidur. Pukul 20.30

Seperti biasa setelah karakoean online di aplikasi, Irianti, Panglima, Rayya terlibat obrolan ngalor-ngidul. Kebersamaan mereka seperti tak terpisahkan lagi, meski mereka terpisah jauh satu sama lainnya. Yang mereka bicarakan dari mulai masalah remeh-temeh yang terjadi di aplikasi, hingga permasalahan serius yang sedang mereka hadapi masing-masing. Mereka saling membuka diri untuk sekadar bertukar solusi. Mereka terkadang saling menyemangati seperti yang mereka lakukan saat ini.

Irianti (Sambil rebahan): “Saya sedang dikejar pihak kepolisian.”

Panglima (V. O): “Kok, bisa, apa yang terjadi?”

Irianti: “Status saya yang kaburan. Mereka jadi menganggap saya pekerja illegal.”

Rayya: “Kok, bisa sampai berubah status. Bisa cerita nggak, Teh. Siapa tahu bisa saya jadikan ide cerita buat novel baru saya.”

Irianti: “Oh, tentu saja bisa Kang Penulis. Hehehe. Coba disimak, ya.”

Rayya, Panglima (Berbarengan): “Ok.”

Irianti (Wajahnya berubah serius): “Saya kabur dari rumah. Pernikahan kedua saya sepertinya harus diakhiri dengan cara seperti ini. Secara status hukum saya masih istri sahnya Indrawan, tetapi secara agama saya sudah tidak. Kenapa saya sampai nekat melarikan diri dari rumah? Suami saya, Indrawan, mengidap kelainan seks yang sebenarnya sudah saya tahu dari awal-awal pernikahan. Mulanya saya menganggapnya wajar dan dengan senang hati diperlakukan seperti itu. Saya tak sedikit pun merasa tidak terima walau terkadang apa yang ia lakukan pada saya sangat tidak wajar. Ia kerap menyiksa saya ketika sedang berhubungan seks. Ia merasa puas bila melihat saya tersiksa dan meringis bahkan menangis. Ia melakukan penyiksaan kepada saya dengan berbagai cara. Menampar, setengah mencekik, menyulut saya dengan punting rokok, dan penyiksaan lainnya. Saya tak kuasa mengelak atau berusaha menolaknya, bahkan menikmatinya meski rasa sakit itu terkadang membuat saya menangis setelahnya.

Saya tidak bisa berbuat banyak kecuali mengikuti alur permainannya. Entahlah, rasa sayang saya kepadanya membuat saya bertahan dengan kebodohan itu. Saya sama sekali tidak berontak. Saya sering berbicara dengannya agar ia bisa berubah, atau setidaknya terapi agar kelainannya bisa dihentikan. Ia menurut dengan apa yang saya katakana. Ia mengikuti beberapa terapi tetapi hasilnya sama sekali taka da. Lagi dan lagi ia melakukan penyiksaan itu kepada saya. Dan saya hanya bisa diam dan tunduk.

Tahun pertama bisa saya lalui, tetapi tahu-tahun berikutnya hati saya mulai berontak. Saya sudah tak tahan lagi dengan segala bentuk penyiksaan itu. Saya mencoba meminta Indrawan untuk melepaskan saya. Ia tidak terima. Ia tak mau melakukannya karena ia benar-benar mencintai saya. Perihal penyiksaan yang ia lakukan terhadap saya ia meminta maaf berulang-ulang, bahkan setiap kali setelah ia berhubungan badan dengan saya akan meminta maaf setelahnya hingga menangis. Katanya itu di luar kendali dirinya. Ia meminta permaluman. Saya sudah memakluminya untuk waktu yang lama. Masalahnya saya masih manusia, rasa tidak terima diperlakukan seperti itu membuat saya ingin mengakhirinya.

Indrawan tetap tidak terima dan tak ingin melepaskan saya. Ia sangat mencintai saya, itu saya akui. Di luar penyimpangan seks yang ia idap, Indrawan adalah sosok pria sempurna yang tanggung jawab kepada istrinya begitu besar. Saya sebenarnya ada di atas persimpangan kala itu, tapi saya harus mengambil keputusan tegas untuk menyelamatkan diri. Kenaa saya bilang menyelamatkan diri? Karena suatu saya hampir mati, karena Indrawan mencekikku sebelum orgasme. Ini sulit.”

Hening. Irianti mencoba menjeda ceritanya. Di seberang nun jauh di sana, Panglima dan Rayya begitu serius mendengar cerita sahabatnya itu.

Irianti (Mendesah): “Saya kemudian memutuskan untuk melarikan diri. Lewat seorang teman, saya memutuskan untuk hengkang dari kehidupan Indrawan dengan bekerja di luar negeri. Teman saya itu sebenarnya menyayangkan keputusan saya untuk bekerja di luar negeri. Ia bilang kenapa harus luar negeri? Kenapa tidak di Indonesia saja? Saya menjawabnya sederhana saja: saya tak ingin ditemukan oleh Indrawan. Untuk Indonesia, saya yakin Indrawan masih bisa menemukan keberadaan saya. Untuk luar negeri, mungkin tidak. Itu pikiran saya saat itu. Saya mencoba mengubur kenangan buruk itu rapat-rapat di Taiwan ini.

Indrawan itu suami kedua saya. Suami pertama saya meninggal. Kalau nggak salah saya pernah bercerita perihal suami pertama saya, kan, ya.”

Rayya: “Iya, Teh.”

Panglima: “Pernah, Mbak. Lanjut, Mbak, ceritanya.

Irianti: “Bentar.” (Meneguk minum. Tenggorokannya sepertinya kering)

Irianti: “Saya berangkat ke Taiwan lewat yayasan tenaga kerja. Harapan saya di Taiwan sana saya bisa berbahagia dengan kehidupan baru saya. Nyatanya tidak. Majikan pertama saya memperlakukan saya dengan semena-mena. Pekerjaan yang harus saya kerjakan banyak tiap harinya. Mereka keluarga besar. Saya harus bekerja dari pukul 06 pagi hingga pukul 22 malam. Bayangkan betapa lelahnya saya itu. Entahlah.

Saya benar-benar tak tahan berada di rumah majikan itu. Saya mencoba mengadukannya kepada pihak yayasan. Pihak yayasan tak bisa melakukan apa pun karena mereka sudah menandatangani kontrak kerja sementara saya sudah menyetujuinya. Tak ada cara lain bagi saya kecuali bertahan sampai masa kontraknya habis. Waktu yang terlalu lama bagi saya untuk menunggu. Saya kemudian memutuskan untuk berhenti dari majikan itu dengan syarat membayar sisa kontrak. Saya lebih memilih untuk membayarnya. Tabungan gaji saya habis untuk membayar sisa kontrak itu. Saya tidak menyesal karena hal itu.

Setelah kerja dengan majikan pertama, saya memutuskan untuk tidak kembali ke Indo kecuali mencari majikan baru. Dapat. Parahnya, majikan kedua ini ternyata jauh lebih bangsat perlakuannya dibanding dengan majikan pertama. Ia jauh memperlakukan saya lebih parah dari binatang. Penyiksaan demi penyiksaan saya terima atas kesalahan-kesalahan kecil yang saya lakukan. Saya dipukul, ditampar, ditendang, disiram air panas, hingga disulut api. Saya tentu saja berontak dan meminta berhenti.

Majikan saya ini menolak dengan keras. Bahkan mengancam akan membunuh saya kalau berani berhenti dari rumahnya. Saya tak bisa melakukan apa pun karena ia merampas ponsel saya. Tentu saya tidak bisa melapor kepada siapa pun. Majikan kedua saya ini seorang temperamen, begitupun dengan istrinya, bahkan saya berani mengatakan bahwa majikan saya yang pria cenderung depresi. Ia tidak bekerja kecuali mabuk-mabukan, sementara yang kerja istrinya.

Saya sering tidur di gudang bawah bersebelahan dengan kandang anjing. Pernah dirantai dan tidak dikasih makan berhar-hari. Kala itu saya berdoa agar saya mati saja, akan tetapi Allah memberiku jalan keluar. Suatu saat ketika saya ada kesempatan keluar saya dihampiri oleh seorang Indonesia yang kemudian menjadi teman saya. Namanya Asih. Saya Cuma bicara sedikit kepadanya tetapi ia paham apa yang sedang terjadi dengan saya. Saya hanya memberinya sesobek kertas alamat agar ia bisa membantu saya.

Pertolongan itu tiba, hingga akhirnya saya bisa melarikan diri. Satu minggu saya sembunyi di rumah majikan Asih. Bukan rumah yang mereka tempati, tapi lebih ke rumah peristirahatan yang mereka bisa isi sekali-sekali, semacam villa. Majikan Asih seorang dokter, Dokter Liu namanya. Dari sana kemudian saya diberi alamat oleh Asih. Di rumah inilah pada akhirnya saya terdampar. Dokter Wu, majikan saya yang bagi saya terlampau baik, meski sebelumnya ia tak mau menerima keberadaan saya sebagai asisten rumah tangga. Ia terbiasa hidup sendiri. Melakukan segala sesuatunya sendirian. Istri Dokter Wu sudah lama meninggal. Ia tak berusaha mencari pengganti, ia pun tidak memiliki anak. Begitulah saya di sini.

Sebenarnya saya sudah merasa senang di sini, tetapi akhir-akhir ini kembali dihinggapi oleh rasa takut. Saya ingin balik ke Indonesia, dan memulai semuanya dengan hal baru. Saya sudah lama menemukan pengganti Indrawan, meski hubungan yang kami jalani sebatas LDR-an. Saya sudah nyaman dengannya dan ingin segera mengakhiri hubungan dengan pernikahan, tapi ada hal yang belum bisa saya lakukan, hingga keinginan itu sementara tertunda.

Itu gambaran sekilas hidup saya, Kang, Di. Berdarah-darah, tapi saya tak ingin berputus asa. Saya selalu berpikir bahwa selalu akan ada jalan bagi setiap kesulitan.

Eh, ngomong-ngomong permasalahan kalian bagaimana? Sudah bereskah?”

Panglima (Mengembuskan napas): “Rumit, Mbak. Nanti giliran saya yang cerita. Kalau sekarang sudah terlalu malam. Mbak harus istirahat, kan, ya? Lagi nsakit, kan?”

Irianti: “Seperti itulah, Di.”

Rayya: “Kisah yang menarik, Teh. Saya dapat benang merah untuk cerita saya. Terima kasih untuk mau berbagi. Semangat terus, ya, Teh! Jangan pernah menyerah.”

Irianti: “Siap. Pasti. Kalian juga semangat. Selalu ada jalan untuk setiap kesusahan. Yakinlah akan hal itu.”

Panglima, Rayya (Serempak): “Siap!!”

Irianti: “Ya, sudah, saya tutup ya pembicaraannya. Sampai besok, ya.”

Irianti mematikan ponsel. Kemudian menutup kelopak matanya. Rasa kantuk kemudian datang beberapa menit setelahnya. Ia tertidur dengan segala pikirannya.

Bagikan
Anda harus login atau daftar untuk mengirimkan komentar
Tidak ada komentar