Halaman Author
Kontrol semua karyamu pada halaman author, kamu bisa memublikasikan karya baru atau mengatur karyamu dengan mudah dalam satu tempat.
The Broken Feathers
Suka
Favorit
Bagikan
3. BAB 3: IRIANTI HARTONO

Indramayu, Desember 2016

 

INT. Kamar. Pukul 22 .00

Spring bed berantakan dengan seprei tergulung ke arah tepi. Lampu kamar masih menyala. Seorang pria terlelap dalam gelungan selimut dengan wajah kelelahan. Pakaian berantakan di atas lantai. Sementara sang pria terlelap, seorang perempuan tengah merintih di pojokan dalam posisi jongkok. Ia hanya mengenakan daster tipis yang sudah kusut. Matanya memerah karena menangis. Ia menjambak-jambak rambutnya. Wajahnya yang tirus, terlihat pucat dan lebam. Ada noda darah di sudut bibirnya, sementara tangan kanannya tampak memerah seperti bekas sunutan punting rokok. Ia tampak begitu putus asa. Perempuan itu Irianti.

Irianti (V. O): “Saya tahu, Mas, semua di luar kuasamu, tapi apa tak bisa dirimu mengubah semuanya. Saya mencintaimu, apa pun keadaannya dirimu, akan tetapi, kalau terus-terusan seperti ini, suatu saat saya pasti akan menyerah. Saya sudah tak tahan atas perlakuan burukmu ini. Ya, kamu terus berjanji suatu saat kamu akan berusaha berubah. Namun itu kapan, saya sama sekali tak tahu. Tolonglah, Mas, berubahlah, saya masih tetap manusia, kesabaran ada batasnya.”

Irianti menutup wajahnya. Isak tangisnya pecah di hening malam. Ia sudah mulai tak tahan dengan keadaan yang terjadi pada suaminya. Ia ingin mengeluh untuk kemudian mengaduh. Tetapi kepada siapa? Permasalahan ini terlalu memalukan untuk diceritakan kepada orang-orang. Bagaimanapun ini rahasia kejelekan suaminya. Ia masih seorang istri yang baik, yang mau menjaga nama baik suaminya di hadapan keluarga dan orang-orang. Irianti dibekap oleh kegelisahan.

CUT TO …

INT. Meja makan. Pukul 07.15

Meja makan dengan hidangan lengkap di atasnya: semangkuk nasi putih yang masih mengepul, semangkuk sayur sop, sepiring bakwan jagung, keranjang kecil buah berisi pisang dan jeruk. Irianti dan suaminya yang duduk saling berhadapan.

 

Irianti (mendesah, sedikit ragu dan takut-takut): “Saya ingin bicara, Mas.”

           

Indrawan, 35 tahun, bertubuh atletis, hidung mancung, dengan rahang kukuh, berkumis tipis (Memutar pandangan ke arah istinya, tangan kanannya sedang mengambil nasi): “Ya. Soal apa, Sayang?” (Memasukkan nasi ke dalam piring).

           

Irianti (Mendesah): “Tentang kita, Mas. Rumah tangga kita.”

          

Indrawan (Menghentikan tangannya yang hendak mengambil kedukan nasi kedua): “Kita? Ada apa dengan kita? Bukankah kita sedang baik-baik saja?”

          

Irianti (Menatap Indrawan, ada kilat mata sangsi): “Ya, dan tidak. Menurut Mas kita baik-baik saja, padahal tidak. Mas tahu sendiri ‘kan apa yang sedang terjadi dalam hubungan kita. Seharusnya tahu sendiri apa yang kerap Mas lakukan pada diri saya selama ini? Apa perlakuan Mas pada saya itu baik-baik saja?” (Intonasi suara Irianti meninggi).

           

Indrawan (Mendesah, ia seperti mencoba menahan emosi yang hampir tersulut): “Sayang, bukankah hal ini sering kita bahas? Bukankah kamu selalu mengatakan tidak berkeberatan dan rela melakukannya dengan ikhlas meski itu menyakitkan? Lantas salah saya di mana?”

           

Irianti: “Tidak ada yang salah, Mas. Tapi saya mulai capek. Lelah, dan … ah.” (Irianti menutup wajah, kemudian ia menangis).

 

           

Indrawan berdiri dari tempat duduknya, berjalan ke arah kursi Irianti, memeluknya dari belakang kemudian mengecup pucuk kepalanya.

 

           

Indrawan: “Maafkan mas, Sayang. Mas tahu selama ini dirimu tersiksa. Mas tahu itu, tetapi mas tidak bisa berbuat apa. Semua terjadi di luar kehendak mas. Mas sudah berusaha menyembuhkan diri sendiri dengan berbagai cara, tapi hasilnya tak ada. Mas tidak ingin menyakitimu, Sayang, tetapi entahlah. Mas tak pernah tega, tetapi mas selalu tak bisa mengendalikan diri.”

           

Irianti (Masih menahan isak tangis): “Tidak ada cara lain, Mas. Mas harus bisa melepas saya.”

           

Indrawan (Terkejut): “Apa?!”

           

Irianti: “Saya ingin lepas dari dirimu. Sudah saya pikirkan matang-matang. Saya tidak ingin mati pelan-pelan.”

           

Indrawan: “Maafkan mas, Sayang. Mas tak bisa melakukannya. Mas sangat mencintaimu.”

           

Irianti: “Saya tahu itu, Mas. Rasa sayangmu pada diri saya sangat besar, namun itu saja tidak cukup. Bertahun-tahun saya mencoba memberikan permakluman atas kebiasan burukmu, tapi setelahnya … saya merasa sudah tak mampu lagi.”

           

Indrawan: “Seandainya bisa, mas sudah berubah dari dulu, Sayang.”

           

Irianti “Saya tahu itu.”

           

Indrawan: “Jadi?”

           

Irianti: “Kalau, Mas, Sayang pada saya, kumohon, lepaskan saya.”

           

Indrawan: “Sayang ….”

 

           

Hening. Indrawan mendekap erat tubuh Irianti, sementara yang dipeluk larut dalam isak tangis. Bagi mereka berdua permasalah ini terlampau berat untuk dipecahnkan. Tak ada cara lain, kecuali saling melepas. Ini tampak jauh lebih adil.

 

           

CUT TO …

           

INT. Ruangan sebuah kafe. Siang hari pukul 11.30

           

Meja paling pojok, suasana kafe riuh-rendah. Dua orang perempuan saling berhadapan, asyik berbincang. Di atas meja, menu yang mereka pesan sudah terhampar. Dua orang perempuan itu adalah Irianti dan Aryani, sahabatnya. Mereka sudah berjanji untuk bertemu di kafe itu untuk sebuah perbincangan serius.

 

           

Irianti (Menyeka dahinya): “Tak ada cara lain yang bisa saya lakukan, Ri.” (Menghentikan ucapannya, mengembuskan napas, menatap lawan bicaranya). Saya ingin menggugatnya cerai.”

 

           

Aryani (Mengembuskan napas, menatap lawan bicaranya dengan penuh rasa iba): “Saya paham, Yan. Hal yang sama akan saya lakukan bila ada di posisi sepertimu. Bahkan mungkin saya akan melakukannya sejak lama. Tak akan ada toleransi, meskipun saya benar-benar mencintainya.”

 

           

Irianti: “Itulah diriku, Ri. Terlalu dibutakan oleh cinta. Sejak saya mengetahui keadaan suami saya seperti itu, saya mencoba memahaminya. Terus berusaha mengabdi meski itu menyakitkan. Entahlah kenapa saya bisa melakukannya hingga sejauh itu. Padahal jika dipikir-pikir penyiksaan demi penyiksaan yang ia lakukan membuat saya harusnya berontak. Saya tak melakukannya, seolah kalau saya berontak saya telah melakukan sebuah dosa besar. Betapa bodohnya saya ini.” (Irianti melenguh, bola matanya menerawang, ada embun bening yang hadir membalut kedua bola matanya).

 

           

Aryani: “Kamu tidak bodoh, Yan, hanya saja kamu kerap merasa bahwa suamimu adalah segalanya, dirimu seolah memberikan permakluman. Kamu terlalu baik untuk dirinya. Kamu lebih memilih melukai diri sendiri ketimbang harus melukai orang yang kamu cintai. Seperti itulah cinta, Yan, terkadang tidak masuk akal untuk dipahami. Semoga kamu tidak menyesal pernah hidup bersamanya.”

 

           

Irianti: “Tidak sama sekali, Ri. Bagi saya ia terlalu baik dalam hal apa pun kecuali urusan ranjang. Ia bertanggung jawab, perhatian, cintanya begitu besar, begitu peduli, romantis, ah … seandainya kelainan itu tidak ia miliki, mungkin bagi saya, Indrawan adalah pria paling sempurna.” (Menundukkan wajah, ada bulir air mata yang jatuh).

 

           

Aryani: “Sudah pernah diobati?’

 

           

Irianti: “Berkali-kali, dan hasilnya sama sekali tidak ada.”

 

           

Aryani (Mengembuskan napas): “Sadomasokisme. Sadisme seksual. Saya pernah membacanya, Yan. Dan itu sungguh-sungguh membahayakan nyawa pasangannya. Penyiksaan di luar kontrol hanya untuk mencapai titik klimaks dirinya sendiri, sementara lawannya menderita jelas tak bisa dibenarkan. Dalam hukum, meski kalian sepasang suami istri, bisa dipidanakan, tentu saja dengan catatan dirimu tidak terima. Sayangnya, kamu tak bisa melakukannya. Benar, kan, Yan?”

 

           

Irianti: “Ya, seperti itulah posisiku. Bagaimanapun Indrawan suami saya, mana bisa saya melaporkannya. Ri, ketika ia mengajak saya bercinta, ada pergolakan batin dalam diri saya antara mau melakukannya atau tidak. Di satu sisi saya merasa betapa berdosanya bila menolaknya, tapi di sisi yang lain saya selalu dihinggapi oleh rasa takut yang sangat besar. Saya kerap berpikir bahwa saya akan mati setelah bercinta. Saya kerap mencoba mengulur waktu sebagai upaya penolakan secara halus. Ia tak pernah memaksa, hanya saya tak pernah tega melihat keadaannya ketika hasrat berahinya tak tertuntaskan. Ia akan melukai dirinya sendiri. Menyulut puntung rokok ke tangannya, menggigit bagian tubuhnya sendiri, dan berteriak-teriak seperti orang tak waras. Kalau sudah seperti ini, saya memilih menyerah, pada akhirnya sayalah yang akan dilukainya hingga kepuasannya tercapai. Terkadang saya menikmatinya, selebihnya tidak sama sekali. Saya selalu merasakan rasa sakit hebat di seluruh tubuh setelah bercinta. Tapi saya memilih diam.”

 

           

Aryani: “Apa yang Indrawan lakukan setelahnya.”

 

           

Irianti: “Ia menangis dan meminta maaf berkali-kali. Ia selalu bersumpah untuk tak mengulanginya, tetapi selalu gagal melaksanakannya. Ia sepenuhnya sadar telah melukai istrinya. Tapi, ia tak bisa melakukan apa-apa.”

 

           

Irianti menangis. Aryani bangkit dari tempat duduknya lalu beranjak ke tempat duduk Iryanti untuk mencoba menenangkannya. Beberapa orang di meja sebelah mencuri-curi pandang.

 

           

Aryani: “Keputusanmu sudah benar, Yan. Kamu berhak bahagia, lupakan rasa cintamu yang besar kepada Indrawan, bagaimanapun kamu tidak harus berkorban terlalu banyak, itu terlalu sia-sia.”

 

           

Aryani: “Terima kasih banyak, Ri. Mungkin setelah semuanya beres, saya tidak ingin berada di Indonesia lagi, saya ingin mengubur masa lalu suram itu jauh-jauh. Saya ingin mengawali semuanya tanpa harus dibayang-bayangi kenangan saya perihal Indrawan. Jujur, bagaimanapun perlakuan buruknya kepada saya, rasa cinta yang besar itu tidak bisa begitu saja dipadamkan. Ia masih terlalu sempurna untuk saya.”

 

           

Aryani: “Saya tahu, Yan. Tidak apa-apa. Apa yang akan kamu lakukan saya akan mendukungmu. Ke mana kira-kira dirimu akan pergi, Yan?”

 

           

Irianti: “Ke mana pun, asal tidak di Indonesia.”

           

Hening setelahnya. Kemudian pikiran mereka berkelana ke arah yang berbeda. Mereka kemudian menikmati sisa hidangan yang sempat tertunda hingga waktu menjelang senja. Setelahnya mereka bergegas pergi.

 

 

           

CUT

           

Bagikan
Anda harus login atau daftar untuk mengirimkan komentar
Tidak ada komentar