Username/Email
Kata Sandi
Alamat Email
Kata Sandi
Jenis Kelamin
INT. Kamar sempit. Satu buah kasur tipis tanpa ranjang. Lemari kain. Malam hari
Irianti (Mondar-mandir di dalam kamar, gelisah, menatap laju jam dinding yang menempel di dinding kamar). Kemudian pintu diketuk seseorang dari luar. Irianti menghentikan mondar-mandirnya, raut mukanya berubah.
Axian, majikan Irianti, bertampang bengis, dengan rambut cepak (Melongokkan wajah, bicara ketus dalam Bahasa Mandarin): “Seseorang ingin bertemu denganmu. Turun! Awas berani bicara macam-macam padanya, kugorok lehermu.”
Irianti (Tak menjawab, kecuali gegas keluar). Langkahnya terhenti karena tangannya tiba-tiba ditarik Axian dengan keras.
Axian (Mendelik): “Ingat nyawamu, Setan kecil!”
INT. Ruang tamu. Seorang pria tengah duduk di atas sofa: berpakaian rapi, dengan rambut klimis berkaca mata.
Irianti turun dari tangga, diikuti Axian. Tersenyum dan mengangguk ke arah pria di sofa.
Irianti (Menganggukkan kepala): “Malam Tuan, ada yang bisa saya bantu?”
Pria berkaca mata (Bangkit dari duduknya, membalas anggukan Irianti): “Malam juga, Nona. Apa Nona yang bernama Irianti?”
Axian (Berdeham sebelum bicara ketus): “Iya. Dia Irianti. Kalau ada perlu cepar beresin. Sudah malam ini. Saya mau istirahat!”
Pria berkaca mata (Berubah raut mukanya tak enak hati, kemudian mencoba tersenyum): “Baik, Pak. Maaf bila saya telah mengganggu waktu Anda. Saya Cuma mampir kebetulan ada titipan yang harus saya sampaikan kepada Nona ini, dari pembantu saya, katanya dia temannya dari nona ini.”
Axian (Menatap penuh selidik ke arah bungkusan yang sedari tadi tergeletak di lantai): “Titipan apa?”
Pria berkaca mata: “Saya kurang tahu, Pak.”
Axian (Berbisik): “Ambil! Dan suruh cepat orang itu pergi.”
Irianti (Mendekat ke arah bungkusan, mengambilnya): “Terima kasih banyak, Tuan.”
Pria berkaca mata (Mengangguk): “Sama-sama, Nona. Saya langsung permisi, ya. Ok, Pak, saya pamit.”
Axian (Melambaikan tangan tak sopan): “Iya, iya, pergi sana!”
INT. Ruang tamu. Setelah tamu pergi.
Axian: “Apa isinya?”
Irianti: “Bukan apa-apa, Pak. Hanya pakaian dan makanan.”
Axian: “Bohong! Saya tidak percaya! Jangan-jangan kamu menyelundupkan senjata untuk membunuh saya. Coba buka!”
Irianti (Terdiam. Ragu-ragu)
Axian (Menunggu dengan gemas, matanya mendelik): “Cepetan goblok!”
Irianti (Masih diam. Ia enggan untuk membuka bungkusan).
Axian mengambil paksa bungkusan itu. Irianti mencoba menahannya tapi gagal. Bungkusan berpindah tangan dengan cepat. Bungkusan berwarna cokelat dengan ukuran 20x20x15 cm, kemudian Axian robek dengan paksa. Membongkar isinya yang ternyata isinya benar, pakaian dan makanan dalam kemasan plastik. Axian mengeluarkan semua isinya sampai tak ada apa-apa lagi dalam bungkusan.
Irianti (Melongo, tetapi wajahnya terlihat lega).
Axian (Mengambil makanan dalam kemasan dan mencoba merobeknya): “Saya nggak yakin kalau isinya cuma ini. Pasti ada hal lain yang kamu sembunyikan.”
Irianti (Tak menjawab. Wajahnya kini dibekap kecemasan)
Axian (Berteriak): “Apa ini?” (Seraya mengambil kemasan plastic yang bersembunyi di dalam kemasan makanan, memerhatikannya lantas melempar kemasan plastik itu).
Axian mendekat ke arah Irianti. Menjambak rambutnya lantas mendongakkan paksa wajah Irianti. Tangan yang satunya menjulurkan kemasan plastik yang isinya ternyata sebuah ponsel.
Axian (Mendelik): “Anjing kamu, Setan kecil! Mau mencoba melaporkan saya, hah?! Sini kamu. Ikut saya.”
Axian menarik rambut Irianti dan menyeretnya menuju ruang bawah tanah. Irianti menjerit-jerit kesakitan selama ia diseret. Axian tampak sangat marah. Ia sama sekali tak peduli Irianti berkali-kali memohon jambakan rambutnya dilepaskan.
CUT TO …
INT. Sebuah ruang kerja. Dr. Liu, seorang pria berkaca mata sedang asyik memerhatikan layar komputer yang ada di atas meja kerja. Seorang perempuan, Asih, mengetuk pintu dan masuk. Ruang kerja dalam rumah. Perempuan itu berusia sekitar 25 tahunan, masuk. Setelah dipersilakan duduk, ia kemudian bicara.
Asih (Bicara dengan intonasi ragu): “Soal yang kemarin, Pak, tentang teman saya.”
Dr. Liu (Menghentikan pekerjaannya, kemudian menatap serius lawan bicaranya): “Bicaralah. Kebetulan saya sudah beres ini.”
Asih (Mendesah): “Teman saya itu sedang benar-benar butuh bantuan. Majikannya memperlakukannya sangat buruk, Pak. Ia kerap dianiaya, disiksa, bahkan kerap diancam hendak dibunuh, Pak.”
Dr. Liu (Mendesah, turut prihatin): “Sudah saya duga, Sih. Kemarin waktu saya mengantar titipanmu, majikannya terlihat berperangai buruk, temperamen, dan tidak punya sopan santun. Seandainya tadi malam saya datang bukan sebagai tamu, mungkin sudah saya kasih pelajaran orang itu. Terus apa yang bisa saya lakukan untuk membantu temanmu itu?”
Asih: “Mengeluarkannya dari tempat itu, Pak.”
Dr. Liu: “Bisa. Sangat bisa saya lakukan, tapi dalam hal ini, saya masih belum punya wewenang untuk melakukannya. Ada pihak-pihak yang harusnya mau mengurusnya, PT yang memberangkatkannya, atau pihak kedutaan besar. Bagaimanapun ia terikat kontrak dengan majikannya, sebagai orang yang ada di luar mereka, saya pikir saya akan sulit melakukannya walaupun kemungkinannya tetap ada. Namun, entahlah, saya sedang memikirkan solusinya. Coba saya bicarakan sama teman saya nanti, siapa tahu ia bisa membantunya.”
Asih: “Ia benar-benar menderita. Kemarin waktu saya bertemu di luar, ia menceritakan semuanya. Ia sedang bersama majikannya untuk membeli obat, sementara majikannya lengah ia pura-pura ke toilet karena menyadari saya sedang ada di sana, kebetulan saya bertemu dengannya. Ia memohon kepada saya untuk bisa membantunya. Ia inginnya melaporkan perlakuan majikannya itu ke pihak PT yang memberangkatkannya, sayangnya ponsel yang ia punya diambil majikannya dan dirusak. Jadi, ia sama sekali tidak bisa berkomunikasi dengan siapa pun, makanya saya berinisitaif mengiriminya ponsel lewat bapak. Tapi, sampai saat ini ia tidak menghubungi saya. Entah apa yang telah terjadi dengannya.”
Dr. Liu: “Saya sangsi ponsel itu sampai ke tangannya, Sih. Dari caranya memperlakukan temanmu itu, saya yakin titipan itu ia buka dulu sebelum dikasih temanmu.”
Asih: “Sepertinya begitu, Pak. Tapi, mudah-mudahan sesuatu yang buruk tidak terjadi padanya.”
Dr. Liu: “Kita berdoa saja, Sih. Berharap temanmu itu bisa keluar secepatnya dari situ. Saya pikir itu bisa saja terjadi kalau saja temanmu itu berani melapor. Sayangnya, kalau situasinya seperti itu, temanmu itu mana bisa lapor. Keluar rumah pun dalam pantauan majikannya, tanpa alat komunikasi pula. Ini sulit. Benar-benar sulit, Sih.”
CUT TO …
INT. Ruang bawah tanah. Kandang anjing. Dua ekor anjing menyalak.
Irianti sedang merintih. Pakaiannya koyak di sana-sini. Wajahnya lebam biru, bibirnya tampak berdarah. Kedua kelopak matanya tampak bengkak. Ia meringkuk di atas selembur kardus. Lampu ruangan redup.
Irianti (V. O): “Tuhan, bila saya tak diizinkan untuk bisa keluar hidup-hidup dari tempat ini, saya mohon, matikan saya malam ini juga. Saya sudah tidak kuat lagi. Maafkan saya Tuhan. Saya sudah benar-benar tidak tahan lagi.”
FREEZE