Username/Email
Kata Sandi
Alamat Email
Kata Sandi
Jenis Kelamin
JUDUL : SUMPAH DI BAWAH LANGIT PASAR
PENULIS : RANA KURNIAWAN
EXT. PASAR GUNUNG KENCANA – PAGI
Matahari belum tinggi, tapi pasar sudah penuh sesak.
Pedagang, pembeli, santri, dan warga kampung berdiri melingkar di tengah lapangan pasar.
Udara tegang, seolah angin pun enggan berhembus.
Di tengah kerumunan berdiri Rana, didampingi Risa dan Topan.
Wajah mereka tegas tapi lelah.
Di sisi lain, Gopur berdiri dengan senyum licik, sementara Lurah Jaya datang dengan rombongan aparat kelurahan.
LURAH JAYA (suara lantang)
Hari ini kita buktikan siapa yang benar!
Rana dituduh memakai pengasihan dan menolak pembangunan pasar.
Kalau dia berani, biar dia bersumpah di depan warga.
Kerumunan bersorak campur bisik-bisik.
Suara “setuju!” terdengar dari berbagai arah.
RISA (berbisik ke Rana)
Mas, jangan lakukan ini kalau mereka cuma mau mempermalukan.
RANA (menatap lembut)
Kalau ini cara menegakkan kebenaran, biarlah semua melihat.
Allah tahu siapa yang berdusta.
---
INT. PONDOK PESANTREN – PAGI
Sementara itu, Ustad Hudri berjalan cepat keluar pesantren.
Beberapa santri — Erwin, Sari, Rita, dan Santi — mengikutinya dengan langkah tegas.
ERWIN
Kyai, pasar sudah ramai!
Mereka paksa Rana bersumpah di depan semua orang!
USTAD HUDRI (pelan tapi tajam)
Kalau kebenaran diuji dengan sumpah, biarlah sumpah itu jadi saksi langit.
Kita ke sana.
---
EXT. PASAR GUNUNG KENCANA – BEBERAPA MENIT KEMUDIAN
Ustad Hudri tiba di tengah kerumunan.
Orang-orang langsung memberi jalan, suasana hening seketika.
Bahkan Lurah Jaya sedikit gugup, tak menyangka ustad itu datang.
USTAD HUDRI (tegas)
Assalamu’alaikum, warga Gunung Kencana!
WARGA SERENTAK
Wa’alaikumussalam, Kyai!
Ustad Hudri naik ke atas meja kayu di tengah lapangan agar semua bisa melihatnya.
USTAD HUDRI (lanjut)
Aku dengar hari ini seseorang dituduh memakai ilmu pengasihan dalam dagang.
Aku ingin tanya pada kalian semua…
Apakah kalian pernah lihat Rana menipu, mengurangi timbangan, atau mengambil hak orang lain?
Suara warga terdengar pelan-pelan menjawab,
“Tidak, Kyai… dia jujur…”
Suasana perlahan berubah — dari amarah menjadi ragu.
LURAH JAYA (menahan diri)
Tapi Kyai, banyak saksi bilang dagangannya selalu laku tidak wajar. Itu bisa jadi…
USTAD HUDRI (menatap lurah tajam)
Laku karena jujur, bukan karena jampi.
Rezeki bukan datang dari sihir, tapi dari hati yang bersih.
Jangan remehkan kekuatan doa dan keikhlasan, Lurah.
Gopur gelisah, menatap lurah dengan wajah tegang.
---
EXT. TENGAH PASAR – SIANG
Rana maju ke depan.
Ia berdiri di tengah kerumunan, mengangkat tangan ke langit.
Suaranya bergetar, tapi matanya penuh keyakinan.
RANA (lantang)
Demi Allah yang Maha Melihat,
aku tidak pernah memakai ilmu pengasihan, tidak pernah menipu,
dan tidak pernah melawan pembangunan yang adil.
Kalau aku berdusta, biarlah rezekiku kering dan namaku hancur.
Kerumunan terdiam.
Angin berhembus pelan, menerpa wajah semua orang.
Risa menunduk, menangis haru.
Ustad Hudri mengangkat tangan, menatap langit.
USTAD HUDRI (lirih)
Ya Allah, Engkau Maha Mengetahui hati-hati kami.
Tunjukkanlah siapa yang jujur, dan siapa yang menebar fitnah.
---
EXT. PASAR – BEBERAPA DETIK KEMUDIAN
Tiba-tiba, suara gemuruh terdengar dari kejauhan —
atap tenda proyek sementara yang dibangun oleh pihak Lurah roboh tertiup angin.
Orang-orang terkejut, sebagian berlari menyingkir.
Gopur terpeleset, hampir tertimpa papan kayu.
Warga heboh, tapi Ustad Hudri tetap tenang.
USTAD HUDRI (tegas, lantang)
Itu bukan kutukan, bukan juga mujizat.
Itu tanda — bahwa kebohongan tak akan berdiri lama.
Semua mata beralih ke arah Lurah Jaya, yang kini menunduk pucat.
Gopur mencoba pergi diam-diam, tapi warga mulai menatapnya curiga.
PEDAGANG 1
Kita yang salah… kita nuduh orang jujur.
PEDAGANG 2 (menangis)
Astaghfirullah… maafkan kami, Rana!
Risa menutup wajahnya, menangis bahagia.
Rana menunduk pelan, bersyukur dalam diam.
---
EXT. PASAR GUNUNG KENCANA – SORE
Ustad Hudri berdiri di tengah kerumunan, memberi nasihat terakhir.
Suara lembutnya mengalun di antara bayangan senja.
USTAD HUDRI
Ingat, warga semua…
Rezeki itu bukan hasil tipu daya,
tapi hadiah dari kejujuran.
Kalau pasar ini ingin berkah,
jangan biarkan fitnah dan serakah berjualan di dalamnya.
Orang-orang menangis dan berpelukan.
Rana memeluk Risa, Topan menunduk haru.
Bahkan beberapa aparat kelurahan ikut terisak.
---
INT. KANTOR LURAH – MALAM
Lurah Jaya duduk sendiri, memandangi berkas proyek yang kini basah karena hujan.
Telepon dari investor berdering — tapi ia tak mengangkat.
Ia menatap foto pasar di mejanya, lalu menunduk lama.
LURAH JAYA (lirih)
Mungkin… aku yang salah.
---
EXT. PASAR GUNUNG KENCANA – MALAM
Langit cerah.
Pasar diterangi lampu minyak dan obor kecil.
Suasana tenang, seperti disucikan kembali.
Rana dan Risa duduk di depan lapak mereka yang kini dikelilingi pembeli setia.
Topan datang membawa kopi dan tersenyum.
TOPAN
Pasar udah balik kayak dulu lagi. Tapi entah kenapa… rasanya lebih damai.
RANA (tersenyum)
Karena hari ini, bukan cuma dagangan yang kita jual…
tapi kejujuran yang akhirnya dipercaya lagi.
RISA (menatap langit)
Dan mungkin… itulah pengasihan yang sebenarnya.
---
NARASI (VO – USTAD HUDRI):
> “Fitnah bisa membakar,
tapi doa bisa meneduhkan.
Keadilan bukan tentang siapa yang berkuasa,
tapi siapa yang tetap jujur saat semua orang tergoda.”
---
FADE OUT