Halaman Author
Kontrol semua karyamu pada halaman author, kamu bisa memublikasikan karya baru atau mengatur karyamu dengan mudah dalam satu tempat.
Romantika Cinta Dinar 1 (Script Film)
Suka
Favorit
Bagikan
14. #14 Scene 110 - 114

 

110. EXT. RUMAH MARNI, TERAS DEPAN & HALAMAN DEPAN – SIANG

 

Marni sedang duduk di kursi goyang sambil dengan suara pelan membaca puisi karya Khalil Gibran.

Anakmu bukan milikmu.

Mereka putra-putri Sang Hidup yang rindu pada dirinya sendiri.

Lewat engkau mereka lahir, namun tidak dari engkau,

Mereka ada pada engkau, tapi bukan hakmu.

Berikan mereka kasih sayangmu, tapi jangan sodorkan bentuk pikiranmu,

Sebab pada mereka ada pikiran tersendiri.

Patut kau berikan rumah untuk raganya, tapi tidak untuk jiwanya,

Sebab jiwa mereka adalah penghuni rumah masa depan,

Yang tiada dapat kau kunjungi, sekalipun dalam impian

Kau boleh menyerupai mereka,

Namun jangan membuat mereka menyerupaimu.

Sebab kehidupan tidak pernah berjalan mundur,

Pun tidak tenggelam di masa lampau.

  

Kemudian tampak Marni terdiam. Ia merenungi dengan sungguh-sungguh makna isi dari puisi itu. Lalu...

 

MARNI

(lirih)

Ah Dinar, maafkan Ibu, Nak. (wajahnya tampak sendu, penuh penyesalan) Aku bersalah, sangat bersalah, telah memaksamu agar kau mau kembali menjalin cinta dengan Riko. Ucapan Ayahmu benar, Din, sekalipun aku Ibu kandungmu, tak berhak aku melakukan hal itu. Apalagi aku ini hanya Ibu tirimu. Sekarang baru benar-benar aku sadari, sikapmu menentang kehendakku adalah benar, Din. Sangat benar. Kau sudah dewasa, bukan saatnya aku mencampuri urusan pribadimu terlalu dalam…

 

Tampak Marni kembali terdiam. Pandangannya kosong, menerawang ke depan. Kemudian terdengar sebuah suara menyapa (itu suaranya Dinar).

 

DINAR (S.O.)

Assalamu’alaikum…

 

 

Marni menggeragap kaget dan sontak menatap ke sumber suara.  POV Marni: di luar pagar tampak Dinar. (Kemudian tampak Marni tertegun, seperti tak percaya dengan penglihatannya. )

 

DINAR

Boleh saya masuk, Bu?

 

Marni lepas dari tertegunnya, lalu merentak berdiri dari kursi goyang dan beranjak  ke arah pintu pagar. Dibukanya pintu pagar itu lebar-lebar dan kontan Dinar menghambur memeluk Marni. Dan kedua wanita itu pun saling berpelukkan erat melepas rindu, seakan sudah sangat lama keduanya tidak berjumpa. 

 

DINAR

(tersendat)

Ibu, maafkan saya…

 

MARNI

(tersendat)

Oh Din, maafkan juga aku…

 

Kemudian setelah saling melepas pelukkan, Dinar dan Marni melangkah berdampingan ke teras, lalu duduk berdampingan di kursi yang ada di teras depan itu. Dan Dinar langsung curhat.  

 

DINAR

(sendu)

Ibu, sekali lagi maafkan saya. Nesehat Ibu ternyata benar, Mas Rian bukanlah lelaki yang baik seperti dugaan saya.

 

MARNI

(heran)

Ada apa sesungguhnya dengan Rian, Din?

 

DINAR

(sendu dan air mata mulai membasai pipinya)

Mas Rian ternyata punya masa lalu yang kelam, Bu. Dia menghamili pacarnya, Tini. Dan sekarang Mas Rian akan menikahi Tini, karena anak Tini yang benihnya  berasal dari Mas Rian itu sudah agak besar, sedang Tini terjangkit AIDS.

 

Mendengar penuturan Dinar ini, kontan wajah Marni murung, matanya berkaca-kaca, bahkan air mata itu hampir bergulir, tapi ia menahannya. Ia segera menyadari, padanyalah sekarang Dinar bergantung.

 

 

 

 

MARNI

(sendu)

Oh Din, tak kusangka akan sedih seperti ini kisah cinta yang harus kau lakoni. (jeda)  Kamu harus tabah ya Din, menghadapi cobaan ini.Jangan terlampau bersedih. Kau masih muda. Masa depanmu masih panjang. Masih ada beribu cinta untukmu.

 

Dinar mengangguk sambil mengusap air mata yang membasahi pipinya.

 

DINAR

Ibu, bolehkah saya minta bantuanmu?

 

MARNI

(matanya sedkit melebar)

Tentu saja boleh. Bantuan apa itu, Din?

 

DINAR

Saya ingin menemui Kak Riko, saya mau minta maaf padanya. Siapa tahu masih ada cinta di hati Kak Riko untuk saya. Maukah Ibu menemani saya untuk bertandang ke rumah Kak Riko?

 

Marni terdiam. Ia nampak menahan nafas. Wajahnya kembali sedikit murung.

 

DINAR

(curiga, menyelidik)

Kenapa Ibu terdiam?

 

Marni melepas nafas perlahan-lahan.

 

MARNI

(lirih)

Lebih baik kamu nggak usah mengharapkan cinta dari Riko lagi, Din.

 

DINAR

(memotong/memburu)

Kenapa, Bu?

 

MARNI

(tersendat)

Karena… karena… (kemudian  suaranya mengambang) sekarang Riko sudah menjalin cinta dengan bekas teman SMAmu, Asri…

 

DINAR

(memotong, tak sabar)

Dari mana Ibu, tau?

 

 

MARNI

Riko yang mengatakannya padaku, waktu aku berobat ke klinik tempat Riko bekerja.

 

DINAR

(berseru lirih)

Oh… (kemudian  mendadak tubuhnya lemas, lalu perlahan-lahan tubuh itu terkulai; tapi sebelum tubuh itu terjatuh, Marni telah merentak berdiri dari duduk dan menahannya.)

 

MARNI

(cemas dan sambil menepuk-nepuk pipi Dinar)

Dinar… Dinar…

 

Dinar membisu. Matanya terpejam. 

 

MARNI

(panik dan berteriak)

Mbok…! Mbokiah…!

 

Tergesa Mbokiah datang menghampiri.

 

MBOKIAH

(cemas)

Ada apa, Jeng?

 

MARNI

Bantu aku, Mbok, membopong Dinar masuk ke kamar.

 

Kemudian dengan sekuat tenaga dua wanita paro baya itu membopong tubuh Dinar masuk ke

 

CUT TO

 

111. INT. RUMAH MARNI, KAMAR MARNI – SIANG

 

Dalam keadaan pingsan, tampak Dinar sudah terbaring di tempat tidur. Lalu tampak

Mbokiah mengambil minyak kayu putih dari atas meja rias dan segera mengoleskannya di kening dan pelipis Dinar. Sedang Marni mengambil kipas di lemari dan segera pula mengipas-ngipasi Dinar.

  

Beberapa jenak kemudian mata Dinar perlahan-lahan terbuka.  

 

DINAR

(sorot matanya kosong, mengimpi)

Aku ada di mana ini?

 

 

Marni menaruh kipas di samping Dinar, kemudian mengusap-usap kening Dinar.

MARNI

Dinar, kamu ada di kamarku, Nak.

 

DINAR

(sendu)

Aku ingin pulang, Bu. Aku ingin ketemu Ayah.

 

MARNI

Ya, ya, kamu pasti pulang. Tapi tunggu sebentar. Aku akan menelpon ke kantor Ayahmu dulu, ya?

 

Dinar tidak menyahut. Matanya perlahan-lahan kembali memejam.

 

MARNI

(ke Mbokiah)

Mbok, tolong kipasi Dinar, ya? Saya mau buatkan teh manis untuk Dinar sekalian telpon ke kantor Ayahnya.

 

MBOKIAH

Baik, Jeng.  (lalu mengambil kipas dan mengipas-kipasi Dinar. Sedang Marni mengambil HP yang ada di atas meja rias, lalu keluar dari kamar menuju ke)

 

CUT TO :

 

112. INT. RUMAH MARNI, DAPUR – SIANG

 

Tampak Marni sedang mengaduk-aduk gula yang ada di dalam gelas yang telah berisi air teh, sedang tangan kirinya menggenggam HP yang ditempelkan di telinga kiri.

 

MARNI

Mas Pranoto, Dinar pingsan di rumah saya. (jeda) Ya, syukur kalau Mas Pranoto bisa mengerti, kenapa Dinar sampai jatuh pingsan (jeda) Ya ya Mas, kedatangan Mas Prantoto memang sangat ditunggu oleh Dinar. 

 

 CUT TO

 

 113. INT. RUMAH MARNI, KAMAR MARNI – SIANG

 

Dinar sudah siuman, tapi masih terbaring di tempat tidur. Sedang Pranoto dan Marni berdiri berdampingan di sisi tempat tidur. Tampak Pranoto sedang mengusap-usap jilbab yang kenakan Dinar dengan penuh kasih sayang.

 

 

 

PRANOTO

Sudah, nggak usah sedih. Putus cinta, gagal cinta bagi anak muda itu biasa. Yang sudah tua, sudah berkeluarga bisa gagal, bisa bercerai, Din. Apalagi masih dalam taraf pacaran…

 

MARNI

Benar Din, bercerminlah ke aku.

 

Dinar tidak menyahut dan tampak air mata kembali menetes di pipinya.

 

PRANOTO

(mengusap lembut air mata di pipi Dinar)

Lho, kok malah nangis…

 

Dinar sesenggukan.  Sedang Marni melangkah dua tindak agar lebih dekat lagi ke tempat tidur. Dan saat ia hendak membungkuk untuk merangkul Dinar, Dinar sudah lebih dulu bangkit dari berbaringnya dan langsung merangkul Marni dan di dada Marni itulah tangisnya pecah. Dengan kasih sayang Marni membelai-belai kepala Dinar yang ditutup jilbab. Dinar merasakan kedamaian dan tampak wajahnya sudah tidak terlalu sedih.

 

CUT TO

 

114. INT. RUMAH MARNI,  RUANG KELUARGA – SORE

 

Tampak Dinar, Pranoto dan Marni sedang duduk santai. 

 

PRANOTO

(sambil melihat arloji)

Wah nggak terasa sudah sore, sudah jam 4. Sudah waktunya pulang, nih. (ke Dinar) Kamu ikut pulang kan?

 

DINAR

(mengajuk)

Mau. Tapi, Ibu juga harus ikut pulang ke rumah kita. Saya ingin, kita berkumpul lagi seperti dulu.

 

Pranoto dan Marni tidak bereaksi dan Dinar menunggu. Sejak ruang keluarga itu hening.

 

DINAR

(ke Marni, penuh pengharapan)

Mau ya, Bu?

 

 

Sedikit ragu dan malu-malu Marni menatap Pranoto. Dan Pranoto dengan tegas mengangguk. Kemudian tampak Marni  menghela nafas lega.  

    

MARNI

(pasti)

Ya, mau.

 

Dengan merentak Dinar kembali memeluk Marni yang duduk di sampingnya. Wajahnya pun berseri-seri (duka karena gagal bercinta sudah tidak tampak lagi di wajahnya.)

 

CUT TO

 

Anda harus login atau daftar untuk mengirimkan komentar
Komentar (0)