Username/Email
Kata Sandi
Alamat Email
Kata Sandi
Jenis Kelamin
99. EXT. ANCOL, PANTAI MARINA – PAGI
Jam 10 pagi, pengunjung Pantai Marina tidak terlalu banyak (bukan waktu libur.) tampak Rian dan Tini berdiri berdampingan, menatap laut lepas. Keduanya membisu, masing-masing sulit untuk memulai bicara. Sesaat kemudian, baru Rian yang memulai bicara.
RIAN
Well Tini, sekarang ceritakan semua liku-liku hidupmu, hingga kau bisa sampai di Jakarta dan bekerja di panti pijit tradisional itu.
TINI
(tersenyum hambar)
Mana mungkin aku akan bercerita, kau belum membayar uang bookingku.
RIAN
(menyela)
Oh maaf, maaf.
Rian membuka tas punggungnya, lalu mengeluarkan amplop berisi uang dan menyerahkannya pada Tini. Dan Tini menyambuti, lalu menghitung jumlah uang itu. (duapuluh lembar uang seratusribuan, berarti pas dua juta rupiah.) Lalu Tini mengipas-ngipaskan uang itu.
TINI
Tidak menyesal?
Rian menggeleng tegas.
TINI
Oke. Sebelum bercerita, aku mau bertanya dulu. Bagaimana kau bisa tau aku bekerja di panti pijit tradisional itu?
Rian tersenyum tipis.
RIAN (V.O.)
Ah Tini, ternyata kau masih kritis seperti dulu, walau kini kau berkubang di lembah dosa!
RIAN
(tegas)
Sebelumnya maafkan aku , Tin. Sesungguhnya akulah yang telah menyerempetmu, hingga kau harus masuk rumah sakit.
TINI
(ternganga, seakan tak percaya)
Ha...?
RIAN
(menyesal)
Maafkan aku, Tin. Ketika itu aku memang jadi pengecut, meninggalkanmu begitu saja.
TINI
(tersenyum mengejek)
Sejak dulu kau memang pengecut! Tapi, kesungguhanmu sekarang ini untuk mendengarkan semua liku-liku hidupku, menandakan kau telah berubah. Karena itu, aku memaafkanmu.
Spontan Rian mencekal kedua lengan Tini dan menguncang-guncangkannya.
RIAN
(riang)
Oh, terima kasih Tin, terima kasih…
Tini diam, membisu, tak bereaksi. Dan hal ini membuat Rian jadi merasa malu. Lalu perlahan-lahan ia melepaskan cekalannya pada kedua lengan Tini.
Kemudian tampak Tini menghela nafas panjang, pandangannya menerawang jauh ke depan, ke laut tak bertepi. Lalu mulai bercerita.
TINI
Pernikahanku dengan Pak Barjo tak bahagia…
RIAN
(menyela)
Sudah kuduga…
Tini tak menghiraukan, ia terus bercerita.
DISSOLVE TO
100. INT. RUMAH PAK BARJO DAN TINI, KAMAR – MALAM
Tini dan Pak Barjo selesai bercinta di ranjang, tampak wajah Pak Barjo sangat kecewa.
TINI (V.O)
Karena dia tahu kalau aku sudah tidak perawan di malam pertama itu. Dan hanya sekali itu dia menggauliku.
CUT TO
Di dalam kamar Pak Barjo menampar Tini, lalu berangkat tidur, sedang Tini berdiri di samping tempat tidur sambil menangis sesenggukan.
TINI (V.O.)
(lanjutan)
Di malam-malam berikutnya, dia selalu menyiksaku, terlebih lagi ketika aku mulai hamil, sebab dia yakin benih itu bukan dari dirinya…
CUT TO
Di dalam kamar tampak dengan wajah beringas Pak Barjo mengusir Tini, sedang Tini tampak wajahnya sangat sedih dan perutnya tampak mulai membuncit. Kemudian tampak Pak Barjo tidur pulas, sedang Tini mengemasi pakaiannya ke dalam tas ukuran cukup besar, lalu tampak Tini keluar dari rumah pak Barjo. (cut to) Tampak kesibukkan di pelabuhan dan Tini tampak ada di sana.
TINI (V.O.)
(lanjutan)
Dan ketika kehamilanku sudah empat bulan, Pak Barjo mengusirku. Malam itu juga diam-diam aku mengemasi pakaianku dan pagi-pagi sebelum adzan subuh berkumandang aku sudah meninggalkan rumah Pak Barjo menuju ke pelabuhan.
DISSOLVE TO
101. EXT. ANCOL, PANTAI MARINA – SIANG
Matahari mulai meninggi, tampak Rian dan Tini masih berdiri berdampingan. Wajah keduanya tampak sendu.
DISSOLVE TO
102. EXT/INT. JAKARTA , PELABUHAN TANJUNG PRIOK &PEMUKIMAN PADAT / SEBUAH RUMAH SEDERHANA – SIANG
Hiruk pikuk dan keramaian di pelabuhan (camera movement) kemudian tampak pemukiman padat, lalu tampak Tini memasuki halaman sebuah rumah yang sederhana. (cut to) Tampak Tini dan tuan rumah (sepasang suami istri paro baya) berbincang-bincang dengan akrab di ruang tamu.
TINI (V.O.)
(lanjutan)
Di Jakarta aku numpang di rumah saudara jauh dan beruntung tuan rumah, Tante Tari dan Oom Tori menerima kehadiranku dengan baik.
CUT TO
Tampak Tini sedang melahirkan dengan bantuan seorang bidan
TINI (V.O.)
(lanjutan)
Ketika saatnya aku melahirkan, persalinanku hanya dibantu oleh seorang bidan, karena kebetulan tetangganya Tante Tari ada yang bidan. Dan bidan itu yang memberi nama anakku dengan nama Dino, singkatan dari “dia nongol...”
CUT TO
103. INT. RUMAH (YANG BAGUS), RUANG TAMU – PAGI
Tini dengan mengenakan pakaian yang sederhana (ala pembantu) sedang menyapu lantai. Kemudian muncul nyonya rumah dan bicara ramah pada Tini.
TINI (V.O.)
(lanjutan)
Setelah anakku berumur satu tahun, aku mulai mencari kerja. Tapi dengan hanya berbekal ijasah SMA, tak ada perusahaan yang menerimaku. Maka terpaksa aku bekerja sebagai pembantu rumah tangga di rumahnya Pak Gragal. Dan nasib baik kembali menyertaiku, karena Bu Neni, istrinya Pak Gragal, sangat baik, memberi aku gaji yang cukup besar, hingga sebagian gaji itu bisa aku tabung.
CUT TO
104. EXT. RUMAH PETAK KONTARAKAN TINI, TERAS DEPAN - PAGI
Tampak dengan wajah ceria Tini melepas anaknya, Dino berangkat ke sekolah.
TINI (V.O.)
(lanjutan)
Dengan uang tabungan yang cukup besar, Alhamdulillah, ketika Dino berumur 6 tahun, aku mulai bisa hidup mandiri dengan mengontrak rumah petak dan sekaligus bisa memasukkan Dino sekolah di SD.
CUT TO
105. INT. RUMAH SAKIT - SIANG
Tampak dengan wajah sedih Tini memandangi Dino yang sedang terbaring sakit dengan selang infus menancap di tangan kanannya. Kemudian muncul Pak Gragal dan bicara serius dengan Tini, lalu tampak Tini mengangguk-angguk, tanda setuju.
TINI (V.O.)
(lanjutan)
Tapi nasib malang kemudian menimpaku. Dino terserang tipus dan harus dirawat di rumah sakit. Karena biaya perawatan Dino di rumah sakit sangat mahal, aku tak mampu mambayarnya. Kemudian Pak Gragal mau membantu kesulitanku, tapi dengan syarat, aku harus mau pindah kerja ke panti pijit tradisional. Karena tak ada pilihan lain, terpaksa aku mau menerima tawaran dari Pak Gragal itu. Dan di belakang hari aku pun tahu, bahwa profesi Pak Gragal adalah mucikari. Dan sejak saat itu pula hidup dan kehidupanku penuh luka dan dosa...
DISSOLVE TO
106. EXT. ANCOL, PANTAI MARINA – SIANG
Rian dan Tini masih berdiri berdampingan, tapi kini wajah keduanya tampak sangat sedih, bahkan Tini berurai air mata.
Kemudian tampak Rian menghela nafas panjang.
RIAN (V.O.)
Tini, aku ikut andil, hingga kamu tersuruk ke dalam duka derita yang berkepanjangan. Karena itu sudah seharusnya Tin, aku membebaskanmu dari cengkraman duka ini. Harus! (sesaat Rian terdiam, tampak merenung, ia teringat pada Dinar.) Lalu bagaimana ya, dengan Dinar? (jeda) Ah, terpaksa aku harus memutuskan ikatan cinta, sekaligus menggagalkan rencanaku meminang Dinar, karea Dinar belum pernah aku sentuh, ia masih gadis yang suci. Sedang Tini? Oh…! Tini telah punya anak yang benihnya berasal dari aku!
Kemudian Rian mengusap wajah dengan telapak tangannya, tampak rasa sesal yang dalam tergambar di wajahnya.
RIAN
Tin, aku ingin kembali memilikimu seutuhnya. Aku ingin menikah denganmu, Tin.
TINI
(sendu)
Tidak Rian, itu tidak mungkin! Karena aku bukanlah Tini yang dulu lagi.
RIAN
(tegas)
Aku tahu Tin, aku sadar. Ragamu bukanlah Tini yang dulu. Tapi jiwamu, hatimu, tetaplah Tini yang dulu. Terlebih kini kau punya anak yang lahir dari benihku!
Tini tidak kuasa untuk menjawab, ia hanya menggeleng-gelengkan kepala. Air mata makin deras meleleh membasahi pipinya.
RIAN
(penasaran)
Kenapa, Tin. Ada apa sesungguhnya?
Sejenak Tini masih terdiam. Lalu berkali-kali menghela nafas panjang.
TINI
(lirih, tapi tandas)
Aku sudah terjangkit penyakit AIDS!
Pengakuan ini membuat Rian tampak tersentak, sangat kaget. (Ia tak menduga sudah sejauh itu luka dan derita yang dialami Tini. Dan rasa iba serta sayangnya pada Tini justru semakin dalam. Tak ada sedikitpun niatannya untuk mundur, tekadnya untuk memperistri Tini justru semakin bulat! Sebagai wartawan yang banyak membaca, menulis dan berfikir, ia segera tahu, jalan terbaik untuk memecahkan kemelut duka yang membelenggu hidup dan kehidupan Tini saat ini.)
RIAN
(sangat tegas)
Tini, kalau begitu kita memang harus segera menikah. Harus, Tin! Kau harus segera keluar dari belenggu duka ini!
Melihat kesungguhan Rian, Tini tampak terharu dan bahagia. Dan air mata masih deras mengalir membasahi pipinya.
TINI
(tersendat)
Oh terima kasih, Rian. Sungguh kau sangat baik hati.
RIAN
Simpan pujian itu, Tin. Pujian itu bukan untukku, tapi untukmu. Telah kau korbankan dan kau pertaruhkan seluruh jiwa dan ragamu, demi kelangsungan hidup anak kita. Sedang aku? Oh… (kemudian Rian menutup wajah dengan kedua telapak tangannya. Ia merasa malu pada diri sendiri. Begitu besar kesalahan yang telah ia lakukan pada Tini dan anaknya)
RIAN (V.O.)
(tegas)
Sekarang saatnya aku menebus semua kesalahan itu!
RIAN
(melanjutkan dengan suara parau)
Sekali lagi maafkan aku, Tin. Maafkan semua kesalahanku di masa lalu. Sekarang, ayo kita tinggalkan Pantai Marina ini. Aku ingin ke rumahmu, Tin. Aku ingin melihat anakku.
Mendengar ucapan Rian yang terakhir ini, bahagia Tini sampai pada puncaknya. Maka, tak ada lagi kata-kata yang dapat ia ucapkan. Spontan ia menghambur memeluk Rian. Dan di dada Rian yang bidang ia menangis sesenggukkan. Dan dengan penuh kelembutan dan kasih sayang, Rian membelai-belai rambut Tini.
CUT TO