Username/Email
Kata Sandi
Alamat Email
Kata Sandi
Jenis Kelamin
44. RUMAH DINAR, RUANG MAKAN – MALAM
Makan malam baru selesai, tampak wajah ibu (Marni) cemberut, wajah Dinar tegang dan Ayah (Pranoto) curiga.
PRANOTO
(melap mulut dengan tisu)
Ada apa ini? (menatap Marni dan Dinar berganti-ganti) Kenapa kalian berdua seperti bermusuhan?
Marni menghela nafas, lalu melirik Dinar dengan ekspresi kesal.
MARNI
(kaku)
Tadi siang aku minta Dinar untuk memutuskan hubungan cintanya dengan Rian, lalu kembali mau menerima cinta Riko.
PRANOTO
(heran)
Kenapa tiba-tiba kau meminta Dinar melakukan hal itu, Bu?
MARNI
Tadi siang, waktu aku dan Dinar belanja di Blok M, bertemu dengan Riko dan Mamanya, Ita. Ita memberi tahu, kalau sekarang Riko sudah mulai buka praktek pribadi. Dan aku lihat, Riko itu masih sangat cinta pada Dinar. Jadi aku pikir, lebih baik Dinar memutuskan hubungan cintanya dengan Rian, biar bisa kembali menjalin cinta dengan Riko. Masa depan Riko sebagai dokter jelas lebih menjanjikan, daripada Rian yang hanya wartawan.
PRANOTO
(mengangguk-angguk)
Aku tahu Bu, maksudmu baik. Dokter memang profesi yang lebih mentereng daripada wartawan. Tapi kita nggak bisa memaksakan kehendak. Ingat, Dinar sudah dewasa. Biar dia menentukan sendiri calon pendamping hidupnya. Sebagai orangtua seharusnya kita hanya tutwuri handayani.
Mendengar pembelaan ayahnya, Dinar merasa lega. Tapi hal itu hanya sesaat. Karena dengan tiba-tiba Marni berucap dengan menghentak.
MARNI
(meradang)
Tidak bisa! Aku Ibunya, aku yang merawatnya sejak bayi. Sudah seharusnya dia mau menuruti kemauanku. Kalau bukan aku yang merawat, belum tentu dia bisa hidup sampai sebesar sekarang.
PRANOTO
(tegas)
O, o, tidak bisa kau bicara seperti itu, Bu. Ibu kandungnya saja akan aku tentang kalau bicara seperti itu. Apalagi kau hanya sebagai Ibu tiri.
Mendengar penuturan ayahnya, di tempat duduknya Dinar terhenyak.
DINAR (V.O.)
Jadi Ibu yang selama ini merawat dan membesarkanku hanya Ibu tiri?! Lantas di mana Ibu kandungku? Di mana…??
Dinar berdiri dari duduk, kemudian merentak berlari ke
CUT TO
45. INT. RUMAH DINAR, KAMAR DINAR – MALAM
Dinar menghempaskan diri di tempat tidur dan dalam posisi telungkup ia menangis sesenggukan.
DINAR (V.O.)
Oh Tuhan, kenapa begitu dahsyat prahara yang menderaku ini…??
CUT TO
46. INT. RUMAH DINAR, RUANG MAKAN – MALAM
Tampak Marni merentak berdiri, lalu dengan tajam menatap Pranoto
MARNI
(marah)
Kau telah mengingkari perjanjian di awal pernikahan kita dulu, Mas. Aku jadi muak melihatmu. Muaakk!
Dengan merentak Marni pergi meninggalkan Pranoto. Dan Pranoto memandangi punggung Marni dengan tatapan sayu, penuh rasa prihatin.
PRANOTO (V.O.)
Oh, kenapa harus terjadi perselisihan antara Dinar dan Ibu tirinya? Kenapa? Sungguh, hal ini tak pernah kubayangkan bakal terjadi.
CUT TO
47. EXT/INT. RUMAH MARNI, HALAMAN DEPAN & RUANG TAMU – MALAM
Marni berdiri di luar pintu pagar dan tampak di sisi kanan dan di sisi kirinya ada koper yang penuh (berisi pakaian), lalu Marni memencet bel yang ada di samping pintu pagar.
Sesaat menunggu, kemudian:
POV Marni: gorden ruang tamu disibakkan, kemudian tampak wajah Mbokiah (wanita paro baya, pembantu setia Marni), memandang Marni dengan cermat, ia pun segera tahu, bahwa yang datang Marni (majikannya).
Marni melambaikan tangan, Mbokiah mengerti maksud Marni, ia segera membuka pintu, lalu dengan sedikit tergopoh menghampiri Marni.
MBOKIAH
(heran)
Jeng, belum adzan subuh kok sudah datang ke sini, memangnya ada apa?
MARNI
(kesal)
Saya cecok dengan Ayahnya Dinar.
Tampak Mbokiah merasa prihatin, tapi tidak berani berkomentar.
MARNI
Mbok, tolong koper saya di bawa masuk ke dalam ,ya?
MBOKIAH
(mengangguk)
Iya, Jeng.
CUT TO
48. INT. RUMAH DINAR, RUANG TAMU – SUBUH
Berawal dari jam dinding yang menujukkan jam 5 (diiringi dentangan jam lima kali), kemudian tampak Pranoto yang sedang tidur di sofa, lalu ia menggeragap kaget dan kontan menatap jam dinding.
Pranoto mengusap wajah.
PRANOTO (V.O.)
Astaghfirullah, Astaghfirullah. Rupanya aku tertidur di sofa ini.
Pranoto menyibakkan gorden. POV Pranoto: di luar tampak gelap masih membentang.
PRANOTO (V.O.)
Ah, aku belum shalat subuh.
Kemudian tampak Pranoto melangkah (ke arah kamar mandi untuk mengambil air wudhu ).
CUT TO
49. INT. RUMAH DINAR, KAMAR MARNI DAN PRANOTO – SUBUH
Dengan mengenakan bajo koko, sarung dan kopiah warna hitam, tampak Pranoto mengetuk pintu.
PRANOTO
Bu, udah shalat subuh apa belum?
Karena tidak ada jawaban dari dalam kamar, tampak Pranoto penasaran, lalu ia memembuka pintu (ternyata pintu itu tidak terlkunci) dan ketika pintu terbuka, kamar itu kosong (tidak ada Marni). Sesaat Pranoto mengedarkan pandangannya ke sekeliling kamar, lalu tatapannya membentur pada sehelai kertas yang tergeletak di atas pembaringan dengan sprei warna merah hati.
Tampak Pranoto makin penasaran, ia melangkah ke pembaringan, lalu mengambil sehelai kertas itu, yang ternyata: (INSERT FRAME) surat dari Marni. Kemudian tampak Pranoto membaca surat itu.
MARNI (S.O.)
Yth. Mas Pranoto
Mas, bila kau baca surat ini, aku sudah pergi meninggalkan rumah ini. Aku kembali ke rumah pribadiku. Terus terang Mas, pembelaanmu pada Dinar, membuat hatiku terluka. Sangat terluka! Karena hal ini berarti kau telah mengingkari perjanjian di awal pernikahan kita dulu, yang mana: akulah kelak yang berhak menentukan merah – putihnya kehidupan Dinar, karena akulah yang merawatnya sedari dia masih bayi renta, nyaris tanpa daya hidup. Karena Dinar lahir prematur. Tapi kini kau ingkari janjimu itu, Mas. Sungguh, aku sangat, sangat kecewa. Dan rasanya hanya dengan meninggalkan rumah ini rasa kecewaku itu baru akan sirna.
Dari istrimu,
Marni Larasati
Dengan masih memegangi surat dari Marni, kita melihat Pranoto tercenung.
PRANOTO (V.O.)
Ah Marni, rupanya kau salah menafsirkan perjanjian di awal pernikahan kita dulu. Tapi dengan bergulirnya waktu, semoga kau menyadari kekeliruanmu itu.
Kemudian Pranoto melipat surat itu dan memasukkannya ke kantong baju kokonya. Lalu ia melangkah ke luar kamar menuju ke:
CUT TO
50. INT. RUMAH DINAR, KAMAR DINAR – SUBUH
Pranoto sedang mengintai ke dalam kamar Dinar yang pintunya sudah sedikit terbuka.
POV Pranoto: Dinar sedang berbaring, tatapan matanya kosong menatap langit-langit.
POV Pranoto (perlahan-lahan membuka lebar pintu kamar): Dinar tersentak dari lamunannya dan segera menoleh ke arah pintu. Ketika ia melihat Pranoto masuk ke dalam kamarnya, segera ia bangkit dan duduk di tempat tidur.
DINAR
(menyergah/menuntut)
Ayah, katakan Ayah, siapa Ibu kandung saya yang sebenarnya?
PRANOTO
Kamu sudah shalat subuh
Dinar mengangguk, tampak Pranoto lega.
PRANTO
(lirih dan penuh sesal)
Sebelumnya maaf Dinar, kalau hal ini baru aku katakan sekarang. Bu Marni memang bukan Ibu kandungmu. Tapi dia yang merawatmu sedari kau masih bayi. Sedang Ibu kandungmu, meninggal saat melahirkanmu...
DINAR
(tercekat)
Oh...
PRANOTO
Waktu itu aku bingung, siapa yang mau merawatmu? Untunglah di kantor tempat aku bekerja punya anak buah yang sudah janda dan tidak punya anak, yang mau merawatmu. Dialah Marni. Marni dicerai oleh suaminya karena dia mandul. Dan untuk menghindari fitnah, aku menikahi Marni. Marni bersedia, tapi dengan syarat, aku tidak akan mengungkap bahwa sesungguhnya dia ibu tirimu, sebelum kamu menikah dan punya anak (diam sejenak).
DINAR (V.O)
(sedih)
Oh, tidak pernah aku duga, begitu tajam liku-liku hidup masa kecilku.
PRANOTO
Tapi sekarang terpaksa aku mengungkapnya Dinar, karena tuntutan Marni terhadapmu sudah keterlaluan! Dan rupanya Ibu tirimu itu sakit hati. Dia telah pergi meninggalkan rumah ini. Marni pulang ke rumah pribadinya.
Tampak air mata menetes di pipi Dinar.
PRANOTO
Sudahlah kamu nggak usah menangis. Lupakanlah semua yang telah lalu, karena hal itu tak akan pernah kembali. Dan nggak perlu pula kamu sesali, karena itu sudah takdirmu. Sekarang tataplah masa depan Dinar, karena di sana masih penuh harapan.
Dinar menghapus air matanya.
DINAR
(tegar)
Terima kasih Ayah, atas nasehat yang berharga ini.
Pranoto melangkah dua tindak mendekati tempat tidur, lalu menepuk-tepuk pundak Dinar.
PRANOTO
Aku senang, kamu bisa tegar. Bila ada waktu luang, kamu mesti ziarah ke kubur Ibu kandungmu.
Dinar mengangguk, kemudian mendekap Pranoto dan Pranoto menepuk-nepuk punggung Dinar dengan penuh kasih sayang, kasih sayang seorang ayah terhadap buah hatinya.