Username/Email
Kata Sandi
Alamat Email
Kata Sandi
Jenis Kelamin
96. INT. PANTI PIJIT TRADISIONAL, RUANG DEPAN – SIANG
Tampak Rian berdiri di seberang meja di hadapan petugas penerima tamu (seorang wanita paro baya yang dandanannya menor).
PETUGAS PENERIMA TAMU
(genit)
Mau pijit, Oom?
RIAN
(basa-basi)
Iya. Berapa tarif pijit di sini?
PETUGAS PENERIMA TAMU
Tarif resminya seratus ribu, Oom. Tapi kalau saat dipijit ada transaksi lain, tentu tarifnya lain lagi. Itu terserah si juru pijit.
Rian mengangguk-angguk, mahfum.
RIAN (V.O.)
Omongan temen gue si Dedy ternyata bener, ada sebagian panti pijit tradisional yang dijadikan sarang prostitusi terselubung.
RIAN
Boleh kan saya lihat-lihat dulu foto juru pijit di sini?
PETUGAS PENERIMA TAMU
(semangat)
Boleh, boleh Oom. ( lalu mengeluarkan sebuah album foto dari laci dan menaruhnya di atas meja.)
Rian mengambil album foto itu, lalu ia duduk di kursi plastik yang ada di situ dan membuka lembar demi lembar, mengamati foto-foto juru pijit itu. Sampai lembar ke tiga, ia memandangnya agak lama, (Close Up) foto Tini.
RIAN
(sambil menunjuk ke foto Tini)
Ini. saya mau pakai dia.
PETUGAS PENERIMA TAMU
Oh, si Tini. Kebetulan Oom, hari ini dia mulai tugas lagi. Silakan Oom masuk ke dalam, kamar nomer lima.
CUT TO
97. INT. PANTI PIJIT TRADISIONAL , RUANG DALAM – SIANG
Rian menuruti kata petugas penerima tamu, ia melangkah ke arah ruang dalam, tapi baru empat langkah ada pintu dan di balik pintu itu ada lorong yang cukup panjang dan di kiri kanan lorong itulah terdapat kamar-kamar untuk pijit.
Rian menyusuri lorong dan mengamati, kamar1... dan sampai di kamar 5 ia berhenti, sesaat mengamati pintu dan di pintu itu tertera (Close Up) angka 5. Lalu ia membuka pintu kamar dan masuk ke dalam.
CUT TO
98. INT. PANTI PIJIT TRADISIONAL – KAMAR NOMOR 5 – SIANG
Tampak hanya ada satu tempat tidur kecil dengan sprei warna putih yang sudah sedikit kusam dan satu kursi dari plastik. Lalu Rian duduk di kursi plastik itu sambil senyum-senyum sendiri (karena baru pertama kali ini ia masuk kamar panti pijit tradisional). Sesaat kemudian pintu berderit, lalu tampak seorang wanita (Tini) dengan rambut diurai lepas bahu masuk ke dalam dan menyapa Rian.
TINI
(ramah)
Lho, kok duduk di kursi, Mas. Ayo naik ke atas kasur, saya pijit.
Rian tidak menyahut. Ia berdiri dari duduk dan menatap tajam pada Tini. Tini pun tertunduk.
TINI
(jengah/risih)
Mas mau pijit atau mau menghakimi saya?
RIAN
(tersenyum hambar)
Kau jangan menunduk, Tin. Tataplah aku, tataplah…
Perlahan-lahan Tini mengangkat wajah, lalu dengan berani ia menatap Rian, penuh selidik.
TINI
(berseru pelan)
Rian…
Rian terdiam, tekesima (panggilan Tini itu mengingatkannya pada masa-masa lalunya, masa remaja, masa SMA, masa cinta pertama bersemi, terlebih lagi masa ketika Tini menyerahkan seluruh jiwa raganya dengan sepenuh hati).
RIAN (V.O.)
(mengeluh)
Ah, seandainya pertemuan ini tidak di panti pijit.
TINI
(ringan, tanpa beban)
Kau mau pijit, Rian?
RIAN
(cepat/memotong)
Tidak. Aku hanya ingin ngobrol denganmu. Aku ingin tahu, bagaimana kau bisa berada di Jakarta dan bekerja di panti pijit tradisional ini.
TINI
(tertawa sumbang dan sedikit sinis)
Apa masih perlukah cerita itu untukmu?
RIAN
(cepat/memotong)
Perlu, sangat perlu.
Tini terdiam.
RIAN
(menyelidik)
Kenapa kau terdiam?
TINI
(menatap Rian lekat-lekat)
Kau sungguh-sungguh ingin dengar cerita jalan hidupku hingga aku bisa terdampar di kota megapolitan Jakarta dan bekerja di panti pijit tradisional ini?
RIAN
(tegas)
Ya.
TINI
(tandas)
Kalau begitu kau harus membooking aku keluar dari panti pijit ini.
RIAN
(ternganga)
Hah?
TINI
Kau jangan kaget. Ini Jakarta, Bang. (menggosok-gosokkan jari telunjuk dan ibu jari tangan kanannya) Waktu adalah uang...
RIAN
(tersenyum pahit)
Sudah sejauh itu caramu berpikir, hingga untuk ngobrol saja, aku harus membookingmu keluar dari panti pijit ini?
TINI
(menyeringai)
Kau lupa Rian, di sini aku bekerja sebagai juru pijit. Jadi kalau ada transaksi lain di luar tugas kerjaku, tentu aku harus pasang tarif.
RIAN
(tergagap)
Jadi… jadi… disamping sebagai juru pijit kau…kau juga sebagai (suaranya merendah) pe-la-cur…
TINI
(datar)
Nah, kau sudah tahu profesiku yang sesungguhnya.
Rian terdiam.
TINI
(menantang)
Bagaimana, masih mau kau dengar cerita liku-liku jalan hidupku hingga aku bisa jadi pelacur?
Rian masih terdiam ( tapi kini otak wartawannya bekerja).
RIAN (V.O.)
Hem, liku-liku hidup Tini tentu manarik kalau ditulis dalam bentuk feature!
RIAN
Ya, aku sangat ingin tahu liku-liku kisah hidupmu. Berapa tarif membookingmu?
TINI
Dua juta rupiah. Tigaratus ribu untuk setor ke panti pijit dan sisanya untukku.
RIAN
Semahal itu kau pasang tarif untukku?
TINI
Itu tarif yang aku tentukan. Kalau kau setuju, ayo kita jalan, keluar dari panti pijit ini. Kalau tidak, (mengembangkan kedua belah tangannya lebar-lebar) terserah…
Rian kembali terdiam dan Tini kembali menatap Rian lekat-lekat.
TINI
(menyelidik)
Apa profesimu, Rian?
RIAN
Wartawan.
TINI
Bagus. Kalau begitu nanti bisa kau tulis liku-liku jalan hidupku di koran tempatmu bekerja. Bukankah dalam hal ini kita jadi saling menguntungkan? Jadi kurasa dua juta adalah tarif yang layak kupasang untukmu.
Kembali lagi Rian terdiam ( otak wartawannya kembali bekerja).
RIAN (V.O.)
Ah, tidak! Tidak mungkin aku menulis liku-liku jalan hidup Tini. Kalau hal itu aku lakukan, betapa tololnya aku. Karena hal ini sama saja aku membuka borokku di masa lalu, membuka aibku sendiri!
TINI
(sedikit bercanda dan sedikit mengejek)
Bagaimana Bang wartawan, masih minat mengetahui liku-liku jalan hidupku?
RIAN
(menghela nafas panjang, kemudian berdesah)
Ya ya, aku harus tahu cerita kisah hidupmu. Tapi besok baru aku bisa membookingmu. Hari ini aku nggak bawa uang sebanyak itu.
TINI
Oke. Aku tunggu kau besok di panti pijit ini, lalu kita jalan keluar, ke Ancol, ke Pantai Marina. Setuju?
RIAN
Oke.
CUT TO