Halaman Author
Kontrol semua karyamu pada halaman author, kamu bisa memublikasikan karya baru atau mengatur karyamu dengan mudah dalam satu tempat.
Romantika Cinta Dinar 1 (Script Film)
Suka
Favorit
Bagikan
7. #7 Scene 59 - 66

59. EXT. RUMAH DINAR, TERAS DEPAN & JALANAN DEPAN RUMAH – SIANG

Tampak Pranoto berdiri di teras depan.

POV Pranoto: di jalanan depan rumah Rian sedang menstater sepeda motor. Lalu sepeda motor Rian melaju dan Pranoto melangkah (masuk ke dalam rumah.) 

CUT TO

60. EXT. JALANAN – SIANG

 

Sepeda motor Rian melaju dengan kecepatan sedang. Dan Rian teringat pada kata-kata yang barusan diucapkan oleh Pranoto.

PRANOTO (S.O.)

Dinar cecok dengan Ibunya, karena sesungguhnya Marni itu hanya Ibu tiri. Sedang Ibu kandungnya Dinar meninggal, saat melahirkan Dinar. (jeda) Sekarang Dinar sedang ziarah ke makam Ibu kandungnya.

CUT TO

61. EXT. AREAL PEKUBURAN – SIANG

Tampak Rian memarkir sepeda motornya di areal parkir, lalu ia melangkah ke pekuburan.

POV Rian: Dinar sedang berdoa dengan sangat khusyuk di depan kubur ibu kandungnya. (Terlihat anak-anak rambut Dinar meriap-riap ditiup angin, tapi Dinar membiarkannya.)

Rian telah berada di dekat Dinar, tapi Dinar tidak tahu akan kedatangan Rian. Ketika Dinar selesai berdoa dan akan mengambil bunga setaman yang ada di sampingnya untuk ditaburkan di atas pusara, ada sebuah tangan yang lebih dulu menjangkau bunga setaman itu. Spontan Dinar menatap ke arah si empunya tangan dan Dinar tampak terkejut ketika tahu si empunya tangan itu adalah Rian.       

DINAR

(berseru lirih)

Mas Rian…!

 

Rian tidak myenyahut, tapi ia buka bungkus bunga setaman itu, lalu ia sodorkan pada Dinar—yang segera pula menaburkan bunga itu di atas pusara.

CUT TO

62. EXT/INT. AREAL PEKUBURAN, WARUNG MINUMAN – SIANG 

Tampak Dinar dan Rian berjalan berdampingan meninggalkan pekuburan.

POV Dinar dan Rian: Warung minuman yang sederhana (terbuat dari anyaman bambu), tampak di dinding depannya terpajang spanduk dengan tulisan: “Sedia Aneka Minuman: Es Kelapa Muda, Teh Manis, Kopi DLL”

Dinar dan Rian masuk ke dalam warung minuman, lalu duduk berdampingan di bangku panjang (yang juga terbuat dari bambu). Di hadapan Dinar dan Rian ada meja yang cukup besar dan di atas meja itu diletakkan aneka minuman yang dijual. Ibu (paro baya) penjual minuman berada di seberang meja di hadapan Dinar dan Rian.  

POV Dinar dan Rian: Ibu ( paro baya) penjual minuman menyambut:

IBU PENJUAL MINUMAN

Mau minum apa, Mas?

Tapi Dinar yang dengan cepat menyahut:

DINAR

Es kelapa muda dua gelas, Bu.

Ibu penjual minuman sibuk membuat es kelapa muda pesanan Dinar dan Rian, sedang Dinar dan Rian asyik berbincang.

DINAR

Mas, dari mana kamu tau aku ada di kuburan ini?

RIAN

Tadi aku ke rumahmu. Dan Bapakmu menceritakan semua persoalan yang sedang kamu hadapi.

Ibu penjual minuman menyajikan dua gelas es kepala muda di hadapan Dinar dan Rian. Lalu tampak Dinar dan Rian mengaduk-aduk es kelapa muda itu dengan sendok.

Kemudian Ibu pemilik warung minuman tidak lagi tersorot camera (posisi camera fokus pada Dinar dan Rian.)   

DINAR

Tanggapanmu bagaimana Mas, dengan kisah hidupku itu?

RIAN

(cepat/memotong)

Nggak masalah, Din. Semua itu sudah merupakan takdirmu. Buat apa dipersoalkan. Tak ada orang yang dapat melawan takdir, Din. Tak ada.

DINAR

(menghela nafas lega)

Oh, kamu sangat bijak, Mas. Aku bangga jadi kekasihmu.

RIAN

Aku juga bangga padamu, Din. Kamu bagitu tegar menghadapi prahara ini. (jeda) Karena itu aku ingin jalinan cinta kita ini semakin dipererat. Aku ingin segera meminangmu.

Mata Dinar berbinar (tampak haru dan bahagia).

DINAR

(matanya berbinar, tampak haru dan bahagia)

Mas…

RIAN

Minggu depan, ayo kita memesan cincin pertunangan.

DINAR

Mas… ( spontan Dinar memeluk Rian, tapi buru-buru melepaskannya begitu ingat, Rian belum menjadi mukrimnya. Tampak air mata Dinar merebak, air mata suka cita.)

CUT TO

63. INT. RUMAH MARNI, RUANG TENGAH & KAMAR MARNI – SUBUH

Mbokiah sedang berada di dekat bufet dan menatap jam weker yang ada di atas bufet. Jam weker menunjukkan jam 05.10.

MBOKIAH (V.O.)

(heran)

Udah jam segini Jeng Marni belum bangun. Biasanya, sebelum adzan subuh udah bangun. Lha, ada apa ini? (lalu Mbokiah berjalan ke kamar Marni, mengetuk pintu dengan pelan.)

MBOKIAH

(hati-hati)

Jeng, Jeng Marni...

Tak ada jawaban, tampak Mbokiah makin penasaran. Mbokiah menajamkan pendengerannya.

MBOKIAH (V.O.)

Kok Jeng Marni mengerang. Apa dia sakit, ya?

Mbokiah mencoba membuka pintu, ternyata pintu tidak dikunci.

POV Mbokiah: Marni menggigil di tempat tidurnya. Lalu Mbokiah menghampiri (pembaringan) Marni.

MBOKIAH

(cemas)

Jeng, sampaen kenapa?

MARNI

(lirih)

Saya demam, Mbok. Tolong belikan obat flu.

MBOKIAH

Baik, Jeng. (Lalu Mbokiah melangkah ke luar)

CUT TO

 

64. INT. RUMAH MARNI, KAMAR MARNI – PAGI

Mbokiah musuk ke kamar dengan membawa nampan bersi semangkok bubur, segelas air putih dan obat flu. Lalu Mbokiah menaruh nampan di atas meja kecil yang ada di dekat pembaringan. Sementara itu tampak (dengan memaksakan diri) Marni bangkit dari tidur, lalu duduk di pembaringan.   

MBOKIAH

Makan bubur dulu, Jeng. Setelah itu baru diminum obat flunya.

MARNI

(mengangguk lemah)

Baik, Mbok. Terima kasih.

MBOKIAH

Sekarang saya mau masak dan bersih-bersih rumah (lalu Mbokiah keluar).

CUT TO

65. INT. RUMAH MARNI, RUANG TENGAH & KAMAR MARNI - PAGI

Sekilas (Close Up) jam weker di atas bufet menujukkan jam 8.00. Lalu kita melihat Mbokiah masuk ke kamar Marni dan Marni tampak masih dalam posisi tidur di pembaringan dalam keadaan menggigil dan mengerang. Mbokiah tampak cemas.

MBOKIAH

Jeng, sampen harus berobat ke dokter.

MARNI

Nggak usah, Mbok. Kalau obat flunya habis, pasti demamnya hilang.

MBOKIAH

(setengah memaksa)

Nggak Jeng, sampean harus ke dokter. Demam sampean sepertinya bukan demam biasa. Wajah sampean sangat pucat. Jangan ambil risiko, Jeng. Ayo saya antar berobat ke klinik.

 

Marni tampak merenung.

MARNI (V.O.)

Iya, benar. Kalau sakitku makin parah, pasti akan merepotkan Mbokiah.

MARNI

Sampean benar, Mbok. Saya memang harus berobat ke dokter. Antar saya ke klinik, ya?

MBOKIAH

(mengangguk)

Baik, Jeng.

CUT TO

66. EXT/INT. KLINIK HARAPAN AFIAT, RUANG TUNGGU PASIEN & RUANG PRAKTEK DOKTER – SIANG

Sekilas bagian depan klinik (Close Up) papan nama “KLINIK HARAPAN AFIAT” kemudian tampak di ruang tunggu pasien, pasien yang menunggu cukup banyak, di antaranya tampak Marni dan Mbokiah.

Lalu pintu ruang praktek dokter terbuka, tampak seorang pasien keluar dari dalam, kemudian disusul oleh seorang suster dengan membawa selembar kertas catatan. Suster berhenti di ambang pintu dan memanggil:

SUSTER

Ibu Marni...

Sesaat tampak Marni berbicara dengan Mbokiah (Mbokiah ingin ikut masuk ke dalam ruang praktek dokter, tapi dicegah oleh Marni), lalu seorang diri Marni masuk ke dalam ruang praktek dokter. Suster menutup pintu ruang praktek dokter, sedang Marni duduk di kursi di seberang meja kerja dokter dan Marni tampak terkejut, ketika tahu dokter yang akan memeriksanya adalah Riko.

MARNI

(berseru lirih)

Riko, eh, Dokter Riko...

Riko menatap Marni dan tampak terkejut pula ketika tahu pasien yang akan ia periksa ini adalah Marni. Tapi sebagai dokter yang akan merawat pasiennya, ia cepat mengusai diri untuk menjaga wibawa, wibawa seorang dokter. Lalu ia berlagak membaca status pasien yang tertera di kartu berobat.    

RIKO

Tante Marni sakit apa?

MARNI

Demam, Riko, eh Dokter…

RIKO

(sambil dengan sopan menunjuk ke ranjang tempat periksa pasien) Mari saya periksa.

Marni beranjak ke ranjang periksa dan berbaring, kemudian dengan stetoskop Riko memeriksa tubuh Marni dengan cermat dan teliti. Setelah itu Riko kembali beranjak ke meja kerjanya dan Marni kembali duduk di hadapan Riko.

RIKO

Tante punya penyakit maag?

MARNI

Ya, punya.

RIKO

Ada gejala maag Tante akan kambuh.

Marni terdiam. Wajahnya tampak semakin pucat.

RIKO

Rupanya Tante sedang banyak pikiran.

MARNI

Saya memang sedang ada problem. Boleh saya curhat Riko, eh Dokter?

 

Riko memberi isyarat pada suster supaya keluar dari ruang praktek. Suster menurut, ia beranjak ke pintu dan ketika pintu sudah ditutup oleh suster dari luar, Riko kembali bicara:

RIKO

(heran)

Problem apa, Tante?

MARNI

(lirih)

Dengan Dinar dan Ayahnya…

RIKO

(heran)

Maksud Tante?

Marni diam sesaat (seperti merenung) lalu:

MARNI

Saya minta, agar Dinar memutuskan hubungan cintanya dengan kekasihnya, Rian, tapi Dinar nggak mau. Jadilah saya ribut dengan Dinar. Yang membuat saya kesal, suami saya, Mas Pranoto, membela Dinar. Dia berkata, saya nggak berhak mengatur masa depan Dinar, karena saya hanya sebagai Ibu tiri. (jeda) Waktu bayi, saya merawat Dinar dengan susah payah, karena Dinar lahir prematur. Eh sekarang sudah dewasa, malah menentang permintaan saya. Saya nggak habis pikir, kenapa Dinar lebih memilih Rian yang hanya sebagai wartawan, daripada memilih kamu yang dokter Riko... (jeda) Untuk menghilangkan rasa kesal, saya tinggalkan rumah dan sekarang saya menempati rumah pribadi saya.

RIKO

(mengangguk-angguk)

Baru sekarang saya tau, kalau Dinar ternyata bukan anak kandung Tante. (jeda) Mama nggak pernah crita masalah ini ke saya.

MARNI

Mm… jadi harap maklum Riko, kalau suatu saat nanti kamu main ke rumah Dinar, saya tidak menemuimu.

RIKO

(tersenyum pahit)

Saya nggak mungkin lagi bertandang ke rumah Dinar, Tante. Karena tiga hari yang lalu, waktu saya bertandang ke rumah Dinar, saya diusir. Dinar mengatakan, kalau dia akan segera dipinang oleh calon suaminya.

MARNI

(mengangguk-angguk)

O, kamu sudah bertandang ke rumah Dinar. Kalau begitu maafkan saya, Riko. Saya sudah ikut andil membuatmu sakit hati.

RIKO

Nggak usah minta maaf, Tante. Tante nggak salah. Saya yang salah. Saya masih begitu mengharap cinta Dinar, tapi rupanya Dinar sudah punya calon suami. (jeda) Tapi sekarang bagi saya, hal itu nggak masalah, karena saya sudah punya pacar pengganti Dinar.

MARNI

(heran)

Sudah punya pacar pengganti Dinar? Kok cepat sekali?

RIKO

(tenang)

Waktu saya bertandang ke rumah Dinar dan diusir, pulangnya saya mampir ke kedai bakso dan di sana saya berjumpa dengan Asri. (jeda) Saya tau kalau Asri belum punya pacar, karena itu saya berharap, mudah-mudahan Asri mau menjadi pacar saya...

MARNI

(memotong)

Ya pasti maulah. Sama dokter, siapa yang nggak mau…

  

Riko hanya tersenyum simpul sambil mengetuk-ketukkan pulpen ke meja dan tak sengaja pandangannya membentur ke jam dinding, (Close Up) jam 11 lebih 40 menit. Riko sadar, kalau ia sudah cukup lama ngobrol dengan Marni.

 

RIKO

Wah, keasyikan ngobrol, saya jadi lupa nulis resep obat untuk Tante.

MARNI

Tapi banyak ngomong sama kamu, sakit saya kok rasanya hilang?

RIKO

(tertawa kecil)

Wah, kalau gitu sakitnya Tante karena stress.

MARNI

(tertawa kecil)

Iya kali, ya?

RIKO

(serius)

Tante Marni nggak usah stres, lebih baik mengalihkan persoalan hidup yang sedang dihadapi dengan menyibukkan diri pada hobi-hobi lama yang mungkin sudah dilupakan.

MARNI

(mengangguk-angguk)

Benar juga ya, Dok. (Jeda) Dulu saya hobi membaca, terutama buku-buku biografi, novel dan puisi.

RIKO

Wah, itu bagus sekali. Kalau sekarang kembali Tante tekuni hobi membaca itu, haqqul yaqin, Tante nggak akan pernah stres lagi.

MARNI

Ya, akan saya coba, Riko.

RIKO

(memancing)

Jadi saya nggak perlu nulis resep obat untuk Tante, ya?

MARNI

Ya tulis ajalah, untuk jaga-jaga.

 

Lalu Riko menulis resep obat untuk Marni.

CUT TO

Anda harus login atau daftar untuk mengirimkan komentar
Komentar (0)