Halaman Author
Kontrol semua karyamu pada halaman author, kamu bisa memublikasikan karya baru atau mengatur karyamu dengan mudah dalam satu tempat.
Bakti Ayah Belia (Screenplay)
Suka
Favorit
Bagikan
6. Marni Penyelamat Hidup Bakti (Scene 29)

29. INT. RUMAH MARNI - RUANG KELUARGA - DAY

Kita melihat ruangan yang hanya terisi oleh satu sofa panjang, meja kopi, dan TV keluaran terbaru. Tidak ada pajangan apa-apa.

Bakti dan Marni duduk sebelahan di sofa. Bakti gelisah dan tidak berani menatap wajah Marni. Sedangkan Marni, menatap Bakti dengan ekspresi syok.

BAKTI

Ya... jadi kurang lebih begitulah ceritanya, Tan.

Marni menyilangkan kedua lengannya depan dada dan mendelik ke arah Bakti.

MARNI

Jadi ini bayi bener-bener baru lahir kemarin banget?! Dan kamu kabur dari rumah bawa bayi ini?! Bener-bener ya kamu ini, Bakti!

Bakti semakin mengkeret. Takut.

MARNI (CONT'D)

(suara makin meninggi)

Kamu enggak kasihan sama anak kamu?! Kalau anak kamu kenapa-kenapa gimana?! Emangnya kamu siap buat tanggung jawab?!

(beat)

Ngesok banget mau ngurus sendiri padahal belum tentu bisa! Bener-bener ya kamu ini!

Bakti terdiam. Syok. Air mata memenuhi pelupuk matanya.

Marni masih marah. Namun, ekspresinya perlahan melunak karena melihat air mata mengalir dari mata Bakti. Dia memijat keningnya dan menghembuskan napas panjang. Mulai merasa tidak tega.

MARNI

Bakti, gini ya. Biarpun Tante enggak punya anak, tapi Tante ngerti kalau kamu itu ada perasaan enggak rela, enggak ikhlas, anak kamu diasuh orang lain. Tante ngerti.

(beat)

Tapi, untuk membesarkan anak di usia kamu yang masih belia, sendirian, itu susahnya bukan main. Enggak cuma butuh kesiapan mental aja, tapi juga materi, Bakti.

Bakti menangis tanpa suara. Emosinya yang daritadi tertahan tumpah. Wajahnya basah oleh air mata.

MARNI (CONT'D)

Iya, Tante mungkin bisa bantu dari segi materi, tapi kalau dari segi mental gimana?

(beat)

Apa kamu udah bener-bener siap dan ikhlas untuk mengorbankan apa yang seharusnya bisa kamu miliki, jalani, dan raih demi anak ini?

Bakti tersedu-sedan. Dia memandangi wajah bayinya yang terlelap. Bakti mulai merasa takut. Juga menyesal.

MARNI (CONT'D)

Tante ngerti, kamu pasti mikir dengan kamu membesarkan anak ini, adalah bentuk tanggung jawab kamu sebagai orang tua anak ini. Sendirian. Tanpa ibunya. Tante hargai keputusan itu.

(beat)

Tapi, sebagai orang tua, Tante juga bisa ngerti keputusan yang ibu kamu pilihkan untuk kamu. Dia pasti mikir kalau ini belum saatnya buat kamu membesarkan anak. Kamu juga punya masa depan. Tante tau betul gimana berharapnya ibu kamu ke kamu. Apalagi setelah bapak kamu enggak ada, Bakti.

(beat)

Pasti ibu kamu hancur lebur banget ini.

BAKTI

I-iya, Bakti tau, Tan. Ibu pasti sedih, marah, dan kecewa banget Bakti kayak begini jadinya. Bakti... Bakti gagal jadi anak yang bisa dibanggain Ibu, Tan.

(tercekat)

T-terus, Bakti harus gimana, Tan?

Marni terdiam. Dia masih belum tahu bagaimana menanggapi Bakti.

BAKTI (CONT'D)

Bakti juga tadinya setuju dengan keputusan awal Ibu dan keluarganya Puspa. Bakti pikir, mungkin memang begini jalan yang terbaik.

(beat)

Ibu enggak kasih Bakti pulang, untuk ketemu Puspa dan bayi ini. Tapi Bakti kepikiran Puspa, Tan. Bakti tetep nekat pulang ke Jakarta dan langsung ke rumah sakit buat ketemu sama Puspa untuk yang terakhir kalinya. Tadinya.

(menghela napas)

Tapi bukannya ketemu Puspa, Bakti malah ketemu sama dia duluan, Tan. Enggak sengaja ngelewatin ruangan bayi pas mau ke ruangannya Puspa.

Bakti mengerling ke arah bayi dalam dekapannya. Wajah sang bayi yang masih tertidur membuat air mata Bakti semakin berlinang.

BAKTI (CONT'D)

Bakti bener-bener berubah pikiran pas ngeliat dia, Tan. Bakti enggak bisa kasih dia ke Om Fadli dan Tante Laras. Bakti enggak bisa, Tan.

(beat)

Bakti udah ngomong ke Ibu soal ini juga dan Ibu nolak mentah-mentah. Makanya...

(menarik napas)

Makanya Bakti bawa dia ke sini, Tan. Cuma Tante yang kepikiran sama Bakti tadi.

Marni semakin merasa tidak tega. Dia memandangi lekat-lekat Bakti yang menatapnya, berlinang air mata. Perlahan, tangannya terulur untuk mengelus kepala Bakti. Menenangkan Bakti.

MARNI

Kamu... kamu beneran yakin mau ngerawat anak ini? Mungkin kamu bisa diskusiin ini sama ibu kamu lagi?

Bakti kelihatan ragu selama beberapa saat. Tapi kemudian dia mengangguk.

BAKTI

Ibu... Ibu pasti enggak akan setuju dengan keputusan Bakti. Tante tau sendiri Ibu orangnya kayak gimana.

MARNI

Iya sih, ibu kamu orangnya memang keras dan teguh banget sama pendiriannya. Bener-bener kebalikannya bapak kamu.

(beat)

Kalau kamu mau ngerawat anak ini, terus kuliah kamu gimana? Bukannya kamu dapet beasiswa full, ya? Di Bandung pula, kan.

Bakti tersenyum kecil. Dia kelihatan muram, tetapi seperti berusaha untuk terlihat tegar.

BAKTI

Ya berhenti, Tan. Mau gimana lagi?

(angkat bahu)

Habis ini Bakti harus langsung mulai cari kerja. Tabungan Bakti cuma bisa dipakai buat bertahan beberapa bulan lagi aja kayaknya.

Marni menganggukkan kepala. Sudah menerima keputusan Bakti.

MARNI

Ya sudah, kalau begini keputusan kamu. Inget, kamu harus komitmen dan tanggung jawab dengan keputusan yang sudah kamu ambil, Bakti. Hadapi konsekuensi. Apa pun itu.

(beat)

Ngerti kamu?!

Bakti mengangguk.

BAKTI

Iya, Tan.

(terlihat ragu sejenak)

Tante bener-bener enggak bakalan bilang ke Ibu, kan?

Marni mencibir.

MARNI

Kamu kan tau kalau keluarga kamu, termasuk ibu kamu, musuh bebuyutan Tante karena Tante anak istri mudanya Kakek kamu. Tante tuh dianggap parasit. Hih!

(beat)

Ini aja kalau kita enggak ketemu di kos-kosan Tante yang di Bandung pas kamu nyari-nyari kosan, Tante juga enggak tau menau soal kamu dan keluarga kamu.

Bakti tersenyum kecil mengingat kejadian itu.

BAKTI

Kos-kosan punya Tante termasuk yang mahal sih, jadi aja Bakti enggak jadi ngekos di situ.

MARNI

Tapi kan kita jadi kenal dan tetep saling berkabar. Kamu enggak kayak keponakan-keponakan yang lain, yang ikut ngejauhin Tante karena ngikut orang tua dan keluarga besar.

(beat)

Aneh juga kamu ini kalau dipikir-pikir.

BAKTI

Aneh dan maaf banget bakalan ngerepotin Tante. Entah sampai kapan.

Marni berdecak, geregetan karena jawaban Bakti.

MARNI

Kamu nih ya, bener-bener, deh.

(beat)

Udahlah, kamu udah fix gabung di public enemy keluarga besar bareng Tante. Enggak bakalan bisa pulang kamu pas Lebaran. Sukurin!

BAKTI

Kan mulai Lebaran nanti Bakti sama Nala Lebaran bareng sama Tante.

Marni mengangkat satu alisnya. Dia memandangi Bakti, bingung.

MARNI

Nala siapa?

Bakti mengecup pelan kening si bayi.

BAKTI

Dia. Anak Bakti. Cucu Tante.

MARNI

Duh, Tante nikah kagak, punya anak kagak, tau-tau udah punya cucu. Nasib... nasib.

Tiba-tiba Nala menggeliat. Kemudian menangis kencang.

MARNI

Nah lho, nangis kan dia. Punya susunya enggak? Dia laper kali, tuh.

BAKTI

Kayaknya ada deh di tas bayi yang tadi Bakti bawa dari rumah.

Marni mengambilkan botol susu dari dalam tas ransel yang berada di dekat kaki Bakti. Dia membukakan tutup botol susu dan menyerahkannya kepada Bakti. Nala berhenti menangis saat dot dari botol susu masuk ke dalam mulutnya.

Bakti memandangi Nala dengan tatapan lembut. Senyum terbit dari ujung bibir Bakti, tulus dan hangat. Begitu juga dengan senyum Marni saat memandangi Bakti dan Nala secara bergantian.

Kemudian mata Bakti dan Marni bertemu.

BAKTI

Tan, makasih banyak, ya. Bakti enggak tau harus bilang apalagi selain terima kasih buat Tante.

(beat)

Padahal Tante bisa aja ngusir Bakti begitu tau Bakti bawa bayi.

MARNI

Kamu pikir Tante sinting apa gimana, sih? Ya enggak bakal diusirlah!

(beat)

Duh, Tante harus ke minimarket di depan dululah ini. Anak kamu cuma punya susu satu botol ini sama satu kotak doang. Tunggu di sini!

Marni beranjak dan meninggalkan ruangan. Bakti menatap Marni dengan tatapan penuh terima kasih.

FADED TO BLACK.

Bagikan
Anda harus login atau daftar untuk mengirimkan komentar
Tidak ada komentar