Halaman Author
Kontrol semua karyamu pada halaman author, kamu bisa memublikasikan karya baru atau mengatur karyamu dengan mudah dalam satu tempat.
Kubayar Pelangi dengan Hujanmu (Skrip)
Suka
Favorit
Bagikan
2. Harta Paling Berharga

6. EXT. JALAN DESA - MORNING (5 YEARS LATER)

ESTABLISHING SHOT

Sinar matahari terlihat semakin terang dari celah-celah dedaunan. Kicauan burung masih terdengar kala Vira melintasi jalan sambil melompat-lompat riang. Seragam sekolahnya terlihat rapi. Lantunan "Lihat Kebunku" mengiringi tiap langkah.

Ia rentangkan lengan kanan untuk menyentuhi dedaunan pinggir jalan. Saat melantunkan bait terakhir, ia lihat seekor kupu-kupu bertengger di pucuk daun.

Langkahnya pun terhenti. Pelan-pelan ia bergerak demi menangkap kupu-kupu itu. Saat menyergap, kupu-kupu sigap terbang sebelum tertangkap. Vira berdecak kesal.

Kelining sepeda terdengar. Setelahnya, seseorang memanggil Vira. Vira menoleh dan tersenyum riang atas kehadiran RATNA (44).

VIRA

Bu Ratna, mau ke pasar, ya?

Ratna menghentikan sepedanya di depan Vira.

RATNA

Iya nih, Neng. Yuk bareng aja sama ibu. Biar nggak keringetan lagi tuh.

Ratna mengelap peluh di pelipis Vira dengan punggung tangan. Anak itu justru terkikik geli.

VIRA

Ide bagus, Bu! Apalagi kan hari ini aku ada ujian.

Vira naik ke kursi penumpang. Tangannya melingkar di pinggang Ratna.

RATNA

Supaya cepat sampai, nya? Janten henteu telat.

VIRA

Bukan! Supaya aku bisa ngerjain soalnya.

Ratna mulai mengayuh sepeda dan mereka sudah tak terlihat dari sorotan kamera.

RATNA (OS)

Hubungannya teh naon, Neng? Ngerjain soal kan pake otak bukan pake tenaga.

Punggung mereka tersorot, menjauh.

VIRA (OS)

Ih, kan kalo capek jadi nggak fokus, Bu!

7. EXT. SEKOLAH VIRA - MOMENTS LATER

Vira diturunkan persis di depan gerbang. Setelah mencium tangan Ratna, ia lambaikan tangan lalu masuk ke halaman sekolah.

Ada beberapa anak yang berlarian saling mengejar. Ada pula yang bermain demprak di tepi lapangan, persis depan kelas Vira. Ia langsung menegakkan badan. Wajah semringah. Ia berlari mendekati mereka.

VIRA

Teman-teman, aku ikutan, dong!

Vira melangkah ke kursi panjang dekat tanaman hias. Ia taruh ransel di sana. Lalu, ia amati kerikil yang berserak. Ada satu yang berukuran cukup besar.

Vira tersenyum lantas mengambilnya. Batu itu kemudian ia lemparkan hingga jatuh persis pada kotak demprak paling bawah.

VIRA (CONT'D)

Itu gacoan punyaku, ya! Nanti aku jalannya abis siapa nih?

Teman-teman Vira menoleh sinis padanya. TASHA (7) yang kebetulan berada dekat kotak demprak pertama, menggeser kerikil milik Vira keluar kotak dengan kakinya.

VIRA (CONT'D)

Eh, jangan gitu dong! Kan, aku mau ikutan!

Vira mendorong-dorong lengan Tasha. Tapi kemudian ia didorong balik dengan keras sampai jatuh. Vira mengaduh kesakitan karena sikunya menggesek paving block.

TASHA

Apaan sih. Kita kan nggak temenan. Jadi kamu nggak boleh ikutan!

KEYLI (6) menimpali ucapan Tasha, sedangkan anak-anak yang lain menertawakan Vira.

KEYLI

Iya, betul. Kamu kan nggak punya ayah. Bunda kamu juga nggak sayang sama kamu. Pasti kamu anak yang nakal banget deh.

(beat)

Jadi kamu nggak cocok main sama kita. Pergi aja sana!

TASHA

Eh eh, tau nggak, aku pernah dengar dari Mama kalo dia ini anak haram. Ih ... pasti bawa sial.

Setelahnya, anak-anak itu mengerubungi Vira sambil terus mengejeknya dengan sebutan "anak haram". Vira memandangi mereka satu per satu, ketakutan. Ia lalu berteriak sambil menutup kedua telinga dan matanya.

VIRA

AKU ANAK BUNDAA!!

Selang beberapa detik, suara guru mereka terdengar.

RANI (OS)

Hei hei sedang apa kalian?! Jangan pernah sekali-sekali ngejek orang lain, apalagi teman sendiri!

Tergopoh RANI (40) menghampiri anak-anak itu yang sudah terpontang-panting membubarkan diri, masuk ke kelas masing-masing.

Ia berhenti untuk mengatur napas di dekat Vira yang membenamkan wajah di antara kedua lutut. Anak itu menangis sesenggukan.

Rani mengusap lembut bahu Vira.

RANI (CONT'D)

Anak cantik... duduk di atas, yuk.

Ia bantu Vira berdiri, lalu duduk perlahan di kursi. Ia mengelap peluh dari kening Vira serta air mata pada wajahnya.

RANI

Dengerin ibu, ya. Nggak ada yang namanya anak haram. Semua anak terlahir suci, begitu juga Vira. Dan Vira punya kelebihan lain yang nggak bisa dimiliki semua orang. Vira terlahir sebagai anak paling baik, paling tulus, dan paling sayang sama bundanya.

(beat)

Sekarang ibu tanya, ada nggak, sesuatu yang pengen Vira lakuin setelah diejek teman-teman kamu tadi?

Senggukan Vira sedikit mereda. Ia mengerjap beberapa kali. Berpikir cukup lama.

VIRA

Aku mau bikin Bunda senang. Mau lihat Bunda senyum. Pasti cantik.

Mata dan bibir Rani turut tersenyum. Ia belai puncak kepala Vira.

RANI

Nah, sekarang, apa rencana Vira?

Vira mendongak, menatap Rani dengan mata bulatnya.

VIRA

Tadi malam aku belajar sampai ketiduran. Aku belajar terus supaya dapat nilai bagus di ujian hari ini, terus bikin Bunda senang deh.

Rani sisipkan rambut Vira yang menjuntai ke belakang telinga.

RANI

Kalo gitu, Vira nggak boleh sedih lagi, nggak boleh nangis lagi. Teman-teman kamu nggak bisa halangi buat capai keinginan itu. Tunjukin ke mereka, kalo Vira anak yang kuat dan tegar.

Bola mata Vira berbinar. Ia mulai terlihat bersemangat lagi. Lalu mengangguk mantap, dan memeluk sang guru.

8. INT. KAMAR LIDYA/TION - DAY

Lidya tersorot dari jendela kamarnya, persis bersebelahan dengan pohon beringin yang sudah menjulang tinggi. Semakin didekati, ia nampak pelan-pelan mengelap perabotan di sana, dengan potongan pakaian bekas.

Matanya masih menunjukkan kekosongan. Lidya menggerakkan lap itu secara berputar-putar di atas kabinet setinggi dadanya.

Kemudian gerakannya terhenti. Ia tatap intens laci pertama dari atas kabinet. Berpikir sejenak, lantas membuka perlahan laci itu, dan terlihatlah bagian bawah dari sebuah foto keluarga.

Tetiba terdengar deru mobil yang begitu kencang dari luar. Lidya terkejut sampai menutup laci itu keras-keras. Ia terdiam dan berpikir sebelum akhirnya mendekatkan kepala ke jendela yang berjeruji.

Matanya membulat, terperangah. Air mulai menggenangi sudut-sudutnya. Kemudian, lap yang semula ia genggam pun terjatuh, bersamaan dengan kaki-kakinya yang berlarian keluar kamar.

9. E/I. RUMAH LIDYA/TION - DAY

MONTAGES

Tion menutup pintu mobil (minibus tua). Ia berjalan cepat ke dalam rumah sambil menenteng tas dan amplop cokelat.

Lidya berlari ke arah Tion. Air matanya sudah menitik cukup deras dan dadanya naik-turun. Wajah yang kuyu itu kini mulai memperlihatkan senyum.

Namun, saat hendak memeluk Tion, Lidya didorong sampai jatuh.

TION

Jangan pernah berani-beraninya kamu sentuh saya...

(beat)

Dengan tubuh kotor itu.

Tion berjalan melangkahi kaki Lidya, masuk ke kamar.

Kini Lidya sesenggukan dengan mata yang menyalang dan terfokus pada ubin berkeramik. Ia menggigit bibir, mengernyit dalam. Lantas berdiri dan menghampiri Tion. Dari ambang pintu kamar ia lihat Tion sedang memasukkan pakaian ke dalam tas dengan cepat.

LIDYA

(tersekat)

Lima tahun aku nunggu kamu tanpa kabar. Lima tahun aku menderita.

(beat)

Tapi kamu malah datang cuma buat nyakitin aku...?

Tion membanting pintu lemari keras-keras sampai Lidya berjengit, menutup matanya dan meringis takut.

TION

Egois.

(beat)

Memangnya selama itu cuma kamu yang menderita, HAH?!

Ia ucapkan kata terakhir sambil menoleh dan memelototi Lidya. Dengan tak sabaran, ia buka amplop cokelat, lalu disodorkannya selembar surat ke hadapan Lidya.

TION

Untuk ke depannya kita nggak akan pernah berhubungan lagi. Kamu bisa bebas main dengan cowok mana pun. Aku nggak peduli.

(beat)

Ambil.

Lidya hanya mematung memperhatikan surat itu.

TION (CONT'D)

AMBIL!

Lidya berjengit lagi. Pelan tanggannya bergerak mengambil surat itu dari Tion. Matanya terangkat, takut-takut menatap Tion.

LIDYA

Kita nggak harus ambil keputusan ini... masih bisa dibicarakan baik-baik. Karena sebelumnya aku rahasiain hal itu dari kamu...

(makin pelan, seperti berbisik)

Demi melindungi keluarga kita.

Tion mendecih. Ia lantas mengambil amplop juga tas yang tergeletak di atas kasur, lalu menarik paksa lengan Lidya keluar kamar.

10. EXT. PEKARANGAN RUMAH LIDYA/TION - MOMENTS LATER

Tion tanpa sengaja menubruki tubuh kecil Vira saat melewati ambang pintu rumah. Anak itu terjatuh dan mengaduh, tanpa melihat siapa yang menabraknya.

Tion menatap tajam padanya.

TION

Minggir.

(beat)

Anak haram...

Tion berjalan cepat menuju mobil. Sementara itu, Vira segera bangkit karena melihat Lidya keluar. Ia bersemangat menunjukkan nilai pada kertas ulangannya.

VIRA

Bunda, hari ini aku dapat nilai paling tinggi lho. Sebelumnya kan delapan puluh aja belom pernah. Tapi lihat ini, sembilan lima!

Vira terus mengoceh sambil berjalan mengikuti Lidya yang melangkah pelan-pelan seraya tertunduk. Vira menyadari wajah Lidya yang nampak sembab. Senyum pun turut luntur dari dirinya, berganti kerutan di kening.

VIRA (CONT'D)

Bunda... nangis? Kenapa...?

Lidya terus terdiam sampai ia membuka pintu penumpang di mobil Tion. Vira memegangi tangan Lidya sebelum benar-benar masuk ke dalam sana.

VIRA (CONT'D)

Bunda mau ke mana? Jangan tinggalin aku!

Lidya menepis genggaman Vira. Pintu terbanting menutup. Dan mobil pun melaju meninggalkan pekarangan.

Vira berlari mengejarnya. Namun ia tersandung, terjatuh. Lutut tertusuk ujung kerikil yang tajam sampai berdarah. Lukanya cukup dalam, sampai darah menetes dan mengenai kertas ulangan yang ia biarkan tergeletak di sana.

Sementara Vira kembali berlari, terlihat makin menjauh dari posisi kertas di tanah pekarangan. Ia terus menangis sambil memanggil bundanya.

FADE TO

11. EXT. PEKARANGAN RUMAH LIDYA - DUSK

Lidya melangkah terseok. Tatapan kosongnya tertuju pada rumah yang gelap serta pintu yang dibiarkan terbuka. Ia berhenti saat merasakan sesuatu yang janggal terinjak oleh sandal jepit. Ia gerakkan pandangan ke bawah, dan mendapati selembar kertas bernoda darah.

Lidya mengambil kertas itu. Semula terfokus pada angka paling besar bertinta biru, kemudian beralih pada tulisan tangan di bawah angka tersebut yang berbunyi, "Bunda harus tersenyum hari ini," diikuti simbol senyum dan hati.

Lidya menutup mulutnya, terisak. Ia edarkan pandangan ke sekeliling, berharap Vira masih berada di sekitar sana. Ia pegangi dahi dengan mimik penuh penyesalan. Sedikit cairan kental keluar dari rongga hidung dan ia segera mengelapnya, lantas berlari meninggalkan pekarangan rumah.

Tapi kemudian ia berjongkok. Ia merintih sambil memegangi dada.

FADE TO

12. INT. KAMAR RUMAH SAKIT - NIGHT

Kelopak mata Vira membuka perlahan. Samar pandangannya menangkap langit-langit berwarna putih. Dengan samar-samar pula terdengar suara dari luar.

ARIN (OS)

Saya juga sudah mengecek tasnya tapi sama sekali nggak ada kartu identitas.

Vira menggerakkan wajah ke samping sehingga terlihat dua orang yang sedang berbicara beberapa meter dari pintu yang terbuka. Satu orang laki-laki mengenakan pakaian dokter, satunya lagi wanita berambut panjang dengan pakaian khas kantoran.

ARIN (CONT'D)

Iya, saya tunggu. Saya juga pasti akan bantu.

ARIN (35) sedikit membungkukkan tubuh, dan setelahnya dokter berjalan pergi. Ia berbalik lantas bertemu tatap dengan Vira. Ia tersenyum, melangkah mendekati anak itu.

ARIN

Hai.

(beat)

Gimana kondisi kamu? Sudah agak baikan?

Vira mengerjap, tidak segera merespon.

VIRA

Ibu... siapa?

Lengan Arin bergerak untuk meraih tangan Vira, lalu menggenggamnya.

ARIN

Nama ibu, Arin.

(beat)

Ibu nggak sengaja lihat kamu pingsan di pinggir jalan, sore tadi.

Vira melayangkan tatapannya ke luar pintu lagi. Arin pun turut mengikuti arah pandang Vira dengan memutar wajahnya ke belakang. Namun, tidak ada siapa-siapa di sana.

Ia kembali menatap Vira yang kini bibirnya terlihat menurun dan keningnya nampak berkerut. Ia bantu menenangkan dengan mengusap punggung tangan Vira.

ARIN (CONT'D)

Pihak rumah sakit lagi cari tahu dulu kontak orang tua atau orang lain yang kenal kamu...

Arin gerakkan telunjuk membentuk persegi panjang di pangkal lengan sebelah kanan.

ARIN (CONT'D)

Dari bet sekolah kamu yang ada di sini.

Kening Vira makin berkerut.

ARIN (CONT'D)

Oh, atau... kamu tau nomor telepon orang tua kamu?

Vira menggeleng lemah.

Napas Arin terembus berat.

ARIN (CONT'D)

Karena sudah malam, jadi kamu harus menginap dulu di sini. Tapi kami masih belum bisa kasih kabar ke orang tua kamu.

Vira mulai tersedu. Arin jadi bergerak-gerak resah dengan mimik yang menampakkan kebingungan.

VIRA

Aku takut di sini...

Arin belai lembut kening Vira.

ARIN

Kalo gitu, kalo nginap di rumah ibu aja, gimana?

Vira berkedip menatapnya sambil sesenggukan.

VIRA

Ibu... bukan orang jahat, kan...?

Arin terkekeh.

ARIN

Kalo ibu orang jahat, nggak mungkin dong bawa kamu ke sini.

(beat)

Ibu juga punya anak yang seusia sama kamu. Mau lihat?

Arin membuka tas bahunya lalu mengambil gawai. Telunjuknya menggulirkan layar hingga berhenti pada satu foto, lantas ditunjukkannya pada Vira.

ARIN (CONT'D)

Namanya Kila. Cantik, kan, kayak kamu.

(beat)

Kalian pasti cocok banget jadi teman.

Isakan Vira perlahan berhenti. Ia fokus memperhatikan foto itu, lalu secara bergantian melihat Arin yang masih terus tersenyum.

13. INT. RUMAH ARIN - KAMAR TAMU - DAY (THE NEXT DAY)

Sebuah potret keluarga, terdiri dari tiga orang, terpajang di atas meja kabinet. Suasana kamar terefleksi pada kacanya. Semula gelap, lalu perlahan terlihat cahaya saat Vira membuka gorden. Dari kaca itu pula nampak Vira kini berjalan mendekatinya.

Vira menjulurkan telunjuk, menyentuh potret wajah Arin. Dengan telunjuk itu ia bentuk garis lengkung mengikuti senyum Arin. Kemudian, ia letakkan telunjuk di sudut bibirnya sendiri, ia tarik sampai memiliki bentuk yang sama dengan ketiga orang di dalam foto.

Derap kaki yang berlari mendekati kamar membuatnya berjengit, membalikkan tubuh cepat-cepat sampai tak sengaja menyenggol meja kabinet dan membuat foto tersebut jatuh terbaring di sana.

KILA (6) membuka pintu pelan-pelan. Mula-mula ia layangkan pandangan ke arah ranjang, lalu menyadari Vira yang berdiri di hadapan meja kabinet. Ia pun tersenyum semringah, berlari-lari kecil sambil menggoyang-goyangkan sesuatu di tangan dan menghasilkan bunyi berderak.

KILA

Aku baru aja dibeliin ini sama Mama. Kamu tau, nggak? Namanya Scrabble. Katanya sih supaya aku makin jago Bahasa Inggirs.

(beat)

Nanti kita main, ya! Sekarang aku mau ganti baju dulu. Dadaah!

Kila melambai-lambai seraya berlari-lari kecil lagi keluar kamar. Vira menunggu sampai Kila menjauh, kemudian ia berbalik untuk membetulkan posisi foto seperti semula. Tangannya melepaskan bingkai setelah berhasil berdiri tegap.

ARIN (OS)

Itu foto dua tahun lalu.

Vira menoleh. Kali ini ia tidak seterkejut sebelumnya. Mimik ramah Arin di ambang pintu adalah hal pertama yang ia lihat. Arin berjalan masuk, meraih foto itu. Ia terdiam sebentar, lalu duduk di tepi ranjang, diikuti Vira.

ARIN

Sudah satu tahun Kila kehilangan papanya... meninggal karena kecelakaan di tempat kerja. Sejak itu dia nyaris jadi anak yang pendiam dan selalu murung.

Arin mengelus foto tersebut, mengusap potret sang suami dengan ibu jarinya.

VIRA

Aku nggak pernah kenal tuh sama yang namanya ayah dari kecil.

Arin menoleh bingung. Vira mengalihkan tatapannya dari foto ke wajah Arin.

VIRA (CONT'D)

Bunda juga nggak pernah cerita soal ayah. Tapi... aku sayang banget sama Bunda.

Ia menunduk. Mengepalkan kedua tangan di atas pangkuan. Bibirnya kembali menurun, serta bahu nampak bergetar.

VIRA (CONT'D)

Aku kangen Bunda...

Air matanya jatuh. Arin segera memeluk Vira, mendekap erat. Ia usap lembut punggung anak itu.

ARIN

Sore ini Vira bisa ketemu sama Bunda.

(beat)

Ibu janji.

CUT TO:

14. EXT. LINGKUNGAN RUMAH VIRA - AFTERNOON

Vira mengetuk-ngetukkan punggung jemari kanan ke pintu. Ia tekan gagang pintu ke bawah sambil berusaha mendorongnya, namun terkunci.

VIRA

Bunda... assalamu'alaykum...

Vira menjulurkan kepala ke jendela yang tertutupi gorden. Ia berjalan ke samping, melihat keadaan di belakang rumah. Ratna, tetangganya, baru saja keluar membawa nampah berisi beras. Dengan ceria Vira berlari menghampiri.

VIRA

Bu Ratna!

Ratna membelalakkan mata. Ia letakkan nampah di teras, menyambut Vira, menggenggam kedua pangkal lengan anak itu.

RATNA

Anjeun kamana wae[1], Neng...?

Ia mengelap peluh di dahi Vira. Rasa khawatir terlihat jelas dari raut wajahnya. Arin dan Kila mengekor di belakang Vira.

ARIN

Kemarin saya temuin dia pingsan di pinggir jalan kota. Karena nggak tau alamat rumahnya, jadi terpaksa menginap dulu di rumah saya. Tapi sebelum itu saya antar dia dulu ke rumah sakit.

Ratna mendongak demi menatap Arin, begitu juga dengan Vira.

RATNA

Terima kasih banyak sudah nolongin Vira.

Arin tersenyum dan menyengguk.

VIRA

Bu Ratna, tau nggak, Bunda pergi ke mana? Apa Bunda masih nyariin Vira?

Ratna kembali menatap Vira. Kini nampak genangan air pada kelopak matanya.

15. EXT. KOMPLEKS PEMAKAMAN UMUM - AFTERNOON

Seberkas cahaya senja menyinari nisan bertuliskan "Lidya Nurmalasari." Isak tangis Vira menjadi latar belakang pemandangan itu, juga taburan melati segar di atas pusara.

Vira memeluk nisan Lidya. Sangat erat seperti memeluk tubuh seorang ibu.

Ratna mengeluarkan sesuatu dari saku dasternya. Dalam genggaman itu ia serahkan kertas yang sudah dilipat-lipat menjadi kecil pada Arin.

RATNA

Sebelum meninggal, almarhumah sempat titip surat ini ke saya.

(beat)

Buat Vira.

VIRA

Bunda pasti meninggal gara-gara aku kan! Kalo kemarin aku nggak pergi, Bunda nggak akan kayak gini kan!

Arin merengkuh Vira yang mulai membentur-benturkan kepalanya ke nisan.

ARIN

Vira nggak salah. Nggak ada yang salah. Ini semua takdir Tuhan.

(beat)

Vira masih punya ibu di sini. Ibu nggak akan pernah ngebiarin Vira sendiri.

Dalam pelukan Arin, Vira menangis makin keras.

Tersorot pemakaman dari kejauhan. Suara Lidya terdengar mengiringinya.

LIDYA (VO)

Yang terkasih, sekaligus yang paling Bunda sayangi, Syavira Rufatullaila. 25 Maret adalah hari bersejarah. Hari di mana Bunda dapat berlian yang keindahannya mungkin nggak akan pernah dimiliki orang lain. Bunda bersyukur karena masih bisa mengingatnya.

(beat)

Tapi, sayang sekali, berlian itu disia-siakan. Bunda justru lebih mementingkan berlian lain, yang sinarnya sudah mulai pudar. Sampai kemudian hanyut terbawa ombak, hilang, bikin wanita malang ini meratapinya terus-menerus.

(beat)

Bunda kini sadar, bahwa kamu, sikapmu yang manis, adalah pengganti yang lebih bernilai dari sekadar berlian termahal sekali pun. Kamu adalah anugerah. Mukjizat yang dikirimkan Tuhan. Tapi... kesadaran ini datang amat terlambat.

(beat)

Maaf...

Bagikan
Anda harus login atau daftar untuk mengirimkan komentar
Tidak ada komentar