Halaman Author
Kontrol semua karyamu pada halaman author, kamu bisa memublikasikan karya baru atau mengatur karyamu dengan mudah dalam satu tempat.
CINTA DI BAWAH ATAP GUBUK
Suka
Favorit
Bagikan
2. Awal Sapaan dan Rasa Penasaran
Skrip ini masih diperiksa oleh kurator

JUDUL ADEGAN : Pagi yang Berbeda

PENULIS : Rana Kurniawan


WAKTU: Pagi hari, setelah salat Subuh

TEMPAT: Teras pondok santri putra & halaman rumah Ustadz Kosim



[EXT. HALAMAN PONDOK – PAGI BUTA]


Suara kokok ayam bersahutan.

Udara pagi terasa segar, sedikit dingin menusuk kulit.

Langit masih berwarna keabu-abuan, perlahan berubah menjadi jingga muda di ufuk timur.


Para santri baru saja selesai shalat Subuh berjamaah di mushola kecil pondok.

Beberapa masih duduk berdzikir, sementara yang lain keluar membawa ember dan gayung, bersiap menyiram halaman.


Leli berjalan pelan di belakang rombongan santri putri, menenteng mukenanya.

Matanya masih setengah mengantuk tapi senyumnya lembut.

Ia berhenti sejenak di halaman depan rumah Ustadz Kosim, menatap ke arah langit.


LELI

(pelan, menatap langit)

Subuh di sini adem banget...

Rasanya beda sama di rumah.


Dari belakang, suara lembut Umi Lilis terdengar.


UMI LILIS

Leli, nanti setelah sarapan bantu nyapu halaman depan, ya.

Sekalian biar kenal suasana pondok.


LELI

(tersenyum)

Iya, Umi.


[EXT. TERAS BAMBU DEPAN PONDOK SANTRI PUTRA – PAGI]


Sementara itu, di pondok santri putra,

Rana duduk di teras bambu sambil menyeruput teh hangat dari gelas kaleng.

Di sebelahnya, ada selembar kitab kecil yang belum sempat ia baca.

Embun menempel di daun pisang di samping pondok, memantulkan cahaya lembut matahari pagi.


Rana terlihat tenang, tapi sesekali menatap ke arah rumah Ustadz Kosim di seberang.


RANA (MONOLOG)

(dalam hati, lirih)

Entah kenapa...

pagi ini rasanya beda.

Kayak... ada yang baru, tapi aku nggak tahu apa.


Ia menyesap tehnya lagi, lalu berpaling ke arah rumah ustadz.

Pintu rumah terbuka perlahan.


Leli keluar membawa sapu.

Rambutnya tertutup jilbab biru muda, wajahnya segar dengan sinar matahari pagi yang lembut.

Ia mulai menyapu halaman kecil di depan rumah ustadz dengan gerakan hati-hati.


Rana menatap diam-diam.

Senyum kecil muncul di wajahnya, tapi tangannya gemetar sedikit saat memegang gelas teh.


RANA (MONOLOG)

(dalam hati)

Ah... semoga aja pagi ini aku bisa lihat dia.

Eh, beneran nongol.

Ya Allah, jangan sampe keliatan aku ngelihatin.


Rana berdeham pelan, mencoba tampak santai.

Ia berdiri, menepuk-nepuk sarungnya.


RANA

(agak gugup, tapi ramah)

Hai... anak baru, ya?


Leli menoleh, sedikit kaget tapi kemudian tersenyum manis.


LELI

Iya...

kamu juga santri di sini?


RANA

Iya. Aku Rana.

Kamu siapa, teh?


LELI

(tersenyum kecil)

Leli.


Mereka saling tersenyum canggung.

Beberapa detik hening, hanya terdengar suara sapu yang menyentuh tanah dan kicau burung di atap pondok.


RANA

(menggaruk kepala, kikuk)

Baru semalem ya datangnya?


LELI

Iya... masih belum hapal tempatnya.

Tadi aja hampir nyasar ke dapur santri putra, hehe.


RANA

(tertawa kecil)

Untung nggak.

Kalau nyasar ke sana, bisa heboh satu pondok.


LELI

(tertawa malu)

Iya juga, ya...


Suasana mencair.

Leli menyapu perlahan, sementara Rana masih berdiri memegang gelas teh yang kini mulai dingin.



[EXT. HALAMAN PONDOK – PAGI]


Dari arah belakang terdengar suara tawa dua orang santri putra: Andi dan Maman.

Keduanya berjalan membawa ember air, wajah mereka tampak penuh semangat pagi.


Begitu melihat Rana, mereka langsung saling sikut dan tersenyum jahil.


ANDI

(teriak pelan, menggoda)

Cieee... pagi-pagi udah nongkrong di teras!

Biasanya jam segini masih molor tuh!


MAMAN

(bersandar ke tiang bambu, ikut menggoda)

Wah, jangan-jangan teh hangatnya udah dikasih bumbu cinta, ya?


Rana spontan menoleh, wajahnya memerah.


RANA

Ssstt... diem lah kalian!

Orang cuma ngobrol, kok.


ANDI

(obrolan makin seru)

Ngobrol atau nyari alasan buat nunggu dia lewat?


MAMAN

(tertawa kecil)

Hahaha... kayaknya udah mulai naksir, nih!


Rana menahan tawa, tapi juga kikuk.

Sementara itu, Leli mendengar sedikit dari kejauhan dan hanya tersenyum sambil terus menyapu.


RANA

(sambil geleng-geleng)

Kalian tuh ada-ada aja.

Udah sana, bantu di dapur, biar nggak dimarahin Ustadz Kosim.


ANDI

(angkat tangan pura-pura patuh)

Siap, Bang Rana yang lagi kasmaran!


MAMAN

(ketawa)

Kita doain aja semoga “teh pagi” jadi jodoh, hahaha!


Rana hanya bisa menghela napas, tersenyum tipis sambil melihat dua temannya pergi.


[EXT. DEPAN RUMAH USTADZ KOSIM – PAGI]


Leli menatap sekilas ke arah Rana dari balik pohon mangga kecil di depan rumah ustadz.

Ia sempat melihat Rana tersenyum samar, lalu buru-buru menunduk lagi.


Tak lama kemudian, Umi Lilis keluar membawa sapu dan memandang Leli dengan lembut.


UMI LILIS

Sudah, Le, cukup dulu nyapunya.

Sarapan dulu sama Ika dan Tini, nanti bantu Umi ngaji anak-anak kecil.


LELI

Iya, Umi.

(tersenyum malu)

Tadi... sempat kenalan sama santri putra.


UMI LILIS

(tersenyum lembut)

Rana, ya? Anak itu memang sopan.

Cuma agak banyak mikir, hehehe...


Leli tersenyum kecil, pipinya memerah.


LELI

(tersipu)

Iya...

Orangnya ramah, Umi.


UMI LILIS

(dengan nada keibuan)

Hehehe, wajar kalau kalian saling kenal.

Tapi ingat, di pondok ini semua harus tahu batas.

Persaudaraan boleh, tapi jaga adab, ya, Nak.


LELI

(serius, menunduk)

Iya, Umi... Leli paham.


Umi Lilis menepuk bahu Leli dengan lembut lalu masuk ke rumah.

Leli menatap ke arah pondok putra lagi, lalu menghela napas.


[EXT. TERAS BAMBU – PAGI MENJELANG SIANG]


Rana duduk kembali di teras, menatap daun-daun yang mulai berguguran tertiup angin.

Di sampingnya, teh dalam gelas sudah dingin, tapi senyumnya masih tersisa.


RANA (MONOLOG)

(dalam hati)

Entah kenapa, cuma ngobrol sebentar aja rasanya bikin senang.

Kayak... pagi ini nggak biasa.

Pagi yang beda.


Ia tersenyum, menatap arah rumah Ustadz Kosim.

Di kejauhan, Leli terlihat sebentar, sedang menjemur mukena bersama Ika dan Tini.

Angin meniup pelan jilbabnya, menciptakan bayangan indah di bawah sinar matahari yang mulai naik.


Rana menunduk pelan, menatap teh yang tinggal separuh.


RANA (MONOLOG)

(dalam hati, lembut)

Mungkin ini cuma awal.

Awal dari sesuatu yang bahkan aku sendiri belum paham artinya...


NARASI PENUTUP (V.O.)

Pagi itu menjadi awal dari banyak perubahan kecil di Pondok Gubuk.

Embun, tawa, dan pandangan singkat yang sederhana —

semuanya mulai menanam benih perasaan yang belum punya nama.

Dan bagi Rana, setiap pagi setelah itu tak pernah lagi terasa sama.

Anda harus login atau daftar untuk mengirimkan komentar
Komentar (0)