Halaman Author
Kontrol semua karyamu pada halaman author, kamu bisa memublikasikan karya baru atau mengatur karyamu dengan mudah dalam satu tempat.
CINTA DI BAWAH ATAP GUBUK
Suka
Favorit
Bagikan
1. Awal Pertemuan Rana Dengan Leli
Skrip ini masih diperiksa oleh kurator

JUDUL ADEGAN : Kedatangan Santri Baru

PENULIS : Rana Kurniawan


WAKTU: Sore Hari

TEMPAT: Pondok Pesantren Gubuk.



[EXT. HALAMAN PONDOK – SORE]


Langit sore tampak indah, jingga muda berpadu dengan cahaya keemasan yang jatuh di pepohonan jati di sekitar pondok.

Burung-burung kecil berkicau riuh, seolah ikut menyambut sore yang damai itu.

Beberapa santri menyapu halaman, sebagian lagi menjemur sarung, dan ada pula yang duduk melingkar membaca kitab di serambi mushola.


Angin lembut berhembus membawa aroma tanah dan wangi kayu basah.

Suasana pondok begitu tenang — sederhana tapi menenangkan.


Dari kejauhan, terdengar suara motor berhenti di depan gerbang pondok bertuliskan:

“Pondok Pesantren Gubuk – Ikhlas, Ilmu, Amal.”


Turunlah seorang perempuan muda berkerudung abu-abu — Leli.

Tangannya memegang koper kecil dan tas hitam.

Ia tampak gugup tapi berusaha tegar.

Di belakangnya, ibunya, Suamah, ikut turun, membawa bungkusan kecil berisi makanan dan buah tangan dari rumah.


SUAMAH

(tersenyum lembut)

Nah, ini pondoknya, Le...

Yang Ibu ceritain dulu waktu kita ke pasar. Tempatnya tenang, kan?


LELI

(agak gugup, pelan)

Iya, Bu... tenang banget.

Tapi... Leli belum kenal siapa-siapa, Bu.


SUAMAH

(tersenyum, menepuk bahu anaknya)

Namanya juga tempat baru, Nak.

Nanti lama-lama juga punya banyak teman.

Yang penting niatnya ngaji, belajar, sama jaga sopan santun.


LELI

(tersenyum kecil)

Iya, Bu...


Suamah menatap pondok itu sejenak, lalu menepuk pundak anaknya pelan.

Mata Leli menatap sekeliling, kagum melihat para santri yang tampak begitu tertib.

Dari serambi utama, Ustadz Kosim berjalan menghampiri dengan langkah tenang.


USTADZ KOSIM

(tersenyum hangat)

Assalamu’alaikum... ini pasti Leli, ya?


SUAMAH

Wa’alaikumussalam, betul, Kiai.

Anak saya mau mondok di sini.

Mohon bimbingannya, ya, biar jadi anak yang sholehah dan pintar ngaji.


USTADZ KOSIM

(tersenyum lembut)

InsyaAllah, Bu Suamah.

Di sini, semua santri kami anggap keluarga.

Anak panjenengan akan dibimbing oleh saya dan juga Umi Lilis.

Semoga cepat betah di sini, ya, Leli?


LELI

(menunduk sopan)

InsyaAllah, Ustadz... terima kasih.


Dari arah dalam pondok, Umi Lilis muncul.

Ia mengenakan gamis sederhana dan kerudung cokelat muda.

Senyumnya ramah, tatapannya menenangkan.


UMI LILIS

(tersenyum lebar)

Assalamu’alaikum, ini Leli, ya?

Saya Umi Lilis. Nanti kamu tinggal di asrama putri sama teman-teman.

Ayo, ikut Umi, ya.


LELI

(tersenyum malu)

Wa’alaikumussalam, Umi... iya, terima kasih.


UMI LILIS

Kamar kamu sudah siap.

Nanti ada Ika dan Tini yang bantu kamu beresin barang.

Kalau butuh apa-apa, jangan sungkan bilang ke Umi, ya.


Suamah tersenyum bangga melihat anaknya disambut dengan baik.

Ia menatap wajah Leli lekat-lekat, lalu berbicara pelan.


SUAMAH

Belajar yang rajin, Nak...

Jaga diri baik-baik.

Kalau ada apa-apa, kabari Ibu lewat surat atau telepon warung sebelah pondok.

Dan ingat, jangan lupa shalat malam ya, biar hatimu kuat.


LELI

(menahan tangis)

Iya, Bu... Leli janji.


Mereka berpelukan.

Angin sore bertiup lembut, membuat ujung kerudung Leli berkibar pelan.

Suamah menatap wajah anaknya untuk terakhir kali sebelum melangkah pergi, sesekali menoleh dengan senyum haru.


[INT. ASRAMA PUTRI – SORE]


Ruangan sederhana, berdinding bambu dan beralaskan tikar pandan.

Beberapa santri sedang melipat pakaian dan merapikan kasur.

Suasana hangat dan riuh rendah.


Saat Leli masuk bersama Umi Lilis, semua menoleh.


UMI LILIS

Anak-anak, ini teman baru kita.

Namanya Leli. Mulai hari ini dia akan tinggal di sini bersama kalian.


IKA

(tersenyum ramah)

Hai, Leli! Aku Ika, dari Brebes.

Sini, aku bantu bawa koper kamu.


LELI

(tersenyum malu)

Wah, makasih ya, Kak... eh, maksudnya, Ika.


TINI

(ikut menghampiri)

Aku Tini. Kamar kita ini agak sempit, tapi enak kok, adem.

Kalau malam suka kedengeran jangkrik, kayak di kampung.


LELI

(tersenyum lembut)

Hehe... Leli suka kok suasana kayak gini.


IKA

Wah, cocok berarti!

Nanti abis Isya, kita biasanya ngaji bareng.

Kadang juga latihan qasidah kalau Umi Lilis lagi semangat.


TINI

(bercanda)

Iya, asal jangan disuruh nyanyi depan Kiai Kosim, nanti gemetaran semua!


Mereka tertawa kecil.

Suasana mulai akrab.


[INT. BILIK SANTRI PUTRA – SORE]


Di seberang bangunan asrama putri, tiga santri putra — Rana, Andi, dan Maman — sedang duduk jongkok di bilik bambu.

Mereka saling senggol sambil mengintip ke arah halaman putri lewat celah dinding.


ANDI

(berbisik)

Eh, itu tuh, yang tadi sama ibunya.

Cantik ya, baru datang aja kelihatan beda.


MAMAN

Hehe... iya, auranya bukan orang sini.

Bajunya juga masih wangi sabun!


RANA

(tersenyum samar)

Mungkin dari kabupaten sebelah.

Tapi... entah kenapa, matanya tenang banget.


ANDI

Halah, mulai nih si Rana puitis lagi.

Nanti ujung-ujungnya nulis puisi di kitab.


MAMAN

(lucu)

Judulnya “Wajah di Balik Jendela Pondok.”


Mereka bertiga tertawa pelan, tapi tawa mereka langsung terhenti saat terdengar suara berat dari belakang.


USTADZ KOSIM

(muncul tiba-tiba)

Kalian bertiga, ngapain di situ?


Mereka serentak berdiri tegap, kaget.


RANA

Eh... anu, Ustadz...

Kami cuma... ngecek... dinding. Takut bolong.


USTADZ KOSIM

(senyum tipis)

Ngecek dinding, ya?

Atau ngecek santri putri baru?


Andi dan Maman langsung menunduk, nyengir malu.


USTADZ KOSIM

Sudah, sana wudhu.

Nanti habis shalat bantu di dapur.

Kalau mau ngecek, mending ngecek hati kalian dulu.

Biar nggak bocor juga!


Ketiganya serentak menjawab cepat.


BERTIGA

Siap, Ustadz!


[EXT. HALAMAN PONDOK – SENJA]


Senja mulai turun.

Langit ungu berpadu jingga, dan suara adzan Magrib menggema dari mushola kecil.


Leli duduk di tangga asrama putri, memandangi langit.

Tangannya menggenggam mushaf kecil pemberian ibunya.

Dari arah sumur, Rana berjalan sambil membawa ember air.

Sekilas, pandangan mereka beradu.

Seketika dunia terasa hening.


Leli menunduk cepat, wajahnya memerah.

Rana hanya tersenyum samar, lalu berlalu tanpa kata.


NARASI PENUTUP (V.O.)

Sore itu bukan sekadar pertemuan biasa.

Bagi

Leli, itu awal dari perjalanan baru — jauh dari rumah, tapi dekat dengan harapan.

Dan bagi Rana, itu sore pertama di mana hatinya bergetar tanpa alasan.

Di antara tembok bambu dan lantunan doa,

dua hati muda itu mulai belajar — bahwa takdir sering datang dalam diam.


Anda harus login atau daftar untuk mengirimkan komentar
Komentar (0)