Username/Email
Kata Sandi
Alamat Email
Kata Sandi
Jenis Kelamin
INT. RUMAH ARIN - SIANG (CONTINUOUS) (NOVEMBER 2007)
Randi dan Aryo dipersilakan duduk di sofa tamu. Sofa yang mereka duduki sudah usang, lapisan kulitnya sudah banyak robek, memperlihatkan busa di dalamnya. Ibu Arin pergi ke dapur untuk mengambilkan minuman. Randi dan Aryo memandang sekeliling. Tidak ada foto yang ditempel di dinding rumah atau dipajang dengan figura di mana pun.
ARYO
(berbisik)
Ran, si Arin berapa bersaudara?
RANDI
(ikut merendahkan suaranya)
Arin punya satu adek laki-laki, tapi seinget gue dia tinggal sama neneknya. Arin cuma tinggal berdua sama nyokapnya, bokapnya udah nggak ada.
Aryo mengangguk paham. Dia bisa bersimpati dengan keadaan Arin.
Beberapa saat kemudian Ibu Arin kembali membawa dua gelas teh hangat dan setoples kue nastar yang ditaruh di atas sebuah nampan. Diletakkannya jamuan itu di meja tamu. Dibukanya tutup toples kue itu.
IBU ARIN
Ayo silakan. Ini nastar lebaran kemarin.
RANDI
Terima kasih, bu. Maaf ngerepotin.
IBU ARIN
Nggak apa-apa, ibu malah seneng.
Randi dan Aryo saling pandang. Aryo mengedikkan kepalanya sedikit. Randi memutuskan untuk mulai bicara.
RANDI
Jadi begini bu. Maksud kedatangan kami kemari ingin mengetahui kabar Arin. Sudah seminggu dia nggak masuk dan nggak ada surat izin yang diberikan ke sekolah. Apa Arin sakit bu?
Ibu Arin menundukkan pandangannya ke lantai. Ekspresi wajahnya berubah menjadi sedih. Beliau menghela napas panjang.
IBU ARIN
Arin... ada di kamarnya. Tapi Ibu nggak tau dia bisa ditemuin apa enggak...
ARYO
Ada apa Bu? Apa yang terjadi?
IBU ARIN
Ibu juga nggak tahu pastinya. Seminggu yang lalu, Arin pulang ke rumah dengan keadaan menangis. Semenjak saat itu dia nggak mau keluar kamarnya. Dia cuma diam saja ketika Ibu tanya.
RANDI
Bu, kami nggak apa-apa kalau Arin nggak mau ketemu kami. Tapi kami boleh minta tolong, bu? Tolong beritahu Arin kami datang berkunjung.
IBU ARIN
Ibu coba bicara sama dia, ya.
Ibu Arin berjalan ke arah salah satu dari dua kamar yang ada. Beliau mengetuk pintunya yang tertutup.
IBU ARIN (CONT'D)
Rin? Ada temanmu dateng kesini mau ketemu kamu. Ini ada Mas Randi sama Mas Aryo, Rin.
Tidak ada jawaban. Setelah sepuluh menit berusaha, ibu Arin menggelengkan kepalanya pada Randi dan Aryo.
ARYO
Nggak apa-apa, Bu. Kalo gitu kami pamit dulu. Titip salam untuk Arin ya, Bu.
Randi dan Aryo menyalami ibu Arin dan bersiap pamit, namun kemudian terdengar suara dari dalam kamar itu.
ARIN
Ran... Yo...
Ibu Arin, Randi, dan Aryo serentak menoleh ke asal suara. Ibu Arin menghampiri pintu kamar Arin.
IBU ARIN
Rin?
ARIN
(dengan suara pelan)
Biarin Randi sama Aryo di sini, Bu. Arin mau ketemu...
Randi dan Aryo melangkah mendekat ke pintu kamar Arin.
RANDI
Rin, ini kami Rin. Randi sama Aryo. Kamu nggak kenapa-kenapa kan Rin? Kalo kamu ada masalah, kamu bisa cerita sama kami, Rin.
Pintu kamar Arin terbuka. Terlihat Arin yang berpenampilan lusuh. Matanya sembab karena menangis. Randi maju selangkah.
Tiba-tiba Arin berteriak histeris.
ARIN
Jangan ke sini! Mundur!
Randi dan Aryo tersentak kaget. Randi segera mundur sesuai permintaan Arin.
ARYO
(perlahan)
Tenang, Arin. Kami nggak berniat nyakitin kamu.
ARIN
Kalian duduk di situ.
Randi dan Aryo patuh. Mereka berdua duduk di lantai. Sudah jelas bagi mereka bahwa Arin ingin menjaga jarak. Arin sendiri lalu duduk di lantai kamarnya. Dia kemudian menangis sejadi-jadinya. Ibu Arin segera menghampiri dan memeluk anaknya.
Setelah Arin tenang, Ibu Arin membawakannya minum. Arin langsung menenggak segelas teh itu dalam satu tegukan. Dia menghirup napas dalam-dalam, dan dikeluarkannya perlahan.
RANDI
Kamu mau cerita sama kami apa yang terjadi Rin?
ARIN
Gue minta maaf, Ran, Yo. Ini salah gue...
Ibu Arin, Randi, dan Aryo saling pandang. Mereka tidak paham.
ARYO
Maaf kenapa Rin?
ARIN
Gue udah ngambil keputusan sepihak yang salah besar.
RANDI
Maksudnya?
ARIN
Bulan September lalu... gue dipanggil sama Pak Said ke kantornya. Dia bilang kalo dia nggak bisa ngasih izin bimbel ArRa buat lanjut. Tapi dia bilang dia bisa bantu biar kita bisa tetep lanjut... asal gue juga bantu dia.
ARYO
(berdecak geram)
Tipikal.
Randi menoleh ke arah Aryo. Diperhatikannya tangan kanan anak itu mengepal.
RANDI
Lanjutin, Rin.
ARIN
Dia minta gue ngajar privat si Arif. Gue terima, karena gue nggak mau bimbel kita berhenti. Ditambah lagi bayarannya lumayan. Bodohnya gue.
Arin memejamkan matanya. Ekspresi wajah Randi berubah prihatin.
ARIN (CONT'D)
Mulai saat itu gue dateng ke rumah Pak Said setiap Kamis sore. Awalnya pertemuan tutoringnya baik-baik aja. Arif lumayan nurut sama gue. Termasuk ketika gue suruh dia buat ngerjain PRnya sendiri, dengan bantuan gue.
ARYO
Ooh, jadi itu sebabnya dia jarang minta kita ngerjain PRnya akhir-akhir ini!
ARIN
Harusnya gue bisa tau ini lebih awal. Dari pertemuan pertama gue udah nggak nyaman sama Pak Said. Setelah tutoring sama Arif selesai, dia selalu ngajak gue ngobrol. Tentang apa aja, tapi kebanyakan tentang gue dan latar belakang gue. Dia selalu duduk di samping gue, mepet. Gue risih.
Sekarang Ibu Arin yang memejamkan matanya. Randi dan Aryo mulai bisa membayangkan arah cerita Arin. Arin kembali mengambil napas dalam-dalam.
ARIN (CONT'D)
Sampe akhirnya minggu lalu...