Halaman Author
Kontrol semua karyamu pada halaman author, kamu bisa memublikasikan karya baru atau mengatur karyamu dengan mudah dalam satu tempat.
CON'T
Suka
Favorit
Bagikan
13. ACT 93-99

93. int. rumah musa - ruang tengah - afternoon

WAWA sedang asyik menonton film dari channel streaming yang terhubung di smart TV-nya. Ia berselonjor di sofa sambil menaikkan kakinya. Ditemani cappuccino dingin yang ia buat bersama ubi jalar rebus. Memang keduanya bukan kombinasi yang tepat. Tetapi Wawa tampak begitu menikmati sajian itu.

Beberapa jenak kemudian, MUSA muncul dari ruang tamu. Ia berjalan agak lesu. Musa menatap Wawa sebentar yang sedang larut dalam alur cerita film.

Musa hendak ke kamarnya, tetapi tiba-tiba berubah pikiran. Ia lalu mendekati sofa dekat Wawa menyelonjorkan kaki. Musa kemudian duduk.

musa

Wa, menurut kamu kalau cewek nggak merespon pesan dan nggak menjawab telepon, itu biasanya karena apa, ya?

sejenak Wawa mengalihkan pandangan dari layar TV kepada Musa.

wawa

Tergantung, sih.

musa (o.s)

Tergantung apa?

wawa

Yah, biasanya kalau habis beramtem cewek ogah ngasih respon.

Wawa menjawab seadanya lalu kembali memusatkan perhatian pada layar TV.

musa (o.s)

Gimana kalau nggak lagi berantem?

Wawa masih menatap layar TV.

wawa

Hmmm…mungkin nggak mood. Cewek kan pada umumnya moody-an.

musa

(heran) bisa sampai sepekan?

wawa

Kadang malah lebih.

musa

Serius, ah Wa.

Musa tampak cemas. Wawa mengubah posisi selonjornya ke posisi duduk, lalu menurunkan volume TV. Kali ini ia memusatkan perhatian pada Musa.

wawa

Emang kenapa sih kamu tiba-tiba tanya itu? Afrah nggak merespon? Kalian berantem?

musa

Iya. Sudah sepekan lebih Afrah nggak bisa kuhubungi. Teleponku nggak satupun yang dijawab. Dan chat-nya Cuma centang dua, nggak di-read. Tapi kami nggak berantem, kok.

wawa

Pasti ada sesuatu sebelumnya. Mungkin bukan berantem, mungkin kalian ngobrol terus ada sesuatu yang menyinggung perasaan dia.

musa

(berpikir) masa niatanku melamar dia bikin dia tersinggung?

Musa tampak bingung.

Sepasang mata Wawa membulat.

wawa

Tunggu! Tadi kamu bilang apa? Melamar dia? Kamu udah ngomong sama Afrah?

musa (o.s)

Udah.

wawa

Ngomong langsung gitu?

musa

Iya. Aku bilang ke dia kalau aku mau serius. Aku mau melamar dia.

wawa

(curiga) terus Afrah bilang apa?

musa

Dia bilang butuh waktu untuk bicara dengan orang tuanya.

wawa

(berpikir) mungkin dia memang butuh waktu. Itu wajar buat orang yang pernah gagal dalam pernikahan sebelumnya.

musa

(lesu) terus sekarang aku harus gimana?

wawa

Menunggulah, apalagi?

Musa terdiam sejenak.

musa

Atau gimana kalau aku datangi saja orang tuanya? Ketemu langsung.

wawa

(menepuk jidat) jangan lebay deh, Mus. Kan dia bilang butuh waktu, ya udah kasih dia waktu.

musa

Kalau lama, gimana? Aku mungkin sulit menahan perasaanku.

Wawa melongo lalu dengan cepat menegakkan duduknya.

wawa

Kamu sejak kapan sih jadi lebay kayak gini? Kamu itu laki, nggak usah baper berlebihan, deh.

wawa (cont’d)

Aku sebenarnya agak malas ngomong hal-hal klise, tapi menurut aku yang harus kamu lakukan sekarang adalah menunggu, plus berdoa. Segala hal yang memang untuk kamu pasti bakal datang ke kamu di waktu yang paling tepat.

94. ext. rumah musa – depot isi ulang air minum musa - morning

Satu lagi pekan berlalu tanpa sepotong pun kabar dari Afrah. Sebenarnya dalam hati MUSA merasa sangat gelisah dan mulai kehilangan kesabaran. Tapi ucapan WAWA membuatnya berusaha menahan diri untuk tidak mendatangi rumah Afrah walau ia sangat ingin.

Ia sering terlihat menatap layar ponsel dengan perasaan gamang. Sesekali menghela napas berat, seolah baru saja keluar dari ruang pengap.

Musa berusaha mengalihkan pikirannya dengan bekerja. Untungnya setiap hari orderan di depot isi ulangnya kian bertambah. Ia jadi bisa menyibukkan pikirannya. Sejak sebulan lalu Musa merekrut karyawan untuk membantunya. Meski begitu, ia tetap saja kerepotan menangani orderan yang terus bertambah.

Di samping usaha pengisian ulang air minum itu, Musa juga masih menerima permintaan service laptop dan komputer.

95. ext. pasar – moments later

MUSA bersama salah satu karyawannya sedang mengantar galon ke beberapa lapak di pasar. Seperti biasa, dengan mengendarai triseda mereka membawa galon-galon itu menuju ke pasar dan mengantarkannya pada langganan yang memesan melalui aplikasi WhatsApp.

Setelah mengantarkan galon ke enam lapak berbeda, mereka akhirnya tiba di sebuah lapak pedagang beras. Pemiliknya adalah seorang haji keturunan Arab. Di lapak itu juga keluarga Musa langganan membeli beras.

Musa turun dari triseda dan bergegas menyalami PAK HAJI.

musa

Assalamu alaikum, pak haji.

Pak Haji menyambut salaman Musa sambil tersenyum.

pak haji

Walaikum salam. 

Musa memberi isyarat pada karyawannya untuk menurunkan gallon dari triseda.

Pemuda tinggi itu pun turun dari triseda lalu mengangkat gallon dan meletakkannya di salah satu sudut lapak Pak Haji.

pak haji

Gimana kabar, Musa? Sehat-sehat?

Itu pertanyaan yang tidak pernah lupa ditanyakan pak haji, meskipun mereka baru bertemu beberapa lalu.

musa

Alhamdulillah, sehat pak haji.

pak haji

Alhamdulillah. Oh, ya Musa, tolong sekalian diantar ke masjid, ya? kata merbotnya galonnya udah kudu diisi.

musa

Siap. Pak haji.

Pak Haji menarik lembaran uang dari saku, membuka lipatannya, menghitung sebentar, lalu menyerahkan pecahan dua puluh ribu pada Musa.

pak haji

Ini uangnya, sekalian sama yang di masjid, ya?

Musa mengambil uang dengan sikap santun.

musa

Iya, pak haji.

96.  ext. pasar — moments later

Setelah mohon diri pada pak haji, ketika hendak naik kembali ke triseda, perhatian Musa tersita oleh kedatangan seorang lelaki yang baru saja keluar dari sebuah mobil mewah.

Lelaki itu tampak sebaya dengan pak haji. Segera saja lelaki itu mendekati pak haji. Memberi salam bahkan memeluk pak haji dengan akrab.

Sejenak, Musa terpaku. Ia mengamati lelaki itu selama beberapa saat. Musa yakin mengenal lelaki itu. Setelah beberapa saat mengingat-ingat, Musa tersentak. Seolah baru saja disengat listrik beberapa ribu volt.

Tanpa buang tempo Musa segera menghampiri lelaki itu.

musa

Assalamu alaikum, om.

abba afrah

Walaikum salam (tersenyum ramah)

musa

Om masih ingat saya? Saya Musa, om.

abba afrah

(bingung) Musa?

musa

Iya, om. Temannya Afrah waktu SD.

seketika muncul sinyal mengenali dari Abba Afrah.

abba afrah

Oh, iya, iya. Saya ingat sama kamu. Teman Afrah yang juara kelas itu, kan? Yang sering masuk rumah sakit?

musa

Iya, om.

abba afrah

Masyaallah, bagiaman kabar kamu sekarang?

musa

Alhamdulillah, sehat om.

Jeda sejenak saat Musa berpikir. Dalam benaknya, pertemuan tak disengaja itu adalah sebuah takdir. Ia mungkin sebaiknya menggunakan kesempatan itu untuk mengobrol serius dengan Abba Afrah.

Musa kemudian berinisiatif untuk meminta izin pada Abba Afrah untuk bicara berdua saja.

Untuk sejenak, Abba Afrah tampak bingung dan nyaris menolak permintaan itu.

abba afrah

Sebenarnya sekarang saya sedang ada urusan, nak Musa. Kalau bisa, nak Musa datang saja ke rumah supaya kita bisa bicara.

musa

Sekarang saja, om. Saya janji nggak akan lama.

Musa agak memohon.

abba afrah

(berpikir) gimana, ya?

musa

(memelas) tolong, om. Sebentar saja. Saya benar-benar butuh bicara sama om.

abba afrah

(menghela napas) ya sudah, kamu tunggu sebentar di sini, ya. saya selesaikan dulu urusan saya sama pak haji.

musa

(lega) iya, om. Makasih, om.

97.  ext. pasar — moments later

Abba Afrah tersenyum ramah lalu mengangguk.

Abba Afrah kemudian melanjutkan perbincangannya dengan pak haji yang sempat terputus.

Sementara Musa menghampiri karyawannya di triseda, meminta supaya pemuda itu menunggunya. Pemuda itu menurut.

Setelah hampir sejam kemudian, Abba Afrah mohon diri pada pak haji. Ketika melihat Musa menunggunya tidak jauh dari lapak pak haji, ia teringat permintaan Musa untuk berbicara dengannya.

Abba Afrah pun segera menghampiri Musa.

abba afrah

Maaf ya kamu menunggunya lama.

musa

(mengangguk santun) nggak apa-apa, om. Kan tadi memang saya meminta waktu.

abba afrah

Jadi ada apa, nak Musa? Apa hal penting yang mau dibicarakan?

Musa membersihkan tenggorokannya karena gugup.

musa

Begini, om saya mau bicara tentang Afrah.

abba afrah

Afrah? Ada apa sama Afrah?

98.  ext. pasar — continous

Musa lalu meceritakan segala hal yang terjadi antara dirinya dengan Afrah. Bagaimana mereka kembali bertemu, dan perlahan menjadi dekat.

Lalu tibalah pada bagian di mana Musa menyampaikan niatnya untuk serius dengan hubungannya dan Afrah.

Tiba-tiba Abba Afrah menyela.

abba afrah

Tunggu dulu, nak Musa.

 Suara Abba Afrah terdengar berat dan seperti menyimpan kemarahan.

abba afrah (cont’d)

Afrah tidak cerita kalau dia sudah menikah.

musa

Afrah cerita, om. Tapi saya tidak keberatan dengan statusnya sebagai janda.

Wajah Abba Afrah mengeras.

abba Afrah

Afrah bukan janda, nak Musa.

Seketika Musa terperanjat.

musa

Ya? gimana, om?

Musa memasang tampang bloon.

abba afrah

Afrah masih berstatus istri. Pernikahannya memang sedang dalam masalah, dan sekarang masih dalam keadaan pisah rumah.

abba afrah (cont’d)

Tapi Afrah belum bercerai. Kami sekeluarga masih berupaya supaya tidak ada perceraian.

Musa terpaku. Dadanya bergemuruh seolah baru saja dihantam badai.

musa

Tapi… Afrah bilang dia sudah cerai.

Suara Musa terdengar bergetar.

abba afrah

Saya pribadi tidak tahu apa saja yang sudah Afrah bilang pada nak Musa. Tapi saya tegaskan pada nak Musa kalau Afrah belum bercerai, dan masih berstatus istri.

abba (cont’d)

Saya menghargai niatan nak Musa tadi, tapi itu jelas tidak mungkin untuk dilaksanakan.

musa

Iya, om. Saya paham…

99. ext. pasar — continous

Sambil menahan kecamuk dalam dadanya, Musa mohon diri pada Abba Afrah. Musa menyalami lelaki paruh baya itu dengan santun.

Abba Afrah menepuk pelan Pundak Musa ketika mereka bersalaman, menunjukkan keprihatinan.

 

Anda harus login atau daftar untuk mengirimkan komentar
Komentar (0)