Halaman Author
Kontrol semua karyamu pada halaman author, kamu bisa memublikasikan karya baru atau mengatur karyamu dengan mudah dalam satu tempat.
CON'T
Suka
Favorit
Bagikan
5. ACT 31-38

31. int. kafe - day

Menjelang pukul satu, AFRAH tiba di kafe itu. Ia langsung masuk dan mengambil tempat di salah satu meja yang berdekatan dengan jendela. Setelah duduk, ia mengeluarkan ponsel lalu mengirimkan pesan teks pada MUSA untuk memberitahu keberadaannya sekaligus mengirimkan lokasi kafe itu.

Seorang waitress muncul sejenak kemudian untuk menanyakan pesanan Afrah.

afrah

Minta air mineral aja, dulu mbak. Soalnya aku lagi nunggu orang.

waitress

(tersenyum ramah) Oh, iya kak. Mohon tunggu sebentar, ya?

 

Setelah waitress itu beranjak, Afrah kembali menengok ponselnya untuk melihat jam. Kemudian ia mengedarkan pandangan. Di kafe bergaya retro itu, terdapat tiga lusin meja dengan kursi yang jumlahnya dua kali lipat. Tersusun dengan rapih, mirip satu sama lain.

Kafe di siang itu tidak terlalu ramai. Hanya beberapa meja yang terisi. Sebuah lagu berbahsa Indonesia sayup-sayup terdengar. Afrah tak tahu lagu itu. Sudah lama ia tidak lagi meng-update musik terbaru.

32. int. kafe - continous

Setelah menunggu selama hampir sepuluh menit, MUSA akhirnya muncul. Pada kesempata itu, Musa berpenampilan lebih rapi daripada biasanya. Ia mengenakan kemeja berwarna hitam yang lengannya digulung hingga ke siku dipadu celana danim hitam. Rambut sebahunya dikuncir rapi ke belakang.

musa

(duduk) udah lama nunggu, ya?

afrah

Nggak kok. Baru juga sepuluh menit.

musa

Tadi sekalian ngaterin adek dulu ke kampus.

afrah

Adek kamu yang mana?

musa

Yang bungsu. Namanya Kinara, dipanggil Kinkin.

aflah

(tertawa geli)

kalian bersaudara unik, ya? Nama panggilannya lucu-lucu.

aflah (cont’d)

Mulai dari kak Wawa, nama aslinya kan Pandan Wangi, dipanggilnya Wawa. Terus adik kamu yang cowok itu, (mengingat-ingat) Ale, siapa nama aslinya?

musa

Ali Topan.

afrah

Ya, itu. Terus adek kamu yang tadi kamu sebutin, Kinara panggilnya Kinkin. Unik banget tau nggak.

Percakapan terpotong oleh kehadiran waitress yang menanyakan pesanan mereka.

afrah

(kepada waitress) iya, mbak saya mau pesan frapuccino sama croissant.

waitress

(kepada Musa) kalo masnya mau pesan apa?

musa

Kopi hitam satu, ya mbak.

waitress

(mencatat) ada lagi, mas?

musa

Donat ada nggak?

waitress

Donat ada, mas. Mau varian rasa apa?

musa

Donat gula.

waitress

(bingung) maaf, mungkin yang masnya maksud plain sugar?

musa

Iya, mbak yang itu. Sama tolong air es ya, mbak.

waitress

Oke, mas. (mencatat) ada lagi, mas, mbak?

 

afrah

Segitu aja dulu, mbak.

waitress

Baik, mbak. Mohon ditunggu, ya?

 

Sang waitress kemudian beranjak.

afrah

Kesukaan kamu masih belum berubah, ya? donat gula.

musa

(tertawa) yah, nggak tau kenapa dari sekian banyak cemilan di muka bumi, aku kepincut sama yang satu itu.

Afrah ikut tertawa.

afrah

Oh, ya lanjut tadi tentang adek kamu…Kina

musa

(meralat) Kinkin.

afrah

Iya, Kinkin sorry. Dia kuliah jurusan apa?

musa

Manajemen Keuangan dan Perbankan.

afrah

Wih, keren dong. Kalau kamu gimana? Kamu kuliah?

Musa tampak agak jengah dengan pertanyaan Afrah, tapi ia berusaha menyembunyikannya.

musa

Iya, udah lama lulus.

afrah

Jurusan apa?

musa

Informatika. Lulusnya rada telat, sih.

afrah

Kenapa? Jurusan itu susah ya?

musa

(mengusap wajahnya) bukannya susah, nggak tau kenapa waktu itu aku ogah-ogahan masuk kuliah. Sekali dua kali nggak masuk, ehh malah keterusan.

Percakapan mereka kembali terpotong oleh kedatangan waitress yang membawa pesanan.

waitress

(meletakkan semua pesanan di atas meja satu per satu) silakan, mbak, mas.

musa & afrah

Makasih, mbak.

 

Sang waitress mengangguk santun, kemudian beranjak meninggalkan Musa dan Afrah.

Lantaran tidak ingin Afrah melanjutkan ‘wawancara’ seputar kehidupan Musa yang membuatnya agak bosan, Musa berinisiatif mengubah topik pembicaraan sebelum Afrah menyadarinya.

musa

Nggak nyangka, ya kita bisa ketemu lagi setelah bertahun-tahun lost contact. Benar-benar sebuah anugrah.

afrah

(tersipu) oh ya? jadi buat kamu ketemu aku lagi adalah sebuah anugrah?

musa

Iyalah. Kamu itu teman kecil aku yang paling baik, paling sabar. Meskipun aku sudah bentak-bentak, kamu tetap aja baik.

afrah

(cekikikan) iya ya, dulu kamu kayak pemarah banget, ya.

musa

(menghela napas) yah, mau gimana? Sifat pemarahku itu efek dari transfusi darah yang aku jalani. Kayaknya pendonornya tukang marah-marah deh.

afrah

(merenung sejenak) kalau diingat-ingat, dulu kamu yang paling banyak nggak hadirnya.

musa

Iya, sampai kita lulus SD, kayaknya udah nggak kehitung berapa kali aku keluar masuk rumah sakit.

afrah

(menghela napas) yah, dan kamu tau nggak, waktu SMP aku sempat hilang harapan begitu diberitahu kamu dirawat di RS lagi.

(beat)

Katanya kondisi kamu mengkhawatirkan dan kemungkinan besar nggak akan selamat.

afrah (cont’d)

Yang paling bikin aku frustrasi adalah waktu itu aku dikirim abba mondok ke Banten, jadi aku nggak lagi bisa update kondisi kamu. (beat) jujur, aku sempat berpikir kalau kamu benar-benar nggak berhasil selamat.

musa

(tersenyum) Well…I’m still alive. Seperti yang kamu lihat. Hidup dan sehat.

afrah

Ya, dan aku seneng banget. Rasanya tuh, kayak…

Afrah berusaha memikirkan kalimat dalam kepalanya.

afrah (con’t)

Kayak…salah satu impian besarku terkabul…

Afrah meraih cangkir kopi miliknya dan pelan-pelan menyesapnya.

musa

Sebuah keajaiban aku berhasil melewati masa-masa kritis yang menurut dokter besar kemungkinan seorang thaller tidak akan bertahan.

afrah

(bingung) Thaller?

musa

Itu istilah yang dipakai orang-orang untuk menyebut penderita Thallasemia.

afrah

(mengangguk) Terus sekarang gimana? Apa kamu masih sering sakit?

musa

Alhamdulillah udah nggak lagi.

afrah

(heran) Apa kamu menjalani perawatan atau semacamnya?

musa

(menggeleng) normalnya, penderita Thallasemia sepertiku memang harus menjalani perawatan khusus untuk bertahan hidup. Minimal tranfusi darah rutin, atau kemoterapi, atau bahkan cuci darah rutin.

musa (cont’d)

Tapi tidak satu pun dari itu yang kujalani. Bahkan terakhir kali aku tranfusi darah itu waktu aku lima belas tahun.

afrah

Ajaib, ya?

musa

(tersenyum) oh ya?

 

Kata ‘ajaib’ itu tahu-tahu memantik kenangan dalam benak Musa. Mengingatkan dirinya tentang masa-masa sulit ketika ia berjuang menahan gempuran penyakitnya.

 

CUT TO:

 

 

33. int. ruang perawatan kelas 3 RS regional - afternoon – (flashback)

Tahun 1998

IBU saat itu masih berumur tiga puluhan, wajahnya tampak lelah karena kurang istirahat. MUSA KECIL yang masih berumur tujuh tahun, tampak tirus dan pucat. Kedua tangan kurusnya terkulai di kasur dengan satu lengan ditembusi jarum infus, yang satu lagi jarum transfusi darah. Musa kecil tidak tidur, hanya terlalu lemah melakukan apa-apa bahkan untuk membuka mata.

Ibu duduk di kursi plastik dekat tempat tidur Musa kecil, tampak tak berdaya dan pasrah menyaksikan keadaan Musa.

ibu

Sakit, ya?

Musa kecil menggeleng pelan, lalu pelan-pelan membuka mata.

musa kecil

Cuman lemes, bu…

 

Sebenarnya bukan sakit yang Musa rasakan. Pada beberapa bagian, ia hanya merasakan nyeri. Selebihnya Musa merasa lemas, dan tidak sanggup menggerakkan anggota tubuhnya dengan bebas.

ibu

Sabar, ya? kata dokter tunggu hasilnya dulu.

Musa kecil menghela napas lemah sambil berusaha menatap sosok ibu.

 

musa Kecil

Mau cepat pulang…

ibu

Iya, nanti kita pulang, ya?

 

34. int. ruang dokter rs regional – day – (flashback)

Tahun 2002

BAPAK dan IBU duduk di depan meja dokter. Hari itu mereka dijadwalkan untuk bertemu DOKTER HERI guna mendengarkan hasil laboratorium pemeriksaan Musa beberapa pekan sebelumnya.

Seperti selalu, wajah Bapak tampak tenang. Meskipun dalam hati ia sebenarnya cemas. Dalam benak bapak bertanya-tanya, mengapa Dokter Heri perlu bertemu dengan kedua orang tua pasien. Mestilah ada sesuatu yang buruk dari hasil pemeriksaan itu.

Sementara ibu tampak kelelahan dan kesulitan bergerak. Itu dikarenakan kehamilan Ibu yang kini memasuki bulan kelima. Dokter Heri menatap ibu sebentar lalu tersenyum penuh perhatian.

 

dokter heri

(kepada Ibu) Sudah berapa bulan, bu?

ibu

(berusaha tersenyum)

Masuk lima bulan, dok.

dokter heri

Ini yang keberapa?

ibu

Yang keempat, dok.

dokter heri

Alhamdulillah. Ibu rajin-rajin kontrol, ya? Aktivitas ibu, kan berat. Harus bolak-balik jaga anak di rumah sakit, belum lagi harus mengurus segala sesuatu di rumah.

dokter heri (cont’d)

Ngomong-ngomong, kalau boleh tahu Musa anak keberapa, ya?

ibu

Anak kedua, dokter.

dokter heri

Kakaknya Musa sehat?

ibu

(bingung) sehat, dok. Alhamdulillah.

Dokter Heri terdiam sehenak. Tampak berpikir.

dokter heri

Apa kakak atau adiknya Musa ada yang pernah sakit seperti Musa, atau pernah menunjukkan gejala semacam itu?

Bapak dan Ibu saling pandang. Wajah mereka menyiratkan kekhawatiran atas kemungkinan terburuk yang akan disampaikan Dokter Heri.

ibu

Kakak dan adiknya sehat, dok. Malahan jarang sakit.

dokter heri

(mengangguk tanda mengerti) Jadi begini, bapak dan ibu, apa yang akan saya sampaikan mungkin tidak terlalu melegakan.

ibu

Saya sudah pasrah, dokter. Yang penting saya bisa tahu dulu anak saya sebenarnya sakit apa. Ini sudah hampir sepuluh tahun kami bolak-balik rumah sakit dan belum dapat hasil yang pasti.

dokter heri

Jadi, berdasarkan hasil laboratorium Musa mengidap Thallasemia kategori mayor.

Ekspresi ibu tampak tegang bercampur bingung. Ibu menoleh pada Bapak selama beberapa detik lalu kembali kepada Dokter Heri.

ibu

Itu penyakit apa, dokter?

dokter heri (o.s)

Secara singkat, Thallasemia itu penyakit kelainan darah resesif dimana penderita mengalami ketidakseimbangan memproduksi sel darah merah…

Dokter Heri melanjutkan penjelasan Panjang lebar tentang penyakit Thallasemia.

ibu

(dengan getir) ya Allah…

 

Setelah itu Dokter Heri menjelaskan lebih jauh tentang perawatan penyakit tersebut yang membuat Bapak dan Ibu tidak tahu lagi bagaimana harus menanggapi ucapan sang dokter.

Tak pernah mereka membayangkan berada dalam situasi berat semacam itu.

35. int. ruang perawatan kelas 2 rs regional – night – (flashback) 

Tahun 2002

MUSA REMAJA berbaring di ranjang perawatan dan menjalani transfusi darah untuk kesekian kali. Tubuh kurusnya tampak tidak terlalu pucat. Tetapi sejak tadi ia merasa gelisah lantaran rasa gatal yang mengganggu di pelirnya. Ia ingin sekali menggaruk tetapi kedua tangannya terikat di selang infus dan selang transfusi. Tidak mungkin juga meminta bantuan pada perawat untuk menggaruk bagian itu. Sementara Ibu belum juga kembali dari ruang dokter.

Barangkali inilah siksaan yang paling berat dalam semua proses perawatan yang ia jalani selama bertahun-tahun. Rasa gatal hebat yang tidak bisa digaruk.

36. int. ruang perawatan kelas 2 rs regional – night – (flashback)

Tahun 2006

Satu pekan setelah kenaikan kelas dan mendapatkan rangking satu di kelas, MUSA REMAJA kembali menjalani tranfusi darah. Musa berbaring di ranjang, seperti biasa terikat pada selang infus dan selang tranfusi darah.

Musa sempat tertidur selama beberapa jam. Ketika membuka mata, dilihatnya IBU sedang duduk di tepi ranjang sebelah kanan, sementara BAPAK duduk di kursi plastik di samping ranjang. Wajah keduanya tampak muram.

Ibu memandang Musa dengan tatapan yang nyaris kosong. Sedih, khawatir, takut, semua perasaan itu seakan diperas menjadi satu.

Kurang dari satu jam yang lalu Bapak dan Ibu meninggalkan ruangan Dokter Heri. Kalimat sang dokter terus terngiang dalam benak Ibu.

dokter heri (O.s)

Sepertinya ini waktu yang tepat untuk membimbing Musa untuk lebih dekat pada Tuhan. Dia bisa salat, kan? Ibu dan Bapak mohon bimbing Musa untuk banyak-banyak ibadah, banyak-banyak mengingat Tuhan.

37. int. ruang dokter rs regional – afternoon – (flashback)

Ibu sadar, ucapan dokter itu adalah isyarat bahwa usia Musa tampaknya takkan lama lagi.

 dokter heri (o.s) (cont’d)

Transfusi darah tampaknya tidak lagi banyak membantu. (jeda) ada cara yang mungkin bisa membantu. Tapi perawatan ini agak makan biaya.

bapak

Kalau bisa kami usahakan pasti akan kami lakukan, dokter.

dokter heri

Kalau Bapak dan Ibu menyanggupi, kita bisa lakukan cuci darah rutin.

Baru mendengar kata itu saja Ibu sudah merasa persendiannya melemas.

dokter heri (o.s)(cont’d)

Biasanya keluarga kurang mampu mengajukan permohonan bantuan dana kesehatan pada pemerintah. Mungkin untuk saat ini Bapak dan Ibu upayakan dulu untuk mengurus surat keterangan tidak mampu.

Selama beberapa saat Ibu terdiam dan menatap Musa dengan kesedihan mendalam. Ibu kemudian meraih tangan Musa dan menepuknya pelan.

ibu

Ibu cuma kepingin kamu hidup. Ibu ndak minta macam-macam.

musa remaja

(menatap ibu dengan sedih)

Apa aku akan mati, bu? Apa itu yang dokter bilang pada ibu? Kalau aku akan mati?

bapak

Hidup dan mati manusia itu Allah yang punya kuasa menentukan. Penyakit itu hanya menjadi asbab ajalnya seseorang.

Musa mencoba memahami kata-kata Bapak. Ibu berusaha menahan isak.

ibu

Hidup terus, ya nak. Cuma itu yang ibu minta.

ibu (cont’d)

Ibu ndak berharap yang muluk-muluk, kamu tetap hidup saja sudah cukup buat ibu. Hidupmu belum boleh berhenti di sini. Teruslah hidup, nak.

CUT TO:

 

CUT BACK TO:

38. int. kafe - afternoon

MUSA dan AFRAH masih duduk di kafe menjelang petang itu sambil menikmati cangkir kedua mereka. Afrah dengan setia mendengar kisah Musa tentang perjuangannya menjalani perawatan selama bertahun-tahun.

afrah

Aku kagum sama kekuatan dan keberanianmu menghadapi penyakit seberat itu.

afrah (cont’d)

Dan lebih kagum lagi sama ibu kamu yang seolah tanpa lelah merawat dan menjaga kamu.

musa

Ya, barangkali itulah yang membuatku bisa terus bertahan hidup, meskipun tidak menjalani perawatan apapun bagi seorang Thaller.

afrah

Kira-kira kamu masih mengidap penyakit itu?

musa

Mungkin. Aku nggak yakin juga. Soalnya sudah lama sekali aku nggak pernah merasa sakit seperti itu.

afrah

Kamu nggak pernah check-up ke dokter lagi?

musa

Yah, udah nggak lagi sejak bertahun-tahun lalu.

afrah

Kamu nggak mau coba check-up untuk memastikan?

musa

Mungkin, suatu hari kalau memang perlu.

 

Anda harus login atau daftar untuk mengirimkan komentar
Komentar (0)