Halaman Author
Kontrol semua karyamu pada halaman author, kamu bisa memublikasikan karya baru atau mengatur karyamu dengan mudah dalam satu tempat.
Cerita Ini Belum Berjudul
Suka
Favorit
Bagikan
12. Scene #56-60

56. EXT. RUMAH ALINA (2018) — MALAM

Alina membuka pagar, tapi gerakan dia berhenti. Belum juga Alina masuk, dia bisa mendengar suara ribut dari dalam.

FARAH
Sudah cukup, malu sama tetangga!
HASSAN
Saya itu capek seharian kerja!
FARAH
Iya, ya sudah, maaf! Saya cuman nanya ada uang untuk beli beras atau tidak, itu saja!

Alina terkejut saat ada bunyi beling pecah. Dia menutup pagar lalu jongkok diluar sambil memeluk koper. Alina mengelus tanda perjalanan ke Bali yang dipasang di kopernya.

CUT TO:

57. EXT. KORIDOR KAMPUS (2019) — SIANG

Alina keluar dari dalam kelas mengenakan kemeja putih dan rok hitam. Dia menghembuskan napas lega. Alinka langsung menyerbunya.

ALINKA
Gimana, gimana, sukses?
ALINA
Pertanyaannya kejawab semua sih.
ALINKA
Aduh, aku tambah deg-degan.
ALINA
Nggak apa-apa, pasti bisa. Kita sudah banyak belajar. Skripsi juga ditulis sendiri, pasti bisa.
ASISTEN DOSEN #1
Alinka!
ALINKA
Aduh, namaku kenapa harus dari A, sih? Kenapa harus di bawah kamu?
ALINA
(tertawa)
Ya, gimana, namanya juga Alina dan Alinka.

Alinka merapihkan baju, lalu memberikan jempol ke Alina yang dibalas dengan jempol juga.

Alina berjalan ke pojok lorong yang sepi. Dia mengeluarkan HP dari saku rok. Lalu Alinka menghubungi ibunya.

ALINA
Halo, ma? Sudah selesai. Alina bisa.
FARAH
Alhamdulillah! Kamu lulus, nak?
ALINA
Pengungumannya nanti sore, tapi lulus sih pasti.
FARAH
Bagus, bagus. Selamat ya, anak mama memang pintar semua.
ALINA
Soal kelulusan gimana? Graduation Alina.

Alina menggigit bibir saat masih belum ada jawaban. Dia memainkan debu di jendela.

ALINA

Ma?
FARAH
Masih belum ada, sayang. Mahal banget biayanya. Apa benar tidak bisa dicicil?
ALINA
Nggak. Ini kan buat graduation. Harus sewa gedung. Jadi harus satu kali bayar. Terakhir bulan depan loh, ma.
FARAH
Iya, mama tahu. Sabar saja ya. Masih satu bulan lagi kan? Alina nanti gimana pulangnyaa, semua barang di kost sudah rapih?
ALINA
Sudah. Alina nggak bawa banyak barang. Paling nanti yang di dus Alina kirim saja, nggak bawa sendiri.
FARAH
OK, hati-hati ya, nak.

CUT TO:

58. INT. RUMAH SEDERHANA ALINA (2019) — MALAM

Alina sibuk membuat CV. Dia duduk di ruang tamu saat ayahnya pulang. Dia masuk dengan langkah yang sudah ringkih, capek. Alina mendengar ayahnya berbisik dengan ibunya.

Hassan masuk ke kamar, lalu keluar dengan baju yang sudah diganti. Dia duduk di meja makan yang terlihat dari ruang tamu. Wajahnya lelah, saat mau duduk saja seperti susah.

HASSAN
Alin, bayar graduation kamu itu kapan?
ALINA
Terakhir dua hari lagi.
HASSAN
Papa belum ada uangnya, gimana ya?
ALINA
Terus?
HASSAN
Iya, papa ada. Tapi baru sedikit. Dan buat graduatuon Abian.
ALINA
Abian graduation masih lama. Cuman graduation SMA lagi. Memangnya semahal apa?
HASSAN
Dia sekolahnya kan memang swasta, mahal.
ALINA
Salah siapa?
HASSAN
Yeh, dengerin dulu. Jadi, karena papa uangnya juga belum ada buat bayar graduatuon kamu, bayarnya punya Abian dulu. Cukupnya buat dia.
ALINA
Terus aku gimana? Masa aku nggak datang?
HASSAN
Itu, kamu kan punya laptop. Digadai dulu, lah. Pasti cukup uangnya buat bayar. Kamu ngalah saja sama Abian.

Alina menghembuskan napas kesal. Dia menekan enter dengan kuat berkali-kali. Apa yang dia tulis di CV-nya jadi berantakan.

HASSAN

Ayolah, mengalah dulu. Lagian mau gadai apa lagi?
ALINA
Untuk bayar uang kuliah terakhir Alina, Alina harus gadai HP. Sampai aku kesusahan karena ketinggalan info dan jadwal kelas. Padahal semester akhir. Aku susah juga konsul ke dosen pembimbing. Abian sudah lulus, kan? Belum bisa masuk kuliah dulu, kan? Kenapa nggak gadaikan HP-nya?

Hassan memijat kening. Farah yang duduk di sebelahnya melotot ke arah Alina agar dia berhenti.

HASSAN
Mana mau anaknya? HP Abian juga HP jaman dulu. Nggak akan laku besar. Malah rugi nantinya. Kalau laptop kamu masih ada harganya. Nanti juga papa janji langsung tebus lagi.

Alina menutup laptop sedikit keras.

ALINA
Terserah.

Dia berdiri dan hendak berjalan ke dalam kamar. Tapi berhenti karena Hassan marah dan melempar sendok kasar.

HASSAN
Ini anak benar-benar! Kamu itu susah sekali diurus, dibilangin, ya?! Kamu mau jadi sih, hah? Sudah sok sekarang, sudah jadi sarjana jadi sok? Iya? Pergi sana! Pergi keluar dari rumah saya kalau sudah tidak suka lagi di sini. Dikasih tahu, diomongin baik-baik malam melunjak. Kamu pikir kamu siapa, hah? Sudah bisa hidup sendiri? Keluar sana! Hidup sendiri, cari rumah sendiri, cari makan sendiri.

Hassan berdiri sambil mendorong kursi ke belakang. Alina berdiri dengan wajah bingung dan tak suka.

ALINA
Apa, sih? Terus aku harus jawab apa? Aku juga biasa saja bicaranya.

Hassan mendekat ke Alina dengan wajah marah dan emosi. Dia menunjuk-nunjuk Alina sambil melempar barang yang dia bisa ambil. Farah di belakang memohon agar berhenti.

FARAH
Sudah, pa. Sudah, sudah! Sudah, malu itu didengar tetangga!
HASSAN
Biarin saja! Ini anak nggak tahu diri!

Kita melihat Abian menutup wajah dengan bantal di kamar.

HASSAN
Kamu itu anak kurang ajar, nggak tahu diri! Diurusin malah melunjak. Terlalu dimanja tahu nggak, hah?

Hassan mendorong-dorong wajah Alina ke samping seperti gerakan menampar tapi tidak memukul.

HASSAN
Keluar sana! PERGI!
FARAH
Sudah, pa! Kamu sudah gila? Sudah!

Farah menyuruh Hassan pergi. Hassan mendorong kepala Alina ke belakang di kening.

HASSAN
Kurang ajar, kamu! Urus diri sendiri kamu!

Dia masuk kamar. Farah berdecak dan menghembuskan napas lelah. Dia melihat Alina yang wajahnya datar, tidak ada reaksi sama sekali, lalu masuk kamar. Alina melihat di kamar Amira sudah menangis. Alina kembali duduk di ruang tamu seperti tidak terjadi apa-apa.

Tak lama, Alina masuk ke kamar yang sudah gelap. Dia naik ke kasur, lalu mendengar ibunya menangis.

FARAH
Papa kalian itu kenapa, sih?

Alina menutup mata.

ALINA (V.O)
Aku juga penasaran. Sebenarnya ada apa? Bukankah seharusnya aku yang marah?

CUT TO:

59. INT. GEDUNG AULA BANDUNG (2019) — PAGI

Alina berdiri di antara mahasiswa lain yang akan diinagurasi. Alina mengenakan kebaya seadanya dan riasan wajah sederhana. Dia mendegnarkan pidato kepala dekan bicara. Lalu, acara graduasi dimulai. Satu per satu nama mahasiswa dipanggil.

Alina dipanggil naik, lulus dengan cum laude, dan nilai terbaik.

Dia diluluskan oleh dosen, lalu turun dengan wajah dan senyum lebar.

Alina kembali ke barisan kursi.

Setelah selesai, semua mahasiswa berdiri. Lagu INDONESIA RAYA berkumandang. Alina mengikuti anak lain menaruh satu tangan di dada.

Lalu, dengan khidmat INDONESIA RAYA, air mata Alina jatuh di pipi.

Alina menghampiri orangtua-nya saat sudah selesai.

FARAH
Kamu nggak foto-foto?
ALINA
Pakai apa? HP juga nggak punya.

Farah terlihat sedih. Dia mengusap kepala Alina lembut.

FARAH
Sabar, ya. Nanti kalau HP-nya juga tidak digadaikan, kita mana ada ongkos buat ke sini? Nanti juga diganti yang lebih.

Alina tidak menjawab. Hassan menepuk kepapa Alina bangga.

FARAH
Yuk, pulang saja kalau begitu. Biar tidak capek.

CUT TO:

60. INT. RUMAH SEDERHANA ALINA (2021) — MALAM

Alina sibuk membuat CV dengan netbook kecil milik Amira. Dia mencari lowongan sambil makan snack yang besar. Amira keluar dari kamar dengan kesal.

AMIRA
Sudah belum? Lama banget, sih!
ALINA
Iya, sebentar lagi. Ini juga lagi cari-cari dulu. Lowongan kan harus dicari. Lagi edit CV-nya juga.
AMIRA
Aku juga mau pakai!
ALINA
Laptop aku masih digadai, terus aku melamar pakai apa dong? HP juga nggak punya.
AMIRA
Ya, sudah sih. Besok lagi, sudah malam. Dari pagi kamu pakai terus. Aku juga mau pakai.
ALINA
Pakai buat apa sih? Lamar kerja juga nggak.
AMIRA
Berisik. Sudah lah, gantian. Aku mau nulis.
ALINA
Kak, kamu maunya apa sih? Ini aku lagi usaha biar bisa dapat kerja. Kamu kalau nggak mau ya sudah, seenggaknya bantuin aku. Aku juga nggak mau pakai netbook kalau punya laptop.
AMIRA
Iya, kamu sudah dari pagi pakainya! Kalau kamu pakia terus, kapan aku bisa nulis?

Farah keluar dari dapur. Dia berjalan ke kamar melewati Amira dan Alina.

FARAH

Ribut apa lagi ini? Nanti kalau papa pulang, marah lagi.
AMIRA
Ini Alina, ma! Nggak mau gantian pakai. Padahal ini netbook juga punya aku.

Alina menggeleng kesal. Dia meninggalkan netbook dan berjalan ke kamar sambil sengaja menabrak bahu Amira.

AMIRA

Anak kurang ajar banget.
ALINA
Kamu nggak tahu diri.
AMIRA
Kalau ngomong ngaca dulu, ya!

Farah keluar dari kamar.

FARAH
Sudah, ah berantem terus! Ibu ke warung dulu. Abian anter ibu!

Abian keluar dari kamar. Amira dan Alina saling lihat sambil mendengar Farah dan Abian keluar dari rumah.

ALINA
Kak, kamu mau sampai kapan kayak gini? Kamu nggak mau lamar kerja? Nggak mau punya penghasilan atau apa? Bantu papa? Gimana bisa dapat pacar, cari jodoh, kalau di rumah terus? Aku tahu kamu cita-cita ingin jadi penulis, sukanya buku, suka mengarang, tapi nggak begini juga. Realita itu berbeda sama di kepala.
AMIRA
Diam, ya. Nggak usah banyak bicara.
ALINA
Aku tuh selalu disuruh bilangin ke kamu, tapi malas. Kamu pikir papa sama mama diam saja? Nggak. Mereka juga mikir kali. Tapi papa selalu bilang hati-hati bicaranya karena mau gimana juga kamu kakak aku. Anak pertama. Tahu nggak?

Amira mengambil netbook dan balas menabrak Alina di pintu kamar. Dia duduk di kasur. Alina ikut masuk dan berdiri di pintu.

ALINA
Kamu dengar nggak, sih? Setiap kali dikasih tahu, pura-pura budek. Kalau sudah dibilangin, nangis. Dimarahin sedikit, nangis. Aku yang diomelin besar-besaran, kamu yang nangis!
AMIRA
Berisik, Alina. Diam nggak? Sok tahu.
ALINA
Ya, kasih tahu! Kamu itu kenapa sih? Ada apa? Kenapa nggak mau kerja, hah? Kenapa diam saja terus, mau sampai kapan? Di rumah juga nggak ada kerjaan. Kamu anak pertama mau jadi apa? Nggak sedih lihat papa sudah tua masih kerja? Apa yang kamu kejar?
AMIRA
Kamu kalau nggak tahu nggak usah banyak omong!
ALINA
Ya, kasih tahu biar semua orang ngerti!

Amira mendadak menangis keras. Dia memegang dada. Amira bicara dengan suara pelan dan suasana hening.

AMIRA
Kamu tahu nggak kalau aku ngomong sama orang saja bisa sampai gemetaran? Ngomong sama orang saja bisa sampai begitu, gimana kalau harus wawancara? Dunia kerja kan beda.
ALINA
Aku juga sama. Kamu pikir semua orang nggak takut? Pertama kali pasti takut karena belum punya pengalaman.
AMIRA
Aku nggak bisa!
ALINA
Kalau nggak dicoba gimana mau bisa? Kalau nggak belajar gimana mau bisa?
AMIRA
Aku tuh di-bully!

Alina menatap Amira dengan datar di pintu.

AMIRA
Aku dulu di bully, sering dikatain, diledek, dicaci-maki. Karena sering hutang aku jadi takut bicara sama orang, aku takut dibentak, dimarahin, diomelin. Kamu pikir aku juga mau kayak begini? Aku nggak punya teman karena dulu harus urusin mama, harus urus kalian. Aku nggak punya teman karena pindah-pindah rumah terus.

Alina masih diam. Dia melipat dua tangan di depan dada.

AMIRA
Nggak tahu kan? Makanya jangan sok tahu! Kamu selalu merasa paling tersakiti, tapi kamu nggak tahu apa-apa. Dari kecil aku sudah harus urus ibu, apa-apa aku yang dikorbankan karena aku anak pertama, mau hutang aku yang disuruh, harus jadi panutan adik, harus yang jadi harapan utama. Kamu nggak tahu apa saja yang dibicarakan di belakang kamu! Ke mana saja kita harus berhutang, ke mana kita harus meminta, kamu nggak tahu siapa saja yang harus aku hubungi karena aku yang anak pertama. Kamu selama ini hidup di dunia kamu sendiri.
AMIRA
Segalanya diusahain buat kamu. Sekolah pakai ojek oribadi nggak perlu bangun pagi, bisa kuliah di luar kota dan jurusan yang kamu mau, kamu bisa beli laptop. Terus kamu pikir bisa pergi ke Bali gimana caranya? Papa pinjam uang ke tetangga hanya untuk itu. Kamu senang-senang di Bali, bahkan beli koper baru tapi kita di sini makan susah. Kamu hanya bisa bicara tanpa tahu ada apa.
ALINA
Terus kamu mau apa? Kamu pikir enak jadi aku, iya? Ketika semua yang kamu mau ada, semua diberikan untuk kamu karena kamu anak pertama dan Abian anak bungsu sementara aku selalu terabaikan, enak? Anak tengah itu menderita!
AMIRA
Dan kamu pikir jadi anak perempuan pertama itu gampang?!

Alina terdiam.

AMIRA

Aku juga nggak mau! Aku juga mau berubah!
ALINA
Ya makanya berubah! Kamu pikir kamu bisa berubah hanya dengan omongan doang? Kamu tahu penghalang terbesar di hidup kamu? Diri kamu sendiri! Di luar sana, bahkan yang punya ketakutan sosial pun bisa berfungsi baik, kerja dengan baik, dan mau berkorban demi diri sendiri dan orang yang disayang. Jangan terlalu menyedihkan kondisi sendiri, pada dasarnya semua orang nggak bisa berubah kecuali dengan keinginan dirinya sendiri.
AMIRA
Terus kamu? Apa bukan terlalu menyedihkan kondisi sendiri? Terlalu merasa yang paling tersakiti?

Alina mengatupkan rahang karena merasa terpojok.

ALINA
Aku sadar. Dan aku bangga karena itu. Aku masih belum bisa kasih apa-apa buat mama dan papa, masih belum bisa buat mereka menikmati masa tua dengan enak. Kamu pikir buat apa aku mati-matian cari kerja? Kamu ngapain saja? Aku tahu kamu inginnya jadi penulis. Tapi bisakan mengejar cita itu dengan berjalan seiring dunia asli? Cari kerja. Nulis kan bisa kapan saja.
AMIRA
Saat papa cemas karena nggak ada uang sama sekali, kamu di mana? Saat papa harus jalan siang-siang di bawah matahari terik, sampai capek, haus, pusing hanya untuk cari warung makan yang bisa dihutangi, kamu di mana? Cari tempat buah yang bisa dihutangi dulu? Saat papa akhirnya dapat uang pinjaman, masuk ke dalam warteg dan belum juga bilang mau beli, yang punya warteg sudah keburu mengusir karena dikira mau berhutang lagi, kamu di mana? Bahkan Abian tahu kejadian itu!

Alina mulai bernapas keras, seperti tangisannya mau pecah.

AMIRA

Kamu itu entah pura-pura tidak tahu keadaan, berpaling dari realita, atau terlalu sibuk mengasihani diri sendiri.
ALINA
Kamu pikir aku nggak tahu kita orang susah?
AMIRA
Lantas? Apa pantas selalu minta handphone terbaru, minta tas, meja belajar, skincare, minta laptop, minta kuliah di luar kota, minta bagaimana pun juga harus bisa pergi ke Bali padahal tugas akhir itu masih bisa dikerjakan di semester akhir?

Alina menggigit bibirnya menahan tangis.

AMIRA
Kalau nggak dapat, kamu selalu merasa seperti dunia tidak adil. Padahal, yang kamu minta memang tidak bisa diberikan! Kamu selalu merasa yang paling diabaikan, padahal papa sama mama selalu adil, apa yang bisa dibayar duluan, dia yang dapat.
ALINA
Terus, kamu mau apa dengan semua itu? Kamu dengar diri kamu sendiri? Masih mau diam saja, nggak bantu?
AMIRA
Siapa yang bilang nggak mau sih? Aku juga usaha. Aku butuh netbook untuk nulis, buku-buku aku sudah mulai banyak yang beli, tapi untuk itu pun sekarang aku harus gantian pakainya sama kamu, jadi semakin terhalang.
ALINA
Lihat kan? Nulis lagi! Aku tahu kamu cita-citanya mau jadi penulis, tapi tunggu sebentar bisa kan? Menulis bisa sambil kerja, kan?
AMIRA
Sudah ah! Kamu adik kurang ajar!
ALINA
Karena aku capek!

Alina berteriak keras sekali. Lalu jadi hening.

ALINA
(suara lebih pelan)
Aku capek jadi yang kedua, dan yang terakhir. Kedua setelah kamu, atau terakhir setelah kamu dan Abian. Aku capek jadi yang harus mengalah, hanya karena aku bukan anak sulung atau anak bungsu. Aku capek, dan setelah semua ini, aku pikir akan ada balasannya. Tapi apa?

Alina menunjuk ijazah yang dipasang di figura dinding.

ALINA
Setelah dikuliahkan tinggi, jadi sarjana, kamu masih diurus mama pagi, siang, malam. Bahkan dulu saat aku pulang dari kost, masih aku yang cuci baju, cuci piring, disuruh sapu dan lain-lain. Abian saja masih belum bisa kuliah. Kita enak sudah lulus punya gelar. Adik kita?
ALINA
Entah apa yang ada di pikiran dia karena dia selalu diam. Tanpa banyak cerita. Aku begini karena aku malu. Malu sama dia yang nggak pernah punya banyak hal. Kita berdua masih mending, dulu masih bisa merasakan kejayaan orangtua. Abian bahkan nggak pernah punya sepeda sendiri.

Amira menangis sampai sesak.

ALINA
Selalu. Senjata andalan kamu dari dulu cuman nangis, nangis, nangis.
AMIRA
Kenapa aku nggak cerita? Nggak ada yang bisa mengerti dan malah diomelin.
ALINA
Salah. Aku sedih kamu di bully. Aku juga sakit hati dan marah. Tapi, apa yang harus aku lakukan kalau kamu saja baru bilang sekarang? Kalau kamu nggak pernah cerita? Orang nggak bisa baca pikiran, Kak. Makanya, kamu nggak bisa ekspetasi orang untuk mengerti dengan sendirinya. Dan sekarang, kalau kamu sendiri nggak bisa merubah diri kamu, kamu selamanya bakal terjebak dengan kondisi ini.

Alina keluar dan menutup pintu kamar. Dia duduk di ruang tamu sambil nonton teve. Tak lama, Farah dan Abian pulang. Farah melihat Amira menangis di kamar, tapi dia diam. Abian masuk ke kamarnya tanpa bicara.

CUT TO:

Bagikan
Anda harus login atau daftar untuk mengirimkan komentar
Tidak ada komentar