Halaman Author
Kontrol semua karyamu pada halaman author, kamu bisa memublikasikan karya baru atau mengatur karyamu dengan mudah dalam satu tempat.
Cerita Ini Belum Berjudul
Suka
Favorit
Bagikan
3. Scene #11-15

11. INT. RUMAH SEDERHANA — KAMAR TIDUR — MALAM

Kita kembali melihat Alina di kamar yang sedang mengetik.

ALINA (V.O)
Apa ada orang di luar sana yang tahu aku termasuk dalam kategori apa? Kalau ingin beasiswa, aku bukan termasuk keluarga tidak mampu. Tapi, aku juga tidak semampu orang berada.

Alina melihat kamarnya yang kecil. Dan kasur satu untuk bertiga.

ALINA (V.O)
Aku memang tidak bodoh, tapi sekuat apa pun berusaha, aku tidak bisa meraih nilai akademis yang memungkinkan untuk mendapatkan beasiswa penuh.

Alina melirik beberapa penghargaan yang ada di atas lemari miliknya.

ALINA (V.O)
Kalau bergaul, aku bukan kaum borjuis, tapi juga lebih beruntung dari beberapa orang.

Dia bersandar dan melirik layar kaca laptop yang masih belum diperlihatkan. Dia membuang napas panjang. Alina menyondong ke depan dan membuka jendela kamar. Angin masuk.

ALINA (V.O)
Aku bukan anak pertama. Bukan anak terakhir. Aku hanya anak tengah yang terlalu beda dari yang lain. Aku punya ketertarikan, kepribadian, dan kesukaan yang berbeda dari dua saudaraku.

Alina menengok ke belakang. Ruang terlalu sempit di tengah kasur.

ALINA (V.O)
Terlalu sering mengalah, padahal ingin protes. Perlakuan berbeda membuat aku tidak percaya diri. Kalau membela diri, dianggap egois. Kalau marah, tetap akan menjadi orang yang salah. Banyak sekali hal terpendam.

Alina berpangku tangan di atas meja. Matanya menatap langit Jakarta yang gelap.

ALINA (V.O)
Pada akhirnya, anak pertama akan selalu menjadi si sulung. Anak terakhir akan menjadi si bungsu. Sedangkan anak tengah...hanya ada di ambang.
ALINA (V.O)
Dunia ini aneh. Lahir, disuruh jadi anak pintar. Disuruh meraih edukasi tinggi. Disuruh bekerja. Biar bisa makan katanya. Makan untuk apa? Hidup? Lantas, kenapa tidak semua orang hidup harmonis dan makan agar bisa nyaman? Kenapa harus kerja, kerja, kerja?
ALINA (V.O)
Aku bukan iri, dengki, cemburu. Hanya saja, pertanyaan seperti, apakah hidup akan lebih mudah jika punya kekayaan banyak? Selalu terbenam di pikiran. Seperti misalnya punya ponsel terbaru.

Alina melihat ponsel jaman dulu miliknya di atas meja.

ALINA (V.O)

Baju baru.

Alina menoleh ke bawah. Dia tertawa melihat piyama usang bergambar beruang.

ALINA (V.O)
Teman yang banyak. Boleh main. Pacaran. Terkenal.

Mendadak Alina kaget saat ibunya mendesah kesal. Setelah beberapa detik, Alina mulai mengetik lagi tapi pelan-pelan.

ALINA (V.O)
Aku tidak pernah punya itu semua karena orang tua yang kelewat protektif. Masih banyak hal yang belum bisa dimengerti di hidupku. Pernah aku memilih teman yang kaya dari pada yang miskin, padahal aku tahu siapa yang lebih baik. Aku bukan sombong, tapi aku pernah menatap rendah orang lain. Aku bukan orang yang paling baik, tapi aku bukan orang jahat.
ALINA (V.O)
Mungkin aku belum tahu caranya menjadi manusia seutuhnya.

Alina tersenyum.

ALINA (V.O)
Kisah ini mungkin bukan cerita paling sempurna yang ada di dunia. Kisah ini juga belum ada akhirnya. Masih ada di ambang seperti aku.
ALINA (V.O)
Kisah ini adalah cerita seorang gadis yang tidak tahu harus ke mana jalan hidupnya. Seorang gadis yang tidak tahu banyak hal. Ke mana dia harus menerbangkan sayap dan mendarat.
ALINA (V.O)
Kisah ini tentang keluarga, cinta, cemburu, amarah, frustasi, tawa, dan segala macam emosi yang mencuat di dalam hati seorang gadis.
ALINA (V.O)
Ini bukan kisah yang indah. Tapi ini bukan kisah tragis.

Alina melirik jam di laptop dan kaget. Lima menit lagi sebelum subuh. Dia buru-buru berdiri dan bergerak hati-hati ke atas kasur. Alina memejamkan mata.

Beberapa detik kemudian, dia bangun lagi dan langsung menutup laptop yang masih memperlihatkan kalimat terakhir yang dia tulis.

TERTULIS:

(Ini bukan kisah tragis...)

Alina kembali ke kasur dan menutup mata.

ALINA (V.O)
Setidaknya aku harap, saat aku menemukan tempat mendarat nanti, sebuah akhir yang indah akan membuka pintu bagi sayapku beristirahat.

Alarm subuh berdering. Farah terbangun dan duduk.

FARAH
Alina, mama tau kamu belum tidur. Mau jadi apa kamu ini? Jam segini baru naik kasur? Nggak laptop, nggak HP, selalu saja terpaku di depan layar. Kapan bisa tidur kalau begitu terus--

Alina tersenyum sambil tetap menutup mata.

ALINA (V.O)
Aku Alina. Ini kisah hidupku.
ALINA (V.O)
Dan cerita ini...belum berjudul.

CUT TO:

12. INT. RUMAH MEWAH (2000) — RUANG TAMU — PAGI

Sebuah rumah mewah di tengah Jakarta yang sepi dan hening. Di dalam, ada seorang anak kecil perempuan bermain masak-masakan, dan anak kecil perempuan yang lebih besar, menonton power rangers.

ALINA (V.O)
Mungkin segalanya mulai berubah ketika keluargaku mulai jatuh di tahun tersebut. Jika dulu aku memang berasal dari keluarga yang biasa saja, mungkin segalanya tidak akan terasa aneh seperti ini. Tapi dulu itu...

Hassan (MUDA) pulang kantor dengan mobil mewah pada jamannya mengenakan jas dan kemeja bagus. Dia membawa dua mainan.

HASSAN
Papa pulang!

Dua anak tadi langsung ke depan pintu dan memeluk ayahnya. Hassan mengecup kening mereka.

ALINA (V.O)
Aku punya rumah dan punya keluarga harmonis. Se-harmonis yang kami bisa.
HASSAN
Ngapain saja hari ini?
AMIRA
Power ranger ada episode baru!
ALINA
Main masak-masakan!
AMIRA
Bosen.
ALINA
Dari pada nonton terus? Isinya juga pahlawan warna-warni doang.
AMIRA
Ih, mereka rangers!
HASSAN
(tertawa)
Sudah, sudah. Papa bawa mainan baru, mau?

Alina dan Amira (KECIL) sama-sama membawa kantung mainan kembali ke ruang tamu. Alina mengambil tamagotchi berwarna hijau.

ALINA

Ini bagus. Ini punya Alina!

Amira melirik punya Alina. Mainan mereka sama, tapi berbeda warna. Dia merebut mainan di tangan Alina.

AMIRA
Kamu yang ini!

Amira memberi yang warna hitam.

ALINA

Tapi aku duluan yang dapat!
AMIRA
Kamu kan adik, nurut saja. Ini punya aku, warna kesukaan aku kan hijau.
ALINA
Warna kesukaan aku juga hijau!
AMIRA
Sejak kapan? Kamu mah selalu ikutan.
ALINA
Alina duluan yang warna kesukaannya hijau. Karena kakak maunya jadi ranger merah sama pink terus. Alina disuruh jadi ranger kuning, kalau nggak hijau.

Amira tidak peduli dan tetap bermain dengan tamagotchi hijau. Dia melawan saat Alina hendak merebut.

ALINA
Balikin!
AMIRA
NGGAK!
ALINA
Aku dulua yang dapat!
AMIRA
MAAA!

Farah (MUDA) datang ke ruang tamu. Farah sedang hamil besar. Dia membukakan jas untuk Hassan yang duduk di sofa.

FARAH
Ada apa lagi ini, kok berantem?
ALINA
Kak Amira ambil mainan aku.
AMIRA
Aku sukanya yang ini! Warna kesukaan aku hijau.
ALINA
Tapi kan aku duluan yang dapat...

Alina menatap ibunya penuh harap. Farah membuang napas panjang.

FARAH

Lin, kamu itu harus belajar berbagi. Harus bisa yang namanya main bersama.

Alina memberengut seperti akan menangis.

ALINA

Tapi, itu aku duluan yang pegang.

Hassan berdecak sambil membuka kaus kaki.

HASSAN
Alina, belajar mengalah, ya. Alina kan anak baik? Alina ambil mainan yang warna hitam saja. Itu juga bagus. Mengalah saja sama kakak. Kakak kan anak pertama.

Hassan dan Farah mengusap kepala Alina lalu pergi. Alina menggigit bibir agar tidak menangis sambil menatap cemburu Amira yang bermain.

CUT TO:

13. INT. PUSAT PERBELANJAAN (2000) — SIANG

Alina dan Amira digandeng ayahnya di tengah pusat perbelanjaan. Mereka ada di dalam toko bayi yang mewah.

ALINA (V.O)
Aku ingat kita punya segalanya. Belanja banyak. Bermain di tempat yang mewah. Kemauan tidak pernah dibatasi.

Hassan menghampiri istrinya yang sedang belanja baju bayi.

FARAH
Apa tidak kemahalan?
HASSAN
Cukup kok. Ini juga bagus. Kalau bisa kasih yang terbaik, kenapa nggak?
FARAH
Semoga bayinya laki-laki ya kali ini.

Farah mengelus perutnya. Hassan tersenyum tipis.

HASSAN
Kita sudah mencoba terus untuk dapat anak laki-laki. Semoga saja kali ini dapat. Aku sangat ingin anak laki-laki.
FARAH
Kemarin kita pikir Alina akan jadi anak laki-laki, taunya perempuan lagi.

Hassan mengangguk bisu.

AMIRA dan ALINA
Pa!

Hassan dan Farah menoleh. Amira dan Alina bergandeng tangan, wajahnya ceria.

AMIRA
Kita mau main. Di toko sebelah ada tempat bermain.
ALINA
Ada perosotan!
AMIRA
Aku yang duluan naik!

Alina mengedikkan bahu tidak begitu peduli.

FARAH
Iya, ganti-gantian, ya. Jangan ribut. Jangan jauh-jauh, nanti mama dan papa menyusul.

Belum juga Farah selesai bicara, keduanya sudah berlari sambil tertawa girang.

CUT TO:

14. EXT. RUMAH MEWAH (2000) - HALAMAN RUMAH — SIANG

Alina bermain di teras rumahnya saat ada anak lain yang datang. ANAK KECIL itu berbeda jauh dari penampilan Alina. Dia dari keluarga yang kurang mampu.

ALINA (V.O)
Aku ingat aku dulu anak yang manja. Merasa lebih baik dari orang lain. Aku sering menolak bermain dengan anak lain atau menyerahkan apa milikku.

Alina mematai di depan pagar.

ALINA
Kenapa?
ANAK KECIL
Main bersama, yuk?

Alina segera menjauhkan semua mainannya.

ALINA
Nggak, ini punya Alina.
ANAK KECIL
Aku juga ingin ikut main, nggak boleh?
ALINA
Alina nggak mau main bersama, pergi sana!

Anak kecil itu pergi dengan wajah sedih. Alina menggigit bibir, seperti menyesal. Dia meraih mainan miliknya dan memeluk mainan itu.

ALINA (V.O)
Kalau dipikir lagi, alasan kenapa aku tidak ingin bermain dengan anak lain atau pelit bukan karena aku merasa mereka tidak se-level denganku. Tapi karena aku tidak pernah merasa memiliki sesuatu seutuhnya.

15. INT. RUMAH SAKIT (2000) — MALAM

Hassan berlari di lorong rumah sakit. Dia masuk ke ruang bersalin, mendapati Farah sudah menggendong bayi. Farah melahirkan bayi laki-laki. Hassan tersenyum lebar.

ALINA (V.O)
Sampai adikku datang, segalanya seperti beribu-ribu kali lipat lebih bahagia.

Hassan meng-adzan-kan anaknya.

Selama beberapa saat, kita melihat ABIAN yang baru lahir. Farah memeluk dia terus. Hassan mengusap kepala istrinya. Amira dan Alina bergandeng tangan di ujung kasur.

CUT TO:

Bagikan
Anda harus login atau daftar untuk mengirimkan komentar
Tidak ada komentar