Username/Email
Kata Sandi
Alamat Email
Kata Sandi
Jenis Kelamin
Rapat redaksi sepertinya sudah dimulai. Dengan segan aku memasuki ruangan rapat yang sudah sesak dipenuhi oleh redaktur dan asisten redaktur harian. Telat lagi. Pasti Wakil Pimpinan Redaksi yang saat ini sedang berbicara di depan, Bang Husni, akan mencatat keterlambatanku yang berulang kali terjadi.
Rapat masih membahas persoalan-persoalan harian wartawan di lapangan. Sulitnya menembus narasumber yang ditugaskan redaktur, sehingga beberapa berita tidak dapat dinaikkan karena belum berimbang. Maksudnya berita tersebut baru dari satu sisi saja, belum mendapat konfirmasi dari pihak yang diberitakan. Setelah itu pindah ke permasalahan klasik khas redaksi, ejaan kata yang masih sering salah, tanda baca, salah menulis nama, hal-hal yang sebenarnya sudah ada pada panduan menulis berita yang sudah dibagi kepada setiap insan redaksi.
Aku bosan. Satu-satunya yang menarik perhatian untuk hadir di setiap mingguan ini adalah absensinya dan Nadhira, yang saat ini dengan tenang mencatat perkataan Wapimred dengan khusuk. Kadang aku heran dengan Dhira, yang seakan tidak pernah bosan menulis permasalahan yang itu-itu saja setiap kali rapat. Aku menyebutnya bebalisme, tidak ada yang bisa merubah kebiasaan salah eja, kecuali mengangkat penyakit bebal manusia yang menulisnya atau lebih tepat lagi mengetiknya.
Aku tetap memasang muka polos, seakan-akan mendengar semua titah Bang Husni dengan cermat. Dua redaktur di sebelahku sedang sibuk berdebat entah masalah apa. Tiba-tiba suasana hening dan semua memandangku, termasuk dua redaktur di sebelahku yang barusan saja sangat berisik. Aku memandang Bang Husni bingung.
“Ehm, jadi bagaimana Iz?” tanya Bang Husni menatap kedua netraku tajam.
Untunglah otakku encer dan wajahku tampan. Biarpun tidak mendengar pertanyaan Bang Husni, aku yakin dia barusan menanyakan liputan panjang edisi minggu untuk bulan ini.
“Seputar pahlawan-pahlawan modern Bang,” jawabku cukup lantang.
“Maksudnya?”
“Yah, kan ada seperti pahlawan-pahlawan pejuang reboisasi, dokter-dokter ikhlas, kan masih banyak Bang manusia-manusia idealis yang bekerja tanpa pamrih.”
“Oh, kamu yakin akan mendapat sumber yang tepat?”
“Jangan khawatir Bang ini hanya pengolahan data, tidak akan banyak menghabiskan biaya survey kok,” ujarku, “kita hanya perlu mencantumkan sumber tulisan dengan jelas, ya kan?” tambahku lagi menatap Wapimred yang sudah mendekati separuh baya itu sambil tersenyum lebar. Di ruang redaksi, tidak ada sebutan Pak atau Bu seperti lazimnya di kantor-kantor. Semuanya dipanggil abang atau kakak, meski umurnya sudah hampir atau lebih setengah abad. Kecuali Big Bos tentunya.
Bang Husni mengangguk senang. Semua yang berbau penghematan sangat disukainya. Tetapi lebih dari semua itu dia paling suka apabila diberi liputan dan tulisan yang bermutu. Itulah kebahagian seorang Husni. Sangat sederhana bukan?
*
Rapat ditutup dengan minum kopi di kantin kantor. Tidak semua orang. Sebahagian besar langsung duduk di meja masing-masing dan menghidupkan komputernya. Di sisi lain, terdapat kubikal-kubikal berukuran agak besar, dan diberi papan nama. Desk Ekonomi, desk Internasional, desk Politik, dan desk-desk lainnya, penuh sesak dan sangat berisik dengan suara ketikan pada keyboard Personal Computer masing-masing.
Aku duduk di dekat Wapimred yang sedang menghirup kopi hitamnya di kantin. Dia sudah masuk kantor pada pukul 14 tadi dan akan pulang ke rumah paling cepat pukul 1 dinihari. Ini adalah kopi hitam pertamanya, agar siap menghadapi semua kejutan di malam hari. Kekurangan berita, ketidaklengkapan narasumber, berita kebakaran di tengah malam, kejadian-kejadian unpredictable lainnya. Nanti sekitar jam 21 atau 22, Bang Husni akan memesan kopi hitamnya yang kedua.
“Faiz,” panggil Bang Husni pelan.
“Ya Bang,” sahutku berhenti mengunyah pisang goreng yang terlanjur masuk ke mulut.
“Kamu bikinlah liputan yang membuat pembaca bangga dengan bangsa dan negara Indonesia. Sudah makin kritis kayaknya kebanggaan kita kepada bangsa dan Negara nih.” Husni ikut-ikutan mengambil sebuah pisang goreng dan memakannya. Sejenak hening, karena aku tidak bisa menjawab titah Bang Husni barusan, masih dalam usaha menelan pisang, memaksa gorengan yang belum sempurna dikunyah tersebut masuk ke tenggorokan.
“Siap Bang,” sahutku sambil tergesa-gesa menyambar air putih agar pisang yang didorong paksa tadi tidak naik lagi ke atas.
Hp Husni berdering nyaring. Dia mengambil Hp yang disimpannya di saku celana itu, mengambil kacamata yang tadi dimasukkannya ke saku depan kemeja dan membaca nama yang tertera di layar Hp.
“Dhira, tumben, kenapa dia tahu-tahu menelpon,” ujarnya.
Bukannya menjawab telpon tersebut, Husni malah langsung menyeruput kopi hitamnya sampai habis dan berdiri, melangkah ke arah kasir. Aku melihat laki-laki yang masih terlihat sangat tangkas dalam bergerak itu membayar kopi dan pisangnya, tergesa-gesa melangkah ke gedung pusat yang berada di posisi paling depan. Aku ikut-ikutan berdiri dan membayar pisang goreng. Ada banyak tugas sebelum aku pulang. Membuat outline tulisan panjang dengan tema yang sudah ku sampaikan kepada Wapimred.
Aku sedang mengetik dengan semangat ketika Dhira lewat di depan ruangan redaktur yang full kaca. Seluruh ruangan direksi seperti akuarium besar, karena tidak ada tembok pembatas, hanya ada kaca pembatas. Semua full kaca.
Tidak ada yang tahu Dhira adalah temanku dari kecil. Apalagi mengetahui rasa sukaku kepada Dhira. Rahasia besar yang sudah ku pendam sejak jakun yang ada di leherku mulai kelihatan. Ibunya adalah guru mengaji anak-anak kampung kami yang cukup ditakuti karena pemarah. Aku sendiri tidak jarang mendapat sabetan sapu lidi kecil yang selalu setia berada di samping Umi Ustadzah, demikian kami memanggilnya. Berbeda sekali dengan uminya, Dhira adalah anak yang sangat santun, lemah lembut dan pendiam.
Karena aku dari SMP sudah pindah ke Provinsi Kepulauan Riau mengikuti Mak Cik yang pindah kerja di sana, dan kemudian mengambil jurusan hukum pada universitas di Provinsi terbesar di Sumatera, aku lama tidak mengikuti jejak Dhira, yang sudah pindah rumah ke daerah pemukiman baru di kota kami pada saat itu.
Umi Ustadzah tetap jadi legenda di wilayah perumahan kami. Setiap saat selalu ada saja orang tua yang menyesalkan kepindahan Umi Ustadzah ke pemukiman baru itu. “Anak-anak sekarang berani dengan ustadz dan ustadzahnya. Coba kalau Umi Ustadzah masih mengajari anak-anak ini, tentu tidak bisa anak-anak kecil ini mengatur-atur orang tua tu.”
Pertama kali bertemu Dhira di sini, sekitar 6 bulan yang lalu, aku sama sekali tidak mengenal dirinya. Dengan latah aku ikut-ikutan para jurnalis jomblowan menggoda sekretaris redaksi itu. Gadis manis berjilbab yang selalu berpakaian rapih dan anggun. Tiba saat motorku rusak dan aku harus menunggu jemputan kakak sepulang kantor yang memang melintasi jalan kantorku.
Dengan kecut aku menghampiri Dhira yang sangat manis seperti menunggu jemputan, sama sekali tidak punya keberanian menggoda, seperti biasanya jika bersama para jomblowan.
“Hai,” sapaku ragu-ragu. Dhira hanya balas tersenyum. Aku jadi sedikit percaya diri, “lagi nunggu jemputan juga ya?” tambahku sok akrab.
“Faiz, kamu benar-benar ngga ingat ya?” jawaban Dhira membuat jantungku berdebar melebihi kecepatan cahaya. “Ehm.. ingat?” Suara klakson mobil berwarna kuning mencolok mengagetkan kami berdua yang sedang bertatapan.
“Faiz..” Terdengar suara cempreng khas kakak Jihan memanggil.
Aku memandangnya dengan kening berkerut karena merasa terganggu. “Ish, datangnya ngga tepat waktu,” ujarku dalam hati.
Kakak keluar mobil menghampiri kami.
“Kak Jihan, apa kabar?” sapa Dhira.
“Dhira? Nadhira Anggraini..” jawab Kak Jihan tersenyum lebar.
Jantungku yang tadi sudah melesat jauh melebihi kecepatan cahaya , berbalik cepat dan tertabrak meteor di galaksi antah berantah. Tiba-tiba aku tersadar. Ini kan Dhira, anak Umi Ustadzah? Hiks rasanya ingin berlari ke dalam mobil Kak Jihan saat itu juga.
***