Halaman Author
Kontrol semua karyamu pada halaman author, kamu bisa memublikasikan karya baru atau mengatur karyamu dengan mudah dalam satu tempat.
Jejak yang Hilang
Suka
Favorit
Bagikan
13. Bab 13. Jejak yang Hilang

Setelah mengantar Jordan pulang dari rumah Atuk Sjafei, mataku benar-benar membulat kembali. Aku mengetik laporan ke pada asisten redaktur, dan beberapa outline untuk dilengkapi, sambil melampirkan dengan agak sombong surat tugasku untuk keluar kota, dan ijin untuk tidak mengikuti rapat redaksi seminggu ini.

Aku melakukan pencarian dengan mesin pencari mengenai sejarah kereta api di Sumatera. Ternyata banyak berita yang menulis tentang jalur kereta api ini. Pada pertengahan 1920-an, perusahaan kereta api milik pemerintah Hindia Belanda, Staatspoorwegen, merancang pembangunan jalur yang menghubungkan pantai barat dan timur Andalas. Namun rencana itu terbentur biaya.

Belanda yang merencanakan, Jepang yang merealisasikan. Jepang memerlukan jalur tersebut karena sekutu menguasai Samudera Hindia, dalam hal ini beberapa sumber daya alam seperti batu bara di Sawah Lunto menjadi “terkurung”, karena jalur kereta hanya bisa menuju Teluk Bayur yang arahnya ke Samudera Hindia. Karen Jepang menguasai Selat Malaka, maka jalur keluarnya adalah pelabuhan Dumai di Riau.  

Selain itu ada beberapa kawasan batu bara di Kuantan Singingi, Riau, sehingga pembangunan rel Kereta Api Muara Sijunjung yang sangat dekat dengan Sawah Lunto dan melewati Kuantan Singingi menuju Pekanbaru, sungguh penting. Namun sayang, hasil kerja lebih dari seratus ribu romusha yang membangun jalur kereta api Riau-Sumbar itu bagai hilang tersapu zaman. Seratus ribu jiwa yang melayang karena kelaparan dan siksaan tentara Jepang.

Dari seorang saksi mata digambarkan bahwa pekerja paksa tersebut sangat mengenaskan. Mereka bahkan hanya tinggal kulit yang melekat di tulang. Ada beberapa di antara mereka yang karena saking laparnya mengambil ubi kayu milik masyarakat dan memakannya mentah-mentah. Aku kembali merasa suasana mencekam ketika membacanya, meskipun sudah mendengar versi Atuk Sjafei sebagai saksi mata dan lebih akurat.

Beberapa link aku kirim ke email Jordan, dan tidak disangka tak lama kemudian mendapat balasan singkat, [Horrible]. Aku kembali mengirim pesan kepada Jordan mengingat rendang Mama tadi.

[Tomorrow u have breakfast at my home, ok.]

[ OK.]

Aku menutup laptop dan mematikan hp. Saatnya beristirahat. Besok hari yang panjang.

*

Jam 7 pagi aku sudah siap untuk berangkat, baik keluar kota maupun menjemput Jordan di hotel. Senin pagi. Aku tidak melihat Kak Jihan. Padahal aku ingin sekali bergosip tentang Jordan.

“Kakak panitia upacara pagi ini, dia dah berangkat jam 6 tadi,” jawab Ibu ketika aku menanyakan kakakku itu.

Aku permisi dengan Mama dan Ayah menjemput Jordan. Ketika sampai di hotel aku tidak menemukan jurnalis Belanda itu di lobby, sehingga aku meminta resepsionis untuk menelepon ke kamarnya. Ternyata dia terlambat bangun pagi ini. Dia memintaku untuk sarapan di hotel terlebih dahulu sambil menunggu dia bersiap. Tinggal menyebutkan nomor kamar, katanya. Dalam hati aku tersenyum, jadi pagi ini kami hanya bertukar tempat sarapan, aku di hotel dan Jordan di rumahku.

Setelah Jordan turun, kami langsung menuju rumah. Jordan menyampaikan secara ringkas garis besar perjalanan keluar kota kami. Kami akan dijemput mobil sewaan di rumahku, agar mobilku aman terparkir di rumah. Setelah mendapat alamat lengkapku, Jordan mengirim kepada driver yang kan menjemput kami. Sampai di rumah aku meminta nomor driver tersebut dan men-share lokasi rumah.

Mama menyambut Jordan dengan ramah. Tidak kusangka, Jordan memberikan oleh-oleh kepada Mama berupa teh mint terkenal dari Belanda yang terkenal serta keju berbentuk bulat dan dilapisi bungkus berwarna merah menyala. Tentu saja mama sangat senang. Mereka berbasa basi sebentar, sambil Mama mengajak Jordan ke ruang makan yang sudah tersedia nasi goreng dan rendang. Sama sekali bukan perpaduan yang tepat. Jordan mengambil sepiring penuh nasi goreng dan telur dadar. Memakannya sambil mengobrol dengan Mama.

Mama menginterogasinya tanpa malu-malu seperti, apakah Jordan punya saudara, apakah Jordan punya pasangan, hal-hal yang pastinya kalau bule biasa kan tersinggung karena ke-kepo-an Mama. Tapi tidak Jordan. Dia menjawab dengan santai bahwa dia memiliki seorang adik perempuan. Bapaknya seorang editor buku dan ibunya ibu rumah tangga. Adik perempuan masih kuliah hukum di Leiden University. Sekolah hukum rujukan bagi mahasiswa hukum di Indonesia.

Mama menepuk punggung Jordan dan berkata bahwa cita-cita Faiz salah satunya adalah melanjutkan S2 di sana. Jordan mengangguk, dan melihatku sambil tersenyum lebar. Nasi goreng itu sudah habis tanpa bekas dari piring Jordan. Aku takjub dengan kecepatannya makan. Mama mendorong mangkok hias yang biasanya dikeluarkan kalau ada acara spesial ke arah Jordan. Rendang. Tanpa malu-malu Jordan bertanya isi mangkok itu dan Mama menyodorkan piring kosong ke arahnya. Jordan mengambil dua potong daging rendang dan merasakan daging itu perlahan setelah memotongnya dengan garpu.

“Luar biasa, Ma, ini sangat enak,”ujar Jordan sambil mengarahkan jempolnya kepada Mama. Mama terkekeh senang.

Untung saja mobil jemputan sudah menjemput kami. Aku sudah bosan menunggu Jordan makan. Kami berdua memulai perjalanan, mencari jejak yang hilang.

*

Kami memulai dengan meng-copy buku panduan kami tadi malam. Berjalan menyusuri jejak Romusha di Riau-Sumbar yang telah samar. Perjalanan kami dimulai dari Desa Petai, Kuantan Singingi. Berjarak sekitar 2,5 jam perjalanan dari Pekanbaru. Sepanjang perjalanan Jordan membaca, dan kadang terlonjak kaget karena situasi jalan yang banyak berlubang. Ini bukan Jawa, apalagi Belanda. Aku terkekeh melihat Jordan yang bengong melihat situasi jalan.

Akhirnya Jordan menyerah. Kepalanya pusing dipaksa membaca dalam situasi jalan yang banyak lobang. Kami saling bercerita. Bapak Jordan ternyata seorang editor terkenal di Belanda. Karena keterampilannya berbahasa Indonesia, banyak buku-buku terkait sejarah yang juga diterjemahkannya. Jordan sendiri bercita-cita menjadi seorang novelis. Dia ingin membuat novel yang berbau sejarah terutama terkait Indonesia.

Barang-barang sejarah Indonesia sangat banyak di museum Volkenkunde, Leiden dan Troopeen Museum, Amsterdam. Mereka tinggal di Amsterdam. Mayoritas muslim di Belanda adalah orang Indonesia dan Turki. Banyak sekali info yang kudapat dari Jordan tentang Belanda. Pasangan hidup Jordan sekarang adalah seorang dosen di Leiden. Dia sangat cerdas, kata Jordan. Jordan menanyakan kabarku. Aku menjawab terus terang bahwa pacarku dua hari lalu memutuskan hubungan kami karena seorang gadis yang kuputuskan sehari sebelumnya. Jordan tertawa terbahak-bahak.

*  

Pagi ini kami meninggalkan Riau menuju Sumatera Barat, tepatnya Muara Sijunjung. Kami berlama-lama di Sawah Lunto, tempat yang indah dan sejuk karena berada di sisi gunung yang tinggi. Sawah Lunto adalah kota tambang tertua di Asia Tenggara, penghasil batu bara kalori tinggi sejak zaman Belanda. Di sini cerita penggalian tambang di awal abad 20, bisa dilihat di situs tambang Mbah Suro, nama mandor di tambang yang mempekerjakan rakyat Indonesia paksa atau rodi pada zaman kolonial Belanda yang tak kalah kejam dengan polis romusha.

Pada zaman kolonial, batu bara Sawah Lunto dibawa ke Pelabuhan Teluk Bayur di Padang. Kecanggihan teknologi pertambangan masa kolonial ini juga tergambar dari silo tempat penyimpanan batu bara yang terletak tak jauh dari Museum Kereta Api Sawah Lunto. Tambang ini akhirnya berpindah tangan ke Jepang pada tahun 1942, saat dimulainya cerita romusha di Sumbar-Riau.

***

Bagikan
Anda harus login atau daftar untuk mengirimkan komentar
Tidak ada komentar