Username/Email
Kata Sandi
Alamat Email
Kata Sandi
Jenis Kelamin
Pagi yang cerah di bulan Agustus, panas seperti biasanya. Di daerah ini udara dengan panas 31 derajat celcius, bisa terasa seperti 36 derajat celcius. Bukan hanya karena kebakaran hutan dan lahan yang biasa melanda, tetapi juga karena angin yang sangat malas bergerak di daerah ini, membuat udara hanya mengambang, tetapi tidak kunjung berputar.
Liputan kebakaran hutan dan lahan biasanya menjadi headline, atau berita utama sepanjang Juli-Agustus, atau kapan saja musim panas melanda. Hanya tahun ini, sungguh-sungguh sesuatu yang patut disyukuri tidak ada berita kebakaran hutan dan lahan. Sampai Agustus ini hujan masih mengguyur provinsi dengan lahan kebun sawit terbesar di Indonesia. Meskipun tidak setiap hari, tetapi hujan pada bulan Agustus adalah anugerah terbesar bagi kami.
Seperti biasa aku memulai pagi dengan membuka suratkabar. Melihat berita-berita ter-up-date yang berpotensi digali lebih. Yah, itulah tugas tim liputan panjang. Kami adalah detektifnya jurnalis. Tak ada yang menarik dari berita di suratkabar, aku membuka salah satu medsosku. Sumber gossip ter-up-date salah satunya adalah medsos.
[ Happiness is depends on your self] Status teman, lewat.
[Selamat pagi semua, kudoakan yang baca status ini, murah rejeki..] Status teman lagi, lewat.
[Iklan Korean garlic bread, beli 4 hanya 30 ribu] Status teman yang jualan, lewat.
Aku melewati beberapa status teman yang sedang show up dengan teman atau pasangannya, atau anak-anaknya.
Stop. Tanganku berhenti pada suatu tulisan tentang perang Riau.
[Perang Riau (1782-1784) perang laut antara kerajaan Riau dengan Belanda (VOC), padahal menurut Belanda ini adalah perang laut paling dahsyat dan menyebbkan VOC mengalami kerugian sangat besar, termasuk meledaknya kapal bendera Belanda Malaca’s Walvaren di Muara Sungai Carang, Tanjung Pinang. Menewaskan 600 prajurit dan pimpinan perang Hakim Arnold Limker. Serta memaksa Laksamana Togar Abo membawa mundur 40 kapal perangnya kembali ke Malaka. Pengakuan dahsyatnya perang ini ditulis oleh sejarawan Rinoult Vost. Sayang tidak ada satu pun buku sejarah di Indonesia yang menjadikan perang ini sebagai referensi sejarah tentang kekuatan laut Indonesia, hanya diceritakan sepintas saja. Mungkin sejarah ini dianggap sebagai sejarah Malaysia, dalam hal ini Kerajaan Johor.]
Tulisan tokoh Riau Rida K Liamsi atau Datuk Seri Lela Budaya ini membuat keningku berkerut, kedua alis mendekat. Referensi Datuk Seri Lela jelas, buku sastra sejarah Tuhvat Al Nafis, salah satunya. Mengapa sejarah ini bisa dilewatkan? Apa karena dalam sejarah selama ini, Riau, Johor dan Pahang ditulis dalam satu helaan nafas? Otakku yang encer agak susah menelaah masalah ini. Dengan sedikit referensi sejarah yang dibaca, tak mungkin aku bisa membuat liputan panjang seperti ini bernyawa. Bak istilah yang selalu kusebut dalam hatiku sendiri, bagai masakan tanpa garam, inilah yang akan terjadi jika aku memaksa menulis liputan ini.
Aku yakin banyak sejarah di Indonesia yang tidak tercatat. Bukan hanya Riau pastinya, yang kadang membuat sejarah menjadi samar karena kedekatan dengan serumpun Malaysia, di luar sejarah mencekam Ganyang Malaysia pada tahun 1962-1966.
Aku begitu tertarik untuk mencari lebih lanjut. Mungkin karena masih di bulan Agustus, sehingga jiwa kebangsaanku begitu besar. Dari berselancar di dunia maya, aku mendapat informasi dari awal abad ke-15 Johor dan Singapura sudah mulai dimasuki “orang Indonesia”, terutama dari daerah Minang, Sumatera Barat. Sewaktu itu hampir separuh Riau daratan berada di bawah Kerajaan Pagaruyung, Sumatera Barat. Dengan bahasa yang digunakan bahasa Minang, Melayu dan Sansekerta. Kerajaan ini awalnya menganut agama Budha, dan menjadi kesultanan karena perkembangan Islam di Sumatera pada abad ke-17.
Aku jadi teringat beberapa keluarga jauh yang sudah menjadi warga Negara Malaysia dan tinggal di Negeri Sembilan. Negeri ini pun mereka yakini diadaptasi dari Nagari, kata serapan dalam bahasa Minang. Pakcik, Makcik, saudara-saudara jauh itu pun meyakini mereka adalah orang Minang, padahal secara garis batas provinsi, daerah asal mereka berada di wilayah Riau.
Aku tak sempat mengikuti mereka ketika rombongan keluarga jauh dari Malaysia itu datang ke Riau dan berkunjung ke Sumatera Barat, melihat Istana Pagaruyung yang menjadi symbol identitas asli mereka. Bermacam-macam profesi mereka, ada yang pensiunan Petronas, pensiunan Bank Nasional Malaysia, pekerja toko dan polis. Tetapi lebih banyak yang menjadi guru.
Guru di sana, berbeda dengan guru di sini. Di sana guru bisa mempunyai rumah luas yang sangat nyaman, berlibur ke Korea. Dalam hati aku sungguh iri dengan kemakmuran warga Negara di sana. Yah jumlah penduduk mereka sedikit, beda tipis dengan jumlah penduduk di Jabotabek. Jabotabek ya, bukan Indonesia. Karena itu, apabila kita hendak membandingkan tingkat kemakmuran suatu Negara, menurutku hal yang paling mendasar adalah mengetahui berapa jumlah penduduknya.
‘Orang Minang’ punya jiwa berdagang yang luar biasa. Pada saat itu pemerintah Malaysia sangat welcome dengan pendatang dari daerah serumpun ini untuk mengimbangi pedagang-pedagang Tionghoa. Namun yang namanya konflik SARA ada di mana-mana. Walau di Negara yang cukup makmur sekalipun. Aku melihat di mana pun, penyebab utamanya adalah kesenjangan sosial ekonomi yang tinggi. Makin tinggi kesenjangannya, makin mudah bergesekan dan konflik.
Drrt.. hpku bergetar.
Dengan malas aku mengambilnya sambil tetap melihat ke arah laptop, tetap membaca informasi yang berserakan di sana. Dengan sedikit melirik aku melihat siapa yang menelpon. Melihat nama yang tertera, badanku langsung tegak dan mengucapkan salam, “assalamualaikum Lol.”
Bagaikan air mengalir, Lola menjawab deras. Bahkan terlupa menjawab salam. Aku hanya mengiyakan maunya Lola. Kemarahan perempuan itu selalu mengerikan. Lola Puspitasari adalah bungsu dan anak perempuan satu-satunya dari mantan Direktur Bank terkemuka di daerah ini. Untuk saja kakakku Eka tidak bekerja pada bank tersebut.
Lola masuk setelah ayahnya tidak menjabat alias pensiun, dan bekerja keras menunjukkan bahwa dia duduk pada jabatannya sekarang berdasarkan kemampuan, bukan karena koneksinya. Selain itu dia sekarang sedang mengambil program Magister, sehingga waktu kami bertemu sangat jarang. Bagiku itu bukan masalah karena kami juga terbiasa Long Distance Relationship, sewaktu aku masih kuliah. Setelah lulus, Lola yang terlebih dahulu lulus dan bekerja di bank tersebut, sedikit memaksa agar aku juga tes di bank yang sama, tetapi aku sama sekali tidak tertarik bekerja di perbankan.
Menurutku, Kak Eka adalah contoh betapa membosankan kerja di perbankan. Pulang ke rumah tidak pernah kurang dari jam 6 sore, bahkan pada saat audit bisa sampai larut. Hal yang sama yang dirasakan Lola saat ini. Tetapi dia memang cocok bekerja di bank, pakaian dan penampilan yang selalu rapi dan ketekunannya sangat sesuai dengan dunia perbankan. Make up Lola tidak pernah luntur, sepanjang kami bertemu, aku tidak pernah melihat gadis itu tanpa make up. Hanya tebal atau tipisnya tergantung situasi atau acara yang sedang dihadiri. Pokoknya Lola hidup dengan kamera invisible alias tak terlihat, sehingga apa pun kondisinya Lola harus tetap rapi, keren dan cantik.
***