Halaman Author
Kontrol semua karyamu pada halaman author, kamu bisa memublikasikan karya baru atau mengatur karyamu dengan mudah dalam satu tempat.
Jejak yang Hilang
Suka
Favorit
Bagikan
14. Bab 14. Lamaran

Jordan tidak menyia-nyiakan kunjungannya ke Indonesia, atau ke Sumatera Barat spesifiknya. Setelah kami mengunjungi situs-situs terkait yang sedang kami selidiki dan tulis sampai Teluk Bayur, kami juga bersenang-senang di pantai Painan, di Padang, bahkan bersepeda keliling Bukittinggi. Perasaanku terasa begitu lepas, dan pada hari-hari itu tidak ada yang lekat di kepalaku, tidak Lola apalagi Alia. Hanya dia, anak Umi Ustadzah yang teringat setiap hari.

Pada hari kepulangan kami ke Pekanbaru, aku mendapat pesan wa dari Kak Jihan,

[Iz, jadi pulang hari ini, kan?]

[Jadi. Tumben kakak kangen.]

[Mama belum ada cerita?]

[Belum, ada apa sih?]

[Pulang aja, ntar juga tahu.]

[Ok, jangan bilang ini hanya trik supaya kakak bisa bertemu Jordan.]

[Ha ha…] 

Dengan tingkat keisengan seperti biasa aku mengirim foto-foto Jordan dan diriku kepada Kak Jihan. Tidak ada balasan. Mungkin Kak Jihan sedang sibuk di kantor.

*

Driver mengantarkan aku terlebih dahulu ke rumah. Di depan rumah terlihat Kak Jihan dan Ayah sedang membereskan halaman. Lagi-lagi aku merasa ini di luar kebiasaan. Jordan turun dan menyalami Ayah dan Kak Jihan sekaligus hendak berpamitan karena besok dia akan kembali ke Belanda. Dengan tatapan bertanya-tanya dia memandang ke arah dalam rumah seakan-akan mencari Mama.

“Oh, Mama sedang ke rumah Tante Alma,” jawab Kak Jihan, sedikit terpukau melihat Jordan. Benar kan tebakanku, kakak pasti suka dengan model begini, ujarku dalam hati.

Setelah berpelukan denganku, Jordan pun dengan sedikit kecewa menaiki mobil sewaan kami menuju hotel. Hatiku sedih juga berpisah dengan Jordan setelah melewati empat hari kebersamaan.

“Ngapain Mama ke tempat Tante Alma, Yah?” tanyaku langsung duduk di teras dan memandangi Ayah dan Kak Jihan yang sedang bergotong royong.

“Buat kue, nanti ada tamu datang. Katanya mau ngelamar kakakmu ini,” jawab Ayah sambil menujuk Kak Jihan dengan memonyongkan mulutnya.

“Ih Ayah, katanya mau kenalan, bukan ngelamar.”

“Doain aja sekalian ngelamar.”

Aku terkejut. “Beneran Kak?”

Jihan menaikkan bahunya, pura-pura bersikap tak acuh.

Daripada menanyakan hal-hal yang sepertinya bakal disembunyikan rapat, mending aku masuk ke rumah dan beristirahat. Aku mandi dan melewati ruang makan yang sudah dipenuhi makanan. Hanya empat hari ditinggal, aku sudah ketinggalan berita. Rumah ini sangat dinamis.

Selesai mandi aku kembali ke ruang makan. Perutku tidak tahan kalau melihat masakan yang sangat menggoda ini. Ada gado-gado, ikan teri campur tempe dan kacang, ayam balado dan gulai ikan salai. Belum sempat mengambil lauk, Kak Jihan sudah memberikan peringatan.

“Iz, ngambil lauknya yang rapi, jangan terlihat abis diobrak abrik, ntar Mama kesal,” ingatnya.

Aku mengangguk.

*

Sehabis Isya, aku keluar kamar dengan memakai kemeja kotak-kotak biru. Semua terlihat mengernyitkan dahi melihat pakaian yang kupakai. Ayah terlihat memakai baju Koko yang dipakainya pada salat Idul Fitri kemarin. Aku mengerti. Berbalik masuk kamar dan memilih baju koko yang juga baru dipakai pada saat Idul Fitri. Ketika aku keluar kamar semua terlihat bernafas lega. Segitunya.

Dalam hati aku bertanya-tanya, siapakah lelaki yang sudi melamar Kak Jihan yang cerewet. Lagi pula Kak Jihan tidak punya kehidupan sosial selain teman kantornya. Ah, masak dengan Bambang sih? Cuma Bambang yang pernah singgah ke rumah mengantar berkas.

Suara mobil dan kemudian disusul suara Kak Eka terdengar dari teras. Katanya cuma kenalan, tapi kok serius banget sampai Kak Eka dan suami pun hadir? Ini sih mirip acara lamaran.

Belum sempat aku berbasa-basi dengan abang iparku, terdengar lagi suara mobil. Ada dua mobil terparkir di sebelah mobil kak Eka, membuat kami mencuri sisi jalan di depan rumah. Serombongan keluarga mengucapkan salam dan masuk setelah Ayah mempersilakan mereka. Ruang tamu kami terasa sempit, ini baru satu keluarga yng datang, ditambah keluarga kami. Ruang tamu sudah penuh sesak.

Aku terpana melihat siapa yang datang. Umi Ustadzah dan Nadhira. Nadhira sangat cantik dengan gamis berwarna maroon. Deg. Masak mereka melamar aku sih? Tanyaku dalam hati kege-eran. Tanganku menjadi dingin. Apa aku sedang dikerjain Mama dan Ayah? Jantungku berdebar tak karuan.

Terlihat seorang lelaki tampan memakai batik berkulit putih bersih dengan rambut ikal tebal menyapa Mama dan Ayah, tersenyum manis dan malu-malu. Siapa dia?

*

Aku merutuki fikiranku dalam hati. Sial. Tentu saja Umi Ustadzah datang bukan buat melamar diriku. Dia dan suaminya menjadi juru bicara lelaki tampan itu, sepupu Nadhira, yang juga atasan Kak Jihan di kantor. Kedua orang tua lelaki yang hendak melamar Kak Jihan itu sudah meninggal, bahkan ibunya baru saja meninggal 3 bulan lalu. Sedihnya.

Aku terus terang kagum dan tidak percaya, calon suami Kak Jihan seganteng ini. Berkulit putih, padahal Kak Jihan tidak pernah menyukai lelaki berkulit putih, setahuku. Calon Kak Jihan gantengnya  hampir sama dengan diriku, hehe. Pasti karena dia sudah mapan, ujarku dalam hati mencari alasan. Kak Jihan terlihat tenang malah calon suaminya yang terlihat grogi.

Setelah menyampaikan keinginannya melamar Kak Jihan, mereka memberikan beberapa kotak tanda mata. Biarpun aku silau dengan kecantikan Dhira yang terlihat berdandan malam ini, kalimat syukur kepada Allah tidak lupa selalu kupanjatkan karena gembira kakakku yang tidak pernah dekat dengan lelaki ini akhirnya dilamar orang.

Mama dan Ayah terlihat sangat gembira malam itu. Sudah lepas fikiran mereka terhadap Kak Jihan. Diam-diam mereka khawatir, bahwa aku akan melangkahi kakakku itu. Ada-ada saja. Pernikahan masih jauh dari fikiranku.

Aku melirik Dhira lagi yang terlihat tersenyum-senyum mendengar canda Kak Eka yang menggoda Dhira. Apaan sih Kak Eka. Masak mau menjodohkan Dhira dengan teman sekantornya. Apa tidak mengerti perihnya hati adik tampan yang sedang duduk gelisah karena kehadiran Dhira. Aku melirik Umi Ustadzah. Karena acara ini, aku bahkan belum sempat menyapa mantan guru gajiku itu.

Sekarang Mama ikut-ikutan menggoda Dhira.

“Dhir, Faiz suka nanya-nanyain Dhira tuh,” ujar mama dengan suara cukup kencang, dan membuat ruangan menjadi sunyi sejenak.

“Bang Faiz banyak pacarnya Tante,” jawab Dhira, membuat suara yang tadinya senyap menjadi heboh.

“Kok tahu Dhir?” tanya Kak Eka sambil tersenyum memandang wajahku yang merah padam.

“Ih terkenal lagi, di kantor.”

“Memalukan,” tegas Mama menatapku jengkel.

“Kau kayaknya pindah kantor saja, trus dirukiyah, biar jadi anak yang benar,” cetus Mama lagi.

Terdengar suara tertawa memecahkan ruangan. Aku begitu malu dan tertekan. Malam yang tadinya aku harap panjang, menjadi begitu menyiksa.

Kembali aku tidak bisa memejamkan mata malam itu. Akhirnya aku membuka laptop dan berusaha menulis tentang tragedi pembangunan rel kereta api sepanjang 200 km dari Muara Sijunjung ke Pekanbaru. Kisah tragis dan memilukan. Banyak korban romusha itu hilang tanpa jejak, seperti juga dengan rel Kereta Api yang mereka buat.

Karena merasa buntu untuk membuat laporan aku menutup laptop kembali. Aku membaca fotocopy buku panduan kami, karangan seorang sersan bernama Sjafei Abdullah. Aku sempat melihat piagam penghargaan yang tergantung di ruang duduknya kemarin, tanda jasa pahlawan dari Presiden Soekarno sebagai staf Militer di Jawatan KPG VII Kecamatan Tempuling Indragiri.

***

Bagikan
Anda harus login atau daftar untuk mengirimkan komentar
Tidak ada komentar