Halaman Author
Kontrol semua karyamu pada halaman author, kamu bisa memublikasikan karya baru atau mengatur karyamu dengan mudah dalam satu tempat.
Jejak yang Hilang
Suka
Favorit
Bagikan
10. Bab 10. Wartawan Belanda

Setelah malam penuh badai itu aku benar-benar terpuruk. Benar kata Kak Jihan bahwa akhirnya aku akan menerima karma. Inilah balasannya karena aku sering memberikan harapan kosong kepada para gadis. Tidak jelas saat ini mana yang lebih membuat kau terpuruk, pesan dari Lola atau melihat keakraban Dhira dan “teman”nya.

Akhirnya aku memutuskan hanya berbaring ganteng di tempat tidur, berjam-jam, sampai mama mengetuk pintu kamar memanggil namaku.

“Iz, bangun. Sudah hampir jam 11 ni. Kau belum salat Dhuha kan?”

Hmm. Aku menghela nafas panjang.

“Ya Ma, Faiz dah bangun,” jawabku dengan suara serak seperti orang baru bangun tidur. Padahal aku tidak tidur sama sekali. Aku keluar kamar, menyiapkan senyum paling manis untuk perempuan tersayang yang sudah melahirkanku ini.

“Kau kenapa, sakit? Sudah hampir jam 11 dan belum sarapan. Ada apa?” Mama memberondong dengan pertanyaan ketika melihat aku keluar dari kamar.

“Capek, Ma.”

Tiba-tiba Kak Jihan muncul dan memandang wajah sayuku.

“Jangan-jangan kamu diputusin semua pacarmu ya. Rasain,” tukasnya tanpa perasaan.

Deg. Kakakku ini seperti cenayang saja. Aku mencebikkan bibir dan bergegas ke kamar mandi. Di rumah ini kamar mandi hanya ada dua. Satu kamar mandi ada di kamar Mama dan Ayah. Satu lagi di dekat dapur, aku berbagi dengan Kak Jihan, karena kami berdua masih menumpang di rumah orang tua. Tiap hari ada saja salahku karena kamar mandi itu. Yang salah letak sampho dan sabun lah, yang handukku sudah bau dan harus diganti. Pokoknya Kak Jihan super bawel untuk urusan tidak penting.

Tetapi aku sudah kebal. Karena sejak kuliah kami sudah berbagi kamar mandi. Sebelum aku dibelikan Ayah sepeda motor, yang baru-baru ini aku jual, kami juga berbagi motor. Ayah dan mama menyewakan kami rumah kos berukuran 6x6 dengan dua kamar tidur, satu kamar mandi, dapur dan ruang makan. Ruang makan, selain untuk makan juga sering difungsikan juga sebagai ruang belajar. Karena kami satu fakultas dan satu jurusan, lemari di ruang makan difungsikan sebagai penyimpan buku-buku kami.

Sedangkan Kak Eka tidak pernah pergi dari rumah. Kak Eka juga kuliah di kota ini. Kadang aku berfikir, pilihannya untuk menikah muda, hanya alasan untuk segera pindah rumah. Sebagai anak tertua, justru Kak Eka paling manja, seperti anak terakhir. Hanya karena dia pendiam saja, maka sifat manjanya itu tidak terlalu terlihat.

Untung saja suami Kak Eka berusia 5 tahun di atas kakakku itu. Jadi dia cukup dewasa untuk mendampingi dan memanjakan Kak Eka. Selama Kak Eka hamil manjanya jadi sedikit berpindah ke Mama dan diriku. Bang Ari, suami Kak Eka sedang mengerjakan sebuah proyek yang lumayan besar, sehingga jarang di rumah akhir-akhir ini. Kata Kak Eka, abang iparku sedang dalam misi mengumpulkan duit agar cukup untuk merombak rumah kecil mereka untuk siap dihuni tambahan anggota baru. Rezeki anak.

Kalau Kak Eka itu cantik, Kak Jihan itu menarik. Kak Jihan belum pernah berpacaran seumur hidupnya, usianya hampir 25 tahun sekarang. Ada teman sekantornya yang sedang pedekate, tetapi sepertinya Kak Jihan tidak tertarik berhubungan dengan teman sekantor, atau memang kebetulan memang tidak tertarik dengan temannya tersebut.

*

Aku terkejut membuka hp, ada lima pesan dari Big Boss yang masuk.

[Faiz, ini ada wartawan radio Belanda minta bantu mencari narasumber untuk sejarah Kereta Api Sumatera, kata Husni hasil tes TOEFL mu tinggi, bisalah bantu dia.]

Pesan dua dan kelima mengandung sedikit umpatan karena Hpku belum juga hidup sampai tengah hari, jadi tidak perlu ditulis di sini, hehe.

Aku menjawab pesan itu dengan alasan baru buka hp karena kurang enak badan. Dan meminta nomor kontak yang bisa kuhubungi.

Pesanku itu langsung dijawab dengan sebuah nomor, tidak ada basa basi lagi dari Bos dan tidak ada perintah baru. Jadi aku langsung menghubungi nomor yang diberi oleh Bos.

[Hello.]

[Hello, can I speak to Mr Jordan. I’m Faiz ABC’s journalist.] 

[Ya, saya Jordan, halo Pak Faiz.]

Loh, ini bule bisa bahasa Indonesia ternyata. Meskipun logat bulenya sangat kental.

[Sir, saya ditugaskan untuk membantu Anda mencari narasumber Kereta Api di Sumatera. Anda bisa berbahasa Indonesia?]

[Bisa.] Terkekeh. [Saya keturunan Maluku.]

[Haha, baiklah kalau begitu. Kita ketemu di mana dan jam berapa?]

Jordan menyebutkan nama hotelnya dan mengatakan siap kapan saja aku datangi, karena dia standby di hotel. Dan dia sudah menunggu kabar dari aku dari pagi.

Setelah salat dhuhur aku langsung berangkat ke hotel tempat Jordan menginap.

Jordan sudah menunggu ku di lobby hotel. Ternyata dia mirip dengan Denzel Washington, meski tingginya sama denganku. Wah, Kak Jihan bisa pingsan kalau melihat Jordan. Dia ngefans berat dengan aktor berkulit gelap tersebut. Kami bersalaman dan duduk di kursi lobby. Setelah melakukan beberapa telepon dengan rekan-rekan jurnalis yang lain, aku mencatat tokoh yang layak menjadi narasumber Jordan.

Jordan yang juga mendengarkan telepon kami karena aku menggunakan speaker ketika menghubungi teman-teman, dengan tenang juga mencatat. Aku mendapatkan nomor narasumber itu akhirnya, dan mencoba menelepon dia langsung. Setelah tersambung, aku memberikan prolog sedikit sebelum menyerahkan hpku kepada Jordan, agar Jordan bisa membuat janji bertemu.

Narasumber tersebut menyetujui bertemu malam nanti, setelah waktu Isya. Ini kedua kalinya Jordan mendengar waktu di Indonesia yang tidak menyebut angka pasti. Pertama, saat janji bertemu denganku, waktunya setelah dhuhur. Kedua dengan narasumber, waktunya  setelah Isya. Sungguh orang Indonesia membingungkan, aku menebak isi fikiran Jordan sambil tersenyum tipis.

Karena tidak ada yang lain yang bisa kami kerjakan, aku mengajak Jordan ke monumen pahlawan kerja yang terletak di ujung jalan protokol. Sebuah bangkai lokomotif kereta api menandai monumen tersebut. Aneh memang, aku sendiri yang dekat dengan Tempat Kejadian Perkara malah tidak terlalu memperhatikan sejarah perkereta-apian di Sumatera, khususnya Riau-Sumbar. Terdapat batu prasasti yang menunjukkan tanggal dibukanya monumen, 10 November 1978, ditandatangani oleh Gubernur Riau saat itu HR Soebrantas.

Setelah puas berswafoto di sana, aku dan Jordan masuk kembali ke mobil. Kami mencari café terdekat karena merasa sangat haus. Matahari sudah mulai turun dari singgasananya.Waktu ashar sudah dekat, tetapi cuaca panas masih membara. Aku berhenti di sebuah café dengan kerongkongan kering. Aku yakin Jordan lebih lagi, pasti panas ini membuatnya sesak.

Dia terlihat sangat berterima kasih karena dibawa mencari penghilang dahaga. Kami berdua memesan es kelapa muda, dan minum dengan rakus. Aku merasa lapar, tadi aku kan makan jam 11, jadi wajar jika merasa lapar. Aku memesan siomay yang wanginya tertinggal sepanjang jalan yang dilalui pelayan saat mengantarkannya. Jordan yang awalnya sama sekali tidak tertarik memesan makanan, jadi ikutan memesan siomay, dan benar-benar takjub dengan sensasi makanan tersebut.

“Swear, ini unik dan enak,” kata Jordan sambil menyuapkan lagi sepotong siomay ke dalam mulutnya.”

“Kamu pernah makan makanan asli Indonesia?” tanyaku penasaran.

“My mom cukup sering masak nasi dan ikan bakar,” katanya.

“Kamu mau coba makanan apa? Ntar ibuku coba bikinin.”

“Jangan merepotkan, teman.”

“Tidak repot, kamu harus ke rumah, biar tahu rumah orang Indonesia, khususnya Riau.”

Aku melihat binar mata Jordan. Apakah dia barusan terharu? Hehe.

“Terima kasih, aku suka nasi goreng,” akhirnya dia menjawab agak malu-malu.

“Itu terlalu sederhana. Besok kamu makan di rumahku ya.”

Jordan mengangguk mantap, memamerkan deretan gigi putih karena tersenyum lebar.

*** 

Bagikan
Anda harus login atau daftar untuk mengirimkan komentar
Tidak ada komentar